Senin, 31 Agustus 2009

Babat Tanah Jawa, Indonesia

Babat Tanah Jawa Indonesia
Kini dengarlah pula kisah silam Jawadwipa nan terkandung dalam karya pujangga, prasasti dan ingatan bangsa.


Bait 01


Di Tenggara benua Asia, dalam kelompok kepulauan Nusantara Jawadwipa terletak anggun dan perkasa merekah gagah, pancarkan seni budaya pahlawan masa dan ksatria budi luhur Pantai Utaranya terima deburan ombak laut Jawa Selat Sunda memisahkannya dan bumi Swarnadwipa di sebelah Barat di sebelah Timur berbaris memanjang Kepulauan Nusa Tenggara dan ombak laut Selatan, Samudra Indonesia, ramaikan Jawadwipa Tegak menjulang barisan pegunungan di bagian tengah pulau Gunung-gunung Gede, Pangrango, Slamet, Merapi, Merbabu, Dieng, Bromo, Kelud dan Semeru menjangkau awan putih, sinarkan wahyu semangat


Dari sana mata air alirkan sungai-sungai Citarum, Ciliwung, Bengawan Solo dan Kali Brantas. Hidupkan lembah-lembah hijau Jawadwipa. Di kala mentari pagi beranjangsana ke atas dunia Tampak air kali coklat berbuih mengalir tenang, suburkan petak-petak sawah kuning padi merunduk melambai tertiup angin hijau segar nampak hutan-hutannya. Tatkala gelap malam naungi bumi Jawadwipa sinar perak rembulan memancar di atasnya lalu terdengar seruan jangkrik mendesing bertingkahan dengan paduan suara katak nan riuh rendah Sungguh indah sang putri Nusantara, Jawadwipa Dan amatlah tua sejarahnya.


Bait 02


Ratusan ribu tahun yang silam manusia Jawa hidup di dataran rendah pulau ia dikenal dengan nama kera yang berdiri tegak atau Pithecantropus Erectus Mojokertoensis berkelompok mereka hidup, berkembang biak dan berburu bersaingan dengan binatang-binatang hutan Lalu ribuan tahun yang telah silam sebelum Kristus lahir, sebelum ada tarikh Saka dari tanah Utara, di sekitar Cina Selatan, Yunnan dan Tonkin nenek moyang bangsa Melayu tiba dengan ratusan perahu ke Nusantara sebagian tinggal menetap sebagian berlayar terus ke Philipina, Madagaskar Irian dan pulau-pulau Polynesia Desa-desa terbentuk dengan wilayahnya tempat masyarakat, yang bersifat kerakyatan, menetap Alat-alat senjata dari perunggu dan besi serta kepandaian tanah liat, menganyam dan menanam padi memulai kebudayaan di Jawadwipa.


Bait 03


Dalam abad pertama tarikh Masehi datanglah orang-orang Hindu dari India Bersama mereka, para pedagang, pendeta dan Pangeran agama Hindu dan Buddha tibalah Pangeran Aji Saka, yang mulia perkasa membawa aksara Sanskrit dan Pallawa yang di Jawadwipa lalu menjadi abjad-abjad:


Ha Na Ca Ra Ka

Da Ta Sa Sa La

Pa Da Ja Ya Nya

Ma Ga Ba Tha Nga


kala itulah sejarah agung dimulai pada permulaan tarikh Saka.


Bait 04


Di Jawadwipa, di masa yang telah silam memerintah raja-raja agung yang ternama, Pertama dari para raja, Sri Baginda Punawarman, Bijaksana, adil dan pelindung rakyatnya, Penegak utama kekuasaan Tarumanegara, Dan junjungan bagian pulau sebelah Barat, Dalam abad keempat tarikh Masehi, Ia membangun pengairan sawah dengan kanal-kanal panjang di daerah Krawang karena mulianya digelari titisan dewa Wisnu dalam prasasti kali Ciaruteun, Di bagian tengah Jawadwipa dalam tahun masehi 657tersebutlah nama kerajaan Kalingga dan ratunya, Sima, yang adil dan jujur Pada masa itu dibangun candi-candi Siwa di dataran tinggi Dieng terkenal pula waktu itu, nama Jnanabadhra guru besar agama Buddha yang tinggi ilmunya.


Bait 05


Tahun 732, Sanjaya memerintah Mataram, Di samping para raja wangsa Sailendra banyak didirikan candi suci sebagai baktipuja, Pawon, Mendut dan Kalasan berdiri dan atas niat raja Samarottungga, Borobudur telah berdiri, pada tahun 772 bagi keluhuran budi sang Buddha sekitar masa itulah, yaitu dalam tahun 700 kitab nyanyian Syandracarana dituliskan kemudian berpindahlah kuasa Sailendra wangsa ke Swarnadwipa, di kerajaan Sriwijaya.


