Senin, 29 Juni 2009

Reformasi Tanpa Proteksi


KASUS kekerasan yang dialami oleh Siti Hajar dan Modesta Rengga Kaka, pembantu rumah tangga (PRT) Migran Indonesia yang bekerja di Malaysia adalah fenomena gunung es, di mana kasus yang sebenarnya terjadi lebih banyak, tapi tak dilaporkan. Dalam catatan Migrant Care, dalam sebulan terakhir ini terjadi peningkatan kasus-kasus kekerasan dan kematian yang dialami oleh buruh migran Indonesia.

Tercatat setidaknya 15 buruh migran Indonesia meninggal dunia dalam bulan terakhir ini. Sementara menurut KBRI di Malaysia, sepanjang 2008 terjadi 700 kasus kematian buruh migran Indonesia. Beruntunnya kasus kekerasan dan kematian yang dialami oleh buruh migran Indonesia menyibak fakta bahwa ada yang keliru dalam kebijakan penempatan buruh migran Indonesia. Sepertinya, kebijakan penempatan buruh migran Indonesia luput dalam arus reformasi kebijakan publik di Indonesia.


Artikel ini mencoba menguak kebijakan penempatan buruh migran Indonesia sebagai bagian tak terpisahkan dari dinamika politik (eksploitasi) perburuhan Indonesia. Dalam perspektif historis, kebijakan penempatan buruh migran adalah reproduksi kebijakan kolonial Hindia Belanda yang pada saat itu membutuhkan buruh perkebunan untuk menggarap lahan-lahan perkebunan di kawasan Sumatera. Hingga kemudian juga berlangsung pengiriman orang Jawa (dan juga orang India) ke Suriname untuk tujuan yang sama. Pola-pola tersebut adalah mobilisasi tenaga kerja untuk kepentingan ekonomi kolonial.
Sementara pola migrasi yang lain juga berlangsung melalui perikatan-perikatan kultural yang telah terbangun dari jalur-jalur perdagangan archipelago Asia Tenggara. Pola inilah yang membentuk tradisi migrasi orang Bugis, Madura, Bawean, Sasak, dan Flores ke Malaysia Semenanjung dan Sabah. Sementara jalur migrasi tenaga kerja ke Timur Tengah terbangun dari ‘’efek samping’’ perjalanan ibadah haji dan umrah. Di samping itu, kerja sama serikat buruh berbasis Islam juga turut serta memperkuat perikatan tersebut.

Hingga awal kekuasaan rezim Soeharto, belum ada kebijakan yang signifikan dalam mengatur dan mengelola penempatan buruh migran, kecuali kebijakan keimigrasian. Dalam UU No 14/1967 tentang Pokok-Pokok Ketenagakerjaan juga hanya terkandung satu pasal tentang penempatan buruh migran.

Tampak jelas terlihat, pada saat Indonesia masih bergelimang dengan rezeki minyak, kebijakan tentang penempatan buruh migran ke luar negeri hanyalah kebijakan reaktif dari adanya migrasi tenaga kerja yang sebelumnya dilakukan secara perorangan ataupun melalui jalur-jalur tradisional. Migrasi tenaga kerja pada masa Indonesia mengalami booming minyak masih belum dilirik sebagai penopang ekonomi.

Namun ketika rezeki minyak sudah menjauhi Indonesia, barulah sektor ini dilirik. Dalam dua dekade (1980-an dan 1990-an) terjadi booming bisnis penempatan buruh migran ke Arab Saudi. Migrasi tenaga kerja menjadi sektor bisnis baru yang memunculkan perusahaan penempatan buruh migran. Fenomena ini menggeser kebijakan penempatan buruh migran yang sebelumnya bersifat reaktif (pasif) menjadi kebijakan regulatif (pengaturan). Dalam dekade ini pula, terjadi penataan penempatan buruh migran ke Malaysia. Jika sebelumnya migrasi pekerja berlangsung secara voluntary (spontan), maka kemudian harus diatur melalui perusahaan pengerah tenaga kerja. Dan mulailah proses kriminalisasi untuk mereka yang bekerja ke Malaysia tanpa melalui perusahaan pengerah tenaga kerja dengan sebutan TKI ilegal/pendatang haram.

Modal utama pemerintah Indonesia dalam kebijakan penempatan buruh migran adalah mengedepankan keunggulan komparatif (comparative advantage). Hal ini dilakukan untuk menghadapi kompetitor sesama negara pengirim, Philipina, yang telah mapan dan merajai penempatan buruh migran di seluruh dunia. Keunggulan komparatif yang selalu disuguhkan oleh Indonesia adalah buruh muda usia, murah upah, dan menurut. Dan mayoritas mereka adalah buruh migran perempuan. Inilah akar mula kebijakan komodifikasi buruh migran Indonesia. Dengan demikian, tidaklah mengherankan jika produk-produk kebijakan penempatan buruh migran tak pernah menyentuh persoalan pokok buruh migran mengenai perlindungan.
Tanpa Proteksi

Dan sekarang, ketika remitansi dianggap sebagai potensi penggerak ekonomi negara ini, kebijakan pun berubah menjadi kebijakan operasional, di mana negara tampil turut serta dan memobilisasi sebesar-besarnya migrasi tenaga kerja ke luar negeri.

Transformasi kebijakan penempatan buruh migran tersebut makin menegaskan peran negara yang hanya mengambil untung dari proses migrasi tenaga kerja namun absen dari tugas utamanya sebagai pelindung warga.
Kebijakan yang paling signifikan dalam penempatan buruh migran Indonesia ke luar negeri adalah UU No 39/2004 tentang Penempatan dan Perlindungan TKI ke Luar Negeri. Walau pada awalnya rancangan UU ini diinisiasi oleh aktivis buruh migran, dalam proses legislasinya dibajak oleh pemerintah dan parlemen, serta kehilangan ruh protektifnya. Mandat yang telah dilaksanakan pemerintah Indonesia berdasar UU ini adalah pembentukan Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI).

Pembentukan institusi baru ini juga menimbulkan kontroversi karena dilakukan secara tidak transparan dan sangat terasa nuansa konsesi politiknya. Dengan menunjuk M Jumhur Hidayat sebagai Kepala BNP2TKI, Presiden SBY makin menegaskan wataknya untuk balas jasa politiknya semasa menjadi Tim Sukses Kampanye SBY-Kalla saat Pemilihan Presiden 2004. Nuansa ini terbukti ketika sekarang ini M Jumhur Hidayat secara terang-terangan menyatakan dukungannya kembali kepada SBY dalam Pilpres 2009.

Pembentukan institusi baru ini ternyata tidak diimbangi dengan penyiapan infrastruktur legal untuk memperkuat UU ini. Seharusnya yang lebih dulu dirintis adalah peraturan pelaksanaan dari UU ini. Sejak UU ini resmi diundangkan dalam Lembaran Negara pada akhir Oktober 2004 hingga saat ini, belum ada satu pun Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden, dan Peraturan Presiden dibuat sebagai instrumen pelaksana UU ini. Yang baru dibuat hanyalah Peraturan Menteri yang di dalam hirarki perundang-undangan bukan merupakan produk hukum yang mengikat. Keanehannya adalah UU yang mandatnya mengikat seluruh wilayah hukum Indonesia, hanya diimplementasikan dalam bentuk Keputusan Menteri yang hanya mengingat di departemen teknis. Kerancuan ini terbukti dengan munculnya sengketa antara Depnakertrans dan BNP2TKI mengenai kewenangan dalam pengaturan penempatan buruh migran Indonesia.

Instrumen pokok yang seharusnya segera disusun adalah pengikatan secara hukum internasional dalam kebijakan penempatan buruh migran, baik dalam bentuk bilateral agreement maupun penyepakatan instrumen multilateral. Tanpa instrumen ini, BNP2TKI hanya merupakan institusi tanpa greget. Dan ini terbukti dari tidak adanya perubahan yang signifikan terhadap kondisi buruh migran Indonesia meski BNP2TKI sudah berdiri sejak 2 tahun lalu.

Dilihat dari polanya, pendirian BNP2TKI ini mengacu pada migrant workers governance yang diterapkan Philipina. Di negara tetangga ini memiliki institusi khusus yaitu POEA (Philippines Overseas Employment Agency) dan institusi ini dilengkapi instrumen proteksi yang terlembagakan dalam aktivitas perwakilan di luar negeri (Atase Ketenagakerjaan dan Crisis Centre) dan juga komitmen multilateral dengan meratifikasi UN Convention on the Protection of The Rights of All Migrant Workers and Members of Their Families dan aktif menjadi anggota UN Committee of Protection on Migrant Workers.

Pengaruh signifikan lain yang memengaruhi kebijakan penempatan buruh migran Indonesia adalah conditionality yang wajib dilakukan Indonesia dari institusi lembaga keuangan internasional (terutama IMF dan World Bank). Seperti juga sektor ekonomi yang lain (pertanian, pertambangan, sumberdaya air), pada sektor penempatan buruh migran juga menjadi bagian dari persyaratan lembaga keuangan internasional (IMF dan World Bank). Setidaknya ini tercermin dalam dua dokumen penting yang sekarang ini menjadi acuan pokok kebijakan makro ekonomi Indonesia.

Dokumen pertama adalah Post Program Monitoring IMF (Inpres No 5/2003). Di dalam dokumen ini, masalah penempatan buruh migran didorong untuk diintensifkan sebagai bagian dari mobilisasi devisa. Devisa yang masuk dari buruh migran diharapkan dapat memantapkan neraca pembayaran dan mendorong kecukupan devisa.

Dokumen kedua adalah Inpres No 3/2006 tentang Iklim Investasi. Instrumen ini adalah desakan World Bank sebagaimana yang disampaikan dalam 2 kali forum CGI (tahun 2005 dan 2006). Dalam masalah buruh migran Indonesia, Pemerintah RI diharapkan merevisi UU No 39/2004 terutama untuk pasal-pasal yang dianggap menghambat iklim investasi penempatan buruh migran. Dalam situasi krisis seperti sekarang ini, lembaga-lembaga keuangan internasional juga mendorong Indonesia untuk meningkatkan perolehan remitansi sebagai penopang krisis. Jelas sekali terlihat bahwa conditionality yang dipersyaratkan IMF dan World Bank adalah mobilisasi remitansi dan kelancaran investasi, serta tidak mempedulikan perlindungan buruh migran. Ini pula yang sekarang sedang giat dikampanyekan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Erman Soeparno, dan Kepala BNP2TKI M Jumhur Hidayat yang secara terang-terangan menargetkan perolehan devisa/remitansi dari buruh migran sejumlah Rp 186 triliun pada 2009.(62)

Wahyu Susilo, Policy Analyst Migrant CARE dan Kepala Divisi Advocacy INFID


source.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ada Komentar????