Senin, 28 Oktober 2019

Ngupadi Gusti

Dadi jejere manungso Kang ngupadi kasampurnan iku kudu jujur,jejeg lan ikhlas, welas asih sabar lan Narimo. Manungso iku kudu ketemu marang Gusti ne. Supoyo ketemu Gusti ne, manungso kudu biso nemoke Rasa Sejati. Rasa sejati bisa ketemu Yen nemoke uni Kang mahanani anane rasa mu

Kamis, 03 Oktober 2019

Majapahit dalam catatan Ma Huan

Majapahit dalam Catatan Ma Huan

Oleh : Subhan Muatagfirin

Ma Huan merupakan penerjemah resmi yang mendampingi Cheng Ho. Sebagai seorang yang mahir dalam bahasa Arab, Ma Huan dipilih sebagai juru bahasa Cheng Ho dalam tiga kali pelayarannya. Pada 1412, dia menerima tugas pertama dari Kerajaan Ming untuk menemani sang laksamana berlayar ke banyak negeri.

Ma Huan mencatat segala sesuatu yang dilihat. "Yingya Shenglan" yang terbit pada 1416, berisi catatannya tentang Negara Champa, Jawa, Palembang, Aru, Samudra, Nakur, Litai, Lambri, Liu San (Maldive, Male), Malaka, Bangal, Xi Lan San (Sri Lankan), Bangal kechil (Kulam, Quilon), Ko Chin, Kuli (Kalicut), Adam, Fazhu, Hormus, dan Tian Fang (Mecca).

Dalam catatannya itu, Ma Huan menyaksikan Majapahit, di mana dia berlabuh, sebagai tempat sang raja tinggal.

"Bila berlayar dari Tuban, bergerak setengah hari ke timur, akan sampai di Xincun (desa baru), atau apa yang disebut oleh penduduk barbar setempat sebagai Gresik. Pada awalnya tempat itu hanyalah wilayah pantai berpasir yang kosong. Orang Tionghoa lalu datang. Mereka menetap di sana dan menamakannya Xincun."

"Mereka yang tinggal di tempat itu kebanyakan adalah orang Guangdong. Kira-kira jumlahnya ada 1000 keluarga lebih."

"Kemudian, bila berlayar ke selatan lebih dari 20 li (12 km), akan tiba di Su-lu-ma-yi. Tempat itu diberi nama oleh penduduk setempat Su-er-ba-ya (Surabaya). Di sana terdapat seorang kepala desa. Dia mengatur penduduk yang jumlahnya 1000 keluarga. Di antaranya, juga ada orang-orang Tiongkok."

"Dari Surabaya, dengan perahu kecil sejauh 70-80 li (42 km), kita akan menemukan sebuah pasar bernama Zhang-gu. Setelah turun dari perahu dan berjalan kaki ke arah selatan selama satu setengah hari, sampailah di Majapahit. Di sini raja tinggal. Sebanyak 200-300 keluaga penduduk pribumi bermukim di sana. Tujuh atau delapan orang tetua membantu raja."

"Kediaman raja dikelilingi tembok bata setinggi lebih dari 9 meter. Panjangnya lebih dari 90 meter. Gerbangnya dua lapis dan sangat bersih serta terpelihara."

"Rumah-rumah di dalamnya terletak 9-10 meter di atas tanah. Lantainya terbuat dari papan yang ditutupi dengan tikar rotan yang halus atau tikar rumput yang dianyam. Di atasnya orang-orang duduk bersila. Untuk atap, mereka menggunakan papan kayu keras yang dibelah dan dibentuk genting."

"Di Majapahit, kata Ma huan, raja tak mengenakan tutup kepala. Kadang kala dia mengenakan hiasan kepala yang dibuat dari dedaunan dan bunga emas."

"Tubuh bagian atasnya tidak ditutupi kain. Sementara bagian bawahnya ditutupi dengan satu atau dua kain berbunga-bunga. Untuk mengencangkan sarung itu, digunakan kain tipis atau linen yang dikencangkan di sekitar perut. Kain semacam ini disebut selendang. Raja juga tak mengenakan alas kaki."

"Terkadang, raja mengendarai gajah atau duduk di atas kereta yang ditarik sapi. Raja membawa satu atau dua pisau pendek. Senjata ini dicatat Ma Huan sebagai pu-lak."

"Sepertinya orang Tionghoa menggunakan nama ini untuk setiap senjata yang mirip. Tentu saja orang Jawa menyebutnya keris."

"Adapun para pria di Majaphit membiarkan rambut mereka tergerai. Sementara para perempuan menyanggulnya."

"Mereka mengenakan semacam mantel dan kain yang menutupi bagian bawah tubuh. Para pria membawa pu-lak, yang disisipkan di ikat pinggang mereka. Setiap orang membawa senjata semacam ini, dari anak berusia tiga tahun hingga orang tertua."

"Senjata ini memiliki garis tipis dan bunga-bunga keputihan serta dibuat dari baja terbaik. Gagangnya terbuat dari emas, cula badak, atau gading gajah. Mereka dibentuk menjadi wajah manusia atau setan dan dikerjakan dengan sangat teliti."

"Para penduduk tinggal dalam rumah yang dialasi jerami. Rumah itu dilengkapi dengan ruang penyimpanan yang terbuat dari batu. Tingginya sekira 1 m dan digunakan untuk menyimpan barang-barang milik mereka. Di atas tempat penyimpanan inilah mereka biasanya duduk."

"Dalam hal kesopanan, para pria dan perempuan di Majapahit sangat menghargai kepala mereka. Jika seseorang menyentuhnya, atau mereka terlibat pertikaian dalam berdagang atau mereka mabuk dan saling menghina, mereka akan mengeluarkan senjata dan mulai menusuk."

"Penduduk negara itu tidur sambil duduk. Mereka tak punya tempat tidur atau dipan. Jika makan, mereka tidak menggunakan sendok atau sumpit. Kalau mau makan, pertama-tama mereka akan mencuci mulut mereka untuk membersihkan sisa pinang. Karena baik pria maupun perempuan, mereka terus menerus mengunyah pinang dengan daun sirih dan limau."

"Setelah itu, mereka mencuci tangan dan duduk. Semangkuk penuh nasi mereka ambil. Di atasnya disiram dengan krim atau saus lainnya. Makanan ini dimasukkan ke mulut dengan tangan. Jika haus, mereka meminum air."

"Jika menerima tamu, mereka tidak menawarkan minum tetapi menawarkan pinang."

Demikian kisah Ma Huan dalam catatannya, Yingya Shenglan (Catatan Umum Pantai-pantai Samudra).

Sejarah Klaten dan Medang Pakuwon

SEJARAH KLATEN YANG DIBELOKKAN

Oleh : Benedictus Sigit Wibowo

DIRGAHAYU KLATEN, BERSINAR-LAH DI SEGALA ZAMAN

Setiap tanggal 28 Juli diperingati sebagai hari jadi Klaten dan tahun ini kotaku yang menyimpan sejarah peradaban Jawa ini, akan memasuki usia ke 215 tahun.  Sesungguhnya Klaten adalah sebuah kota metropolis yang bersinar menerangi peradaban Jawa dan Nusantara di zamannya.  Klaten merupakan ibukota Kerajaan Medhang Matriam (Mataram Kuno) yang didirikan Sanjaya dari Dinasti Badra, setelah memindahkan kekuasaan dari Temanggung usai ditakhlukkan Dinasti Syailendra pada 732 Masehi atau Tahun Saka 654.

Rakai Kayu Wangi atau Lokapala atau Gupala-lah yang meresmikan daerah yang sekarang bernama Ngawen sebagai wilayah perdikan pada 11 November 866.  Desa Perdikan artinya Desa yang diberikan otonomi khusus untuk mengatur daerahnya sendiri dan tidak diwajibkan membayar pajak kepada kerajaan.  Inilah yang seharusnya diperingati sebagai hari jadi Kota Klaten untuk mengenang jasa para leluhur.  Jika menggunakan perhitungan sejarah yang ditulis oleh Rakai Kayu Wangi maka Klaten sudah berumur 1.151 tahun dan bukan hanya 215 tahun.  Rakai Kayu Wangi sendiri adalah putra dari Pikatan.  Pikatan merupakan cucu Sanjaya yang menikah dengan Pramodhawardani putri Samarotungga dari Dinasti Syailendra.  Kayu Wangi adalah simbol penyatuan dua dinasti yang saat itu bersaing yakni Dinasti Badra dan Dinasti Syailendra.

Inilah yang kemudian dikenal dengan Prasasti Ngupit bertanggal 11 November 866 Masehi.  Karena ditemukan di Desa Ngupit, Kecamatan Ngawen, maka desa itulah yang dianggap desa perdikan.  Kayu Wangi memandang dan mengakui Ngawen sebagai cikal bakal pusat kerajaan Medhang Matriam yang dipimpin oleh Sanjaya dyah Saladu yang merupakan anak dari Sanaha, Ratu Medhang Pakuwon (Pakuwuan) yang saat itu berpusat di Desa Kesanga, Kecamatan Jati, Blora dan Saladu seorang bangsawan dari Tamil, India Selatan.  Sanjaya adalah beragama Buddha Jawa dan bukan beragama Hindu Siwa.  Namun para pengikutnya kebanyakan adalah orang-orang dari Kerajaan Chola sehingga beragama Hindu Siwa.  Bisa dikatakan mayoritas penduduk Medhang Matriam di Ngawen beragama Hindu Siwa atau biasa disebut Siwa. Sedangkan sisanya adalah orang-orang Jawa keturunan Kie Seng Dhang dan Sambadra yang beragama Buddha Jawa/Buddha Whuning atau Buddha Kanung.  Buddha Jawa ini adalah sinkretisme ajaran Tao dan Buddha yang diajarkan Sidharta Gaotama.

Asal usul nama Klaten

Sesungguhnya nama Klaten itu terdengar hingga ke manca negara bahkan menembus hingga dinding-dinding istana kekekaisaran Dinasti Tang yang berkuasa di China pada kurun waktu (618-907 M).  Klaten dicatat sebagai kota yang termasyur akan keindahannya dengan candi-candinya yang mengagumkan.
Kronik Dinasti Tang menyebut Klaten dalam aksara tradisional China berhubungan dengan aksara “Kelatian”.  Catatan kuno dari Dinasti Tang menyebut Klaten yang berdasarkan asal usul :

Kela = Gundukan dari Bumi.

Tian = Langit.

Makna kronik berdasarkan aksara tradisional China ini berarti “gundukan-gundukan tanah yang digunakan oleh
orang-orang di zaman itu untuk melakukan persembahan atau penghormatan kepada langit”.  Gundukan adalah candi yang digunakan untuk beribadah orang-orang di zaman itu.  Bahkan karena banyaknya candi yang dibangun, kronik China menyebut gundukan-gundukan itu sebagai “Pegunungan Seribu”.

Orang-orang yang menetap di wilayah ini menyebutnya sebagai Klaten yang berarti wilayah dengan banyak candi atau gundukan dari bumi yang menghadap ke langit.  Karena memang Klaten bisa disebut sebagai “kota seribu candi”.  Candi-candi ini merupakan tempat perabuan bagi para leluhur ataupun raja-raja yang meninggal dunia.  Candi-candi ini juga digunakan untuk tempat bersembayang para anak cucu untuk menghormati para leluhur yang berpulang ke Tuhan alam semesta. Banyaknya candi yang dibangun di Klaten dan persaingan dua dinasti besar inilah yang mengilhami lahirnya karya sastra atau legenda Roro Jongrang dan Bandung Bondowoso.  Cerita karya sastra ini akrab di telinga orang-orang Klaten karena diceritakan oleh orang tua atau menonton pertunjukan seni kethoprak.

Saat ini candi-candi dibangun sejak era Sanjaya, Pikatan hingga Kayuwangi atau Lokapala yang masih tersisa antara lain :

1. Candi Plaosan, Lokasi: Jl. Candi Plaosan, Bugisan, Kecamatan Prambanan, Kabupaten Klaten.

2. Candi Lumbung, Lokasi : Tlogo, Kecamatan Prambanan, Kabupaten Klaten.

3. Candi Sojiwan, Lokasi: Jalan Jogja-Solo, Kebon Dalem Kidul, Kecamatan Prambanan, Kabupaten Klaten
4. Candi Bubrah, Lokasi: Tlogo, Kecamatan Prambanan, Kabupaten Klaten.

5. Candi Sewu, Lokasi: Tlogo, Kecamatan Prambanan, Kabupaten Klaten.

6. Candi Merak, Lokasi: Karangnongko, Kecamatan Karangnongko, Kabupaten Klaten.

7. Candi Gana, Lokasi Sanggrahan, Kecamatan Prambanan, Kabupaten Klaten.

8. Candi Prambanan, Lokasi termasuk wilayah administrasi desa Bokoharjo, Prambanan, Sleman, sedangkan pintu masuk kompleks Candi Prambanan terletak di wilayah adminstrasi desa Tlogo, Kecamatan Prambanan, Kabupaten Klaten.

Candi Prambanan adalah simbol kemegahan peradaban Kerajaan Medhang Matriam Prambwana Mamratipura yang dibangun oleh Pikatan atau yang dikenal sebagai Rakai Mamrati atau Mpu Manuku.  Pikatan adalah orang yang membangun Klaten dengan kemegahan candi-candi Siwa.  Candi Prambanan di masa Pikatan disebut Siwagraha artinya rumah untuk Siwa.  Orang-orang Klaten waktu itu adalah pengikut agama Hindu Siwa karena mayoritas merupakan pendatang dari Tamil, India Selatan.  Meskipun demikian kehidupan toleransi umat beragama berlangsung dengan baik, karena orang-orang Klaten memeluk berbagai agama yang berbeda.  Adapun agama yang ada saat itu adalah Hindu Siwa, Buddha Whuning dan Buddha Mahayana. Hindu Siwa dianut oleh orang-orang keturunan Tamil Chola India selatan, Buddha Whuning dianut orang-orang keturunan Kie Seng Dhang dan Sambadra sedangkan Buddha Mahayana dianut orang-orang dari Kerajaan Khusana, India Utara.

Klaten tak kalah cantiknya dengan kota-kota yang dibangun oleh raja-raja Kerajaan Chola di India Selatan yang merupakan asal usul sebagian besar orang-orang Klaten.  Klaten tak kalah anggun dibandingkan Poompuhar, Urayur, Tanjore ataupun Gangaikonda Cholapuram, kota-kota yang menjadi kebanggaan Kerajaan Chola di masa kejayaannya.  Bahkan Pikatan membangun Candi Prambanan atau Siwagraha yang berada di tepi Sungai Opak mendahulu Raja Chola Aditya I yang membangun Candi Siwa di tepi sungai Kaveri, Tamil Nadu, India yang baru selesai pada 1009.  Candi yang memiliki bentuk serupa juga dibangun oleh Rajendra Chola di Gangaikonda Cholapuram pada 1030.  Dengan demikian Candi Prambanan yang dibangun pada 856 lebih dahulu dibandingkan dua candi yang serupa di India yang hingga saat ini menjadi kebanggaan peradaban Kerajaan Chola.  Candi Prambanan menjadi inspirasi kerajaan Chola membangun Candi Siwa.

Tidak hanya membangun candi-candi dengan arsitektur yang menakjubkan, tetapi juga dibangun petirtan/sendang/sumber/umbul di berbagai wilayah di Klaten untuk memberikan pemandangan yang asri dan menawan.  Air adalah sumber kehidupan, membangun sumber-sumber air berarti menghargai, membangun dan mencintai kehidupan.  Membuat sendang/tuk/sumber air di dusun-dusun (kampung-kampung) atau desa-desa adalah tradisi yang diwariskan oleh leluhur orang Jawa bernama Kie Seng Dhang (290-200 SM).  Ia tiba di Jawa pada 230 SM atau pada umur 60 tahun dari Sampit Hilir, Nusa Barunai atau yang sekarang disebut Kalimantan.  Ia dan keluarga besarnya berpindah ke Jawa dan di zamannya, para keturunannya memiliki tradisi membangun tuk, sumber atau sendang.

Umbul Ponggok, Umbulsari, Umbul Sigedang yang terletak Desa Ponggok, Kecamatan Polanharjo, Umbul Cakra Tulung di Desa Cokro, Kecamatan Tulung, Umbul Manten di Dusun Janti, Kelurahan Janti, Kecamatan Polanharjo, Umbul Nilo di Dusun Margosuka, Desa Daleman, Kecamatan Tulung, Umbul Pluneng berada di Desa Pluneng, Kecamatan kebonarum, Umbul Gedaren berada di Desa Gedaren, Kecamatan Jatinom, Umbul Nggeneng dan Umbul Brintik di Desa Ngrundul, Kecamatan Kebonarum.  Petirtan atau umbul ini dibuat oleh leluhur orang-orang Klaten sejak zaman Mataram kuno.

“Orang-orang yang menghabiskan waktu kecil di Klaten tentu tidak asing dengan umbul-umbul ini.  Aku masih ingat, dulu rela berjalan kaki bersama-sama dengan teman-teman SD-ku dengan jarak sekitar 4 KM hanya untuk menikmati segarnya air di Umbul Pluneng atau Umbul Geneng.  Di umbul itulah aku sama seperti anak-anak kecil lainnya belajar berenang mulai dari gaya batu hingga gaya bebas”.

Umat Hindu hingga kini memanfaatkan keberadaan Umbul Geneng, Desa Ngrundul, Kecamatan Kebonarum, Klaten untuk kegiatan upacara Melasti.  Upacara ini merupakan permulaan menjelang peringatan Hari Raya Nyepi yang dirayakan umat Hindu Siwa.  Ini menunjukkan bukti bahwa jejak leluhur masih bisa dilihat dan dipraktikkan oleh sebagian penduduk Klaten.

Wajah Klaten Berubah

Gerakan radikalisme agama yang menyapu Pulau Jawa di penghujung akhir abad 15 juga menyebar hingga sudut-sudut wilayah pedalaman tak terkecuali Klaten.  Pelan tapi pasti, gelombang radikalisme dengan berbalut semangat keagamaan ini menjadikan Klaten sebagai target untuk ditakhlukkan dan dilibas.  Pusat peradaban Mataram Kuno dengan Candi-candi Hindu Siwa dan Buddha yang indah nan megah menjadi sasaran pengrusakan dan penghancuran.  Klaten yang dulu merupakan pusat kebanggaan akan keindahan dan kemegahan berubah menjadi tempat mengerihkan bagi para penghuninya.  Candi-candi dirusak, diruntuhkan, ditimbun dan diratakan hingga ke tanah.  Orang-orang yang ketakutan melarikan diri ke tempat-tempat terpencil hingga ke gunung.  Klaten sama seperti wilayah pedalaman Jawa lainnya.  Setelah Keruntuhan Kerajaan Majapahit, Jawa mengalami periode kekacauan, anarkisme dan persekusi, karena dilakukan upaya mencerabut hingga ke akar-akarnya peradaban yang sudah ada berabad-abad untuk digantikan dengan identitas baru.

Setelah perusakan dan penghancuran situs-situs bersejarah berupa candi-candi maka proses selanjutnya pengaburan sejarah.  Dikatakan bahwa Klaten merupakan wilayah hutan belantara yang tiada penghuninya.  Dikatakan candi-candi mengalami kerusakan karena bencana alam atau tidak ada lagi yang merawat.  Lalu dibuat versi sejarah yang direkayasa atau dimanipulasi dengan cerita atau dongeng yang absurd dan tentu saja berisi pembodohan.

Diceritakan bahwa Klaten berasal dari kata Melati (bahasa Jawa: Mlathi) yang berubah menjadi kata Klathi, sehingga memudahkan ucapan kata Klati berubah menjadi kata Klaten.  Melati disebutkan sebagai nama seorang kyai sekitar 560 tahun lalu yang datang di suatu tempat yang masih berupa hutan belantara.  Melati disebut sebagai Abdi dalem Keraton Mataram yang ditugaskan oleh raja untuk menyerahkan bunga Melati dan buah Joho untuk menghitamkan gigi para putri kraton (Serat Narpawada).

Dalam cerita yang berisi penyelewengan ini, Melati bernama lengkap Kyai Melati Sekolekan.  Dukuh tempat tinggal Kyai Melati diberi nama Sekolekan.  Sekolekan kemudian berkembang menjadi Sekalekan, sehingga sampai sekarang nama dukuh itu adalah Sekalekan. Di Dukuh Sekalekan itu pula Kyai Melati dimakamkan.  Kyai Melati Sekolekan disebut-sebut sebagai murid dari Sunan Kalijaga. Sementara Sunan Kalijaga adalah salah satu dari sembilan wali yang terkenal di Pulau Jawa dengan sebutan Wali Songo.

Pendiri atau yang membuka peradaban di Klaten atau Klaten Founding Father’s sebenarnya adalah raja-raja Medhang Matriam atau Mataram Kuno yakni Sanjaya, Pikatan dan Kayuwangi atau Lokapala atau Gupala bukan Kyai Melati Sekolekan yang merupakan murid Sunan Kalijaga.  Sanjaya, Pikatan dan Kayuwangi adalah orang-orang wegig dan linuwih yang namanya terkenal hingga ke manca negara seperti India dan China.  Mereka adalah para leluhur orang-orang Klaten yang merupakan manusia-manusia luar biasa dengan karya peradaban yang bisa dinikmati oleh anak keturunannya berabad-abad kemudian.  Candi-candi dan umbul-umbul yang tersebar di seluruh Klaten adalah obyek wisata yang menghasilkan rezeki bagi anak keturunannya.

Bukti-buktinya adalah jelas dari prasasti Ngupit, Kronik China, Candi-candi dan petirtan atau umbul-umbul yang tersebar di berbagai penjuru di Klaten.  Kebenaran harus diwartakan karena akan membuka jalan pada pencerahan akal budi bagi para keturunannya untuk mengetahui siapa leluhurnya yang sebenarnya.  Kejujuran adalah modal awal mengakui semua hal di masa lalu untuk menatap masa depan.

Ketidakjujuran menyebabkan manusia menjadi tidak sadar siapa dirinya dan siapa leluhurnya yang sebenarnya.  Orang yang tidak sadar akan dirinya dan leluhurnya, tidak akan punya jati diri.  Ketidakjujuran juga merupakan akar kebodohan dan kejahatan.  Penulis Estonia bernama Jüri Lina dalam bukunya, Architects of Deception (2004) atau “Seni Penipuan” mengungkapkan ada tiga cara melemahkan dan menjajah suatu negeri:
 
1.  Kaburkan sejarahnya.

2.  Hancurkan bukti-bukti sejarah bangsa itu hingga tidak bisa lagi diteliti dan dibuktikan kebenarannya.

3.  Putuskan hubungan mereka dengan para leluhur, dengan mengatakan jika leluhur itu bodoh dan primitif.

Memahami sejarah bukan berarti ingin kembali ke masa lalu, tetapi sejarah kebesaran dan kemegahan leluhur akan menjadi cermin bagi generasi-generasi penerusnya untuk mengikuti jejaknya di segala zaman.  Leluhur orang-orang Klaten yang mampu membangun peradaban agung, mengembangkan kebijaksanaan, menjunjung tinggi sikap toleransi dan perbedaan membuat Klaten mencapai puncak keemasan adalah keteladanan yang harus dijunjung tinggi oleh anak cucu atau keturunannya.  Menghormati kebesaran dan jasa leluhur adalah dengan melanjutkan semangat dan karakter-karakter ini, menunjukkan jati diri sebagai pelopor peradaban bukan meredupkan diri sebagai pengekor bangsa lain.

Sama seperti semboyan kotaku KLATEN BERSINAR, semoga Klaten senantiasa bersinar di segala zaman. 

Sumber tulisan :

1. Sejarah Perjalanan Orang Jawa (230-1292 M)
2. Prasasti Ngupit 11 November 866
3. Kronik Dinasti Tang tentang asal usul Klaten
4. K.A. Nilakanta Sastri, “A History of South India”.

Oleh B. Sigit Wibowo

Sumber Foto : Wikipedia