Bait 06


Pada tahun 778 dibangunlah candi Siwa di Prambanan atas perintah raja Hindu, Daksa yang terselesaikan tahun 822, Mulai tahun 742 hingga tahun 754 Dyah Balitung yang perkasa, raja Mataram di Medang Kamulan persatukan bagian Timur dan Tengah Jawadwipa, Lalu pada tahun 847, baginda Mpu Sindok pindahkan pemerintahan ke Timur Jawadwipa di Watu Galuh, dekat Jombang, berdiri kratonnya, Pada masa pemerintahannya, Sri Sambhara Suryawarana menuliskan kitab Sang Hyang Kamahayanikan.


Bait 07


Pada akhir abad ke 10 tarikh Masehi, Dharmawangsa memerintah dari Watan di kaki gunung Penanggungan ialah itu yang perintahkan agar disusun kitab undang-undang Siwasasana bagi negerinya, Namun, pada tahun 928, dalam pesta kawin di kraton Watan, Dharmawangsa tewas karena serangan Wurawari, raja Lor Arang keraton dibakar, keluarga raja binasa oleh pedang disebut oleh para pujangga peristiwa itu akhir dunia (pralaya).


Bait 08


Airlangga, menantu Dharmawangsa yang ibundanya cucu Mpu Sindok dan ayahnya raja Bali selamat dari peristiwa sedih dimalam itu lalu disusunnya kekuatan, dipanggilnya nama Wisnu dan dibalasnya dendam pada Sang Wurawari, Pada tahun 1037 ia memerintah di Kahuripan di kaki gunung Penanggungan kemudian ia berpindah ke kraton di Daha Gelar Abiseka sang Prabu ialah: Sri Maharaja Rakai Halu Sri Lokeswara Dharmawangsa Erlangga Anantawikrama Uttunggadewa, Pada masa bahagia itulah ditulis karya sastra Arjuna Wiwaha dan Bhagawadgita, Sang Prabu wafat pada tahun 971 dan dua putranya yang bermusuhan memerintah di Jenggala dan Kediri dari hidup merekalah kisah-kisah Panji dituliskan.


Bait 09


Sekitar masa Airlangga, yaitu tahun 1030, Jawadwipa bagian sebelah Barat diperintah oleh raja Sri Jayabupati yang kratonnya terletak di Galuh Pakuan.


Bait 10


Pada tahun masehi 1135, dinobatkan di Kediri keturunan agung Airlangga dengan gelar Abiseka

Sri Maharaja Sang Mapanji Jayabhaya Sri Warmeswara Madhusudhanawatara Anindita Suhtrasingha Parakrama Uttunggadewa, Beliau raja yang keramat dan tajam pandangnya bagi masa-masa kemudian diucapkannya ramalan akan nasib Jawadwipa, akan nasib bangsanya dengan kalimat nan terselubung, arti tersembunyi Pada tahun 1157, sebelum sang Prabu wafat Mpu Sedah dan Mpu panuluh, menuliskan kita Bharatayudha.


Bait 11


Tahun 1107 saksikan penobatan raja di Kediri yang bergelar Abiseka Sri Maharaja Kamesware Triwikrama Awatara Aniwariwirya Parakrama Digjaya Uttunggadewa, Permaisurinya adalah Kirana Ratu putri Jenggala nan ayu jelita, Pujangga agung Mpu Dharmaja memandang raja dan ratunya, tatkala ditulisnya kisah Dewa Kamajaya dan Ratih Dewi dalam karya sastra nan halus merasuk yang bernama Smaradahana.


Bait 12


Kejayaan dan keagungan Kediri, hilang lenyap dikancah pertempuran Di Ganter, pada tahun 1044, Sewaktu Kertajaya Dandang Gendis terkalahkan oleh barisan Tumapel dan dahsyat Ken Arok yang lalu menjadi yang dipertuan di tanah Jawa dengan gelar Abiseka: Sri Rajasa Sang Amurwabhumi, Bersama permaisuri Ken Dedes, dipuja rakyat namanya dan dimuliakan masa pemerintahannya walau Ken Arok anak orang desa para turunannya menjadi raja agung, Pada tahun 1127 wafatlah Ken arok dan naik takhta putra tirinya, Anusapati putra Ken Dedes dari suami pertamanya, Tunggul Ametung, Semangkatnya raja Anusapati; Tohjaya, putra Ken Arok dari Ken Umang, naik takhta di Kediri namun ia mati terbunuh oleh permupakatan antara Seminingrat, putra Anusapati dan Narasinghamurti, anak Mahisa Wong Ateleng, cucu Bhatara Parameswara, cicit Ken Arok dan Ken Dedes Semingrat lalu memerintah di Kutaraja dengan permaisuri Waning Hyun, adik Narasinghamurti, Narasinghamurti diangkat, jadi ratu Angabhaya

Sang Prabu, gelar Abiseka Wisnuwarhana membangun pelabuhan Canggu di sungai Brantas, Putranya, Sri Lokawijaya, dinobatkan tahun 1254 dengan gelar Abiseka Sri Kertanegara waktu itulah berganti nama Kutaraja menjadi Singasari, Ialah raja yang taat pada agama, pelindung rakyat yang perkasa dan negarawan yang bijaksana, Pada tahun 1274 dikirimnya lasykar Singasari dalam peristiwa Pamalayu, ke Dharmasraya, di Jambi ditundukkannya Tribhuwanaraja Mauliwarmadewa dan padanya dianugerahkan arca Amoghapasa sebagai lambang persahabatan, Dijalinnya pula hubungan akrab, dengan Jayasingawarman III, penguasa negeri Campa karena kala itu terdengar, niat maksud Khubilai Khan agar Jawadwipa sembah bakti padanya yang bahkan telah kirimkan duta besarnya tuk paksa Kertanegara terima kehendak sang kaisar Dengan marah sang Prabu mengusir utusan Tatar dan canangkan kewibawaan Singasari, Tahun 1292 terjadi peristiwa hina yang menyedihkan karena Jayakatwang, raja bawahan di Gelang-gelang berkhianat menghantam sang Prabu di kratonnya Kertanegara gugur dan berpulang ke Jinalaya dimakamkan dengan gelar: Yang Mulia di alam Siwa-Buddha Menantu sang prabu, Sanggramawijaya, disertai para hamba lari dikejar musuh, hingga tiba di Madura Arya Wiraraja lindungi ia, dan dimintakan ampun pada Jayakatwang atas ijinnya, Wijaya membangun Majapahit, dekat Majakerta dan dihimpunnya tentara, tuk balaskan dendam Kertanegara.


Bait 13


Namun suatu peristiwa terjadi

Tanggal 1 Maret 1293, tahun Saka 1215

tentara bangsa Tatar berlabuh di Tuban

dipimpin Shih Pi, Kau Hsing dan Ike Mese

Berbaris berderap pasukannya masuki Jawadwipa

dan ratusan layari sungai Serayu

Dengan penuh kedahsyatan, dibantu Sanggramawijaya

diserbu dan dihalaunya lasykar Jayakatwang

kemudian Sanggramawijaya berbalik menikam

menyerbu orang-orang Tatar, kala mereka mabuk kemenangan

maka pada tanggal 24 April 1293, Saka 1215,

berlayar pulanglah balatentara Tatar


Bait 14


Sanggramawijaya, putra Dyah Lembu Tal, cucu Narasinghamurti

dan menantu Kartanegara

Dinobatkan pada Saka 15 kartika 1225, yaitu masehi 1303,

dengan gelar Abiseka: Sri Kertarajasa Jayawardhana

Empat putri Kartanegara, semua istri sang Prabu

Tribhuwana, Mahadewi, Jayendradewi (Prajnya Paramita)

dan Dyah Dewi Gayatri (Rajapatni), ibunda Tribhuwanatunggadewi

Istri kelima sang Prabu, Dara Petak Dyah Indreswari

yang datang dari Dharmasraya, beliaulah ibunda Jayanegara


Bait 15


Semangkatnya Kertarajasa, naik takhta Jayanegara

masa pemerintahannya amat penuh oleh kesedihan

dan pertumpahan darah

Sang Prabupun wafat pada tahun 1328

ditikam pisau tabib Tanca

Pada masa itulah Gajah mada, anak desa

menanjak lekas, karena jasanya pada Sri Jayanegara


Bait 16


Bulan Badhra çaka 1251 (1329), Tribhuwanatunggadewi

naik ke atas singgasana Majapahit, gelar sang ratu

Tribhuwanatunggadewi Maharajasa Jayawisnuwardhani

masa pemerintahannya negeri aman sentosa

dan sesudah gempa bumi di Pabanyu pindah

pada tahun kelahiran Hayam Wuruk, tahun 1334

Gajah Mada menjadi Patih Mangkubumi

kala itu diujarkannya Sumpah Palapa, persatuan Nusantara

Jika telah berhasil tundukkan Nusantara saya

Baru akan beristirahat. Jika Gurun, seram,

Tanjung Pura, Haru, Dompo, pahang, Bali, Sunda,

Palembang, Tumasik telah tunduk, saya

Baru akan beristirahat.

Tahun itu juga, balatentara majapahit dipersiapkan

tuk menyatukan kepulauan Nusantara

dibantu oleh Laksamana Nala, Adityawarman dan para mentri

dua puluh tiga tahun lamanya Gajah Mada juangkan impiannya



Bait 17


Tahun 1350 menjadi bikhu sang ibunda ratu

dan dinobatkanlah Hayam wuruk, dengan gelar

Dyah Hayam Wuruk Sri Rajasanegara

Masa itulah jaman keagungan bangsa

Nusantara bersatu, keadaan aman tentram

Terdapat pula kitab undang-undang Kutara Manawa

yang ciptakan masyarakat adil di majapahit

Sang Prabu, Apatih Mangkubumi, Para Mentri serta

Dharmajaksa ring Kasyawan dan Dharmajaksa ring Kasogatan

dijunjung diluhurkan di pelosok negeri

Namun pada tahun 1357 terjadi peristiwa nista

Namanya perang Bubat


Bait 18


Di tanah Pasundan bertakhta Prabu Maharaja

Putrinya Dyah Pitaloka amat rupawan tiada tara

kebanggaan istana, kemuliaan Galuh pakuan

karena lamaran Dyah Hayam Wuruk, berangkat Sang Prabu

sertai putrinya ke Majapahit

diiring ratusan ksatria Sunda yang gagah dan cakap berperang

Di sana tinggal mereka di lapangan Bubat

tuk nantikan pinangan sang Prabu Hayam Wuruk

Namun Gajah Mada inginkan raja Sunda sembahkan putrinya

Sebagai tanda bakti dan laku setia

Amat marah terhina para ksatria Sunda

ditolak permintaan, dilayani ksatria Majapahit

hingga semua orang Sunda gugur, di tanah lapang Bubat


Bait 19


Sesudah peristiwa Bubat yang amat hina itu

berhentilah perang perluasan wilayah

Masa bahagia negeri majapahit berlangsung

disertai dengan pembangunan candi-candi,

dan pengembangan seni budaya

utusan para raja di Nusantara, menghadap Sang Prabu membawa upeti

Para dutapun datang berkunjung, dari negeri-negeri sahabat

Sri langka, Campa dan Ayodhya

Pada tahun 1365 Prapanca menulis kitab Desawarnana,

yaitu Negarakertagama

tentang perjalanan sang Prabu meninjau negeri

dan sejarah agung para leluhurnya

Mahapatih Gajah Mada, kebanggaan negeri Majapahit,

wafat pada tahun 1364

menangis sang Prabu dan keluarganya,

terharu sedih seisi negeri

tak diangkat mahapatih baru untuk mengganti

tak ada yang cakap, yang perwira bagai dia


Bait 20


Dyah Hayam Wuruk wafat pada tahun 1389

dan naiklah Wikramawardhana ke atas takhta

ialah putra ibunda Bhre Pajang, cucu Tribhuwana Tunggadewi

dan menantu Dyah Hayam wuruk

setelah masa pemerintahannya, istrinya,

Kusumawardhani berganti memerintah

Kemudian pada tahun 1429 Suhita menjadi ratu

dialah putri Kusumawardhani dan Wikramawardhana

Kertawijaya, putra Wikramawardhana dari selirnya

Naik takhta pada tahun 1446

dan memerintah selama lima belas tahun

kemudian kekuasaannya berpindahlah

pada Wangsa Girindrawardhana


Bait 21


Dyah Wijayakarana, raja pertama wangsa baru

dinobatkan pada tahun 1451

dua tahun lamanya sang Prabu memerintah

Lalu berkuasa di Majapahit selama 15 tahun

raja-raja yang bukan berasal dari Girindrawardhanawangsa

Tahun 1468, naik ke atas takhta cucunda

Dyah Wijayakarana, bernama Singawardhana Dyah Wijayakusuma

Pamanda Dyah Wijayakusuma, Bhre Kertabumi namanya,

menjadi raja pada tahun 1474

dan empat tahun sang Prabu memerintah

Tahun 1486 raja Majapahit terakhir dinobatkan

namanya Prabu Nata Dyah Ranawijaya, putra Singawardhana

Dyah Wijayakusuma; setelah berhasil merebut mahkota

dari Bhre Kertabhumi

Pada tahun 1527 Sang Prabu gugur,

bersama hancurnya Majapahit

Karena serangan Raden Patah dari Demak

Menjelang kebinasaan Majapahit, yang telah rapuh

oleh perebutan kekuasaan dan iri hati

masih tampil karya agung budaya luhur

berujud kitab-kitab Arjunawijaya, Sutasoma, Purusadasanta

yang ditulis Mpu Tantular

serta Wretta Sancarya dan Siwaratrikalpa

buah pikiran Mpu Tanakung


Bait 22


Raden Patahlah raja Islam pertama di Jawadwipa

putra Bhre Kertabhumi dari istrinya putri Cina

di Palembang ia dibesarkan, di tempat Arya Damar, ayah tirinya

berlayarlah ia ke Jawa setelah dewasa, dan di sana dipeluknya

agama Islam yang baru tiba

Ditegakkannya panji-panji baru di demak,

atas bimbingan para wali

dan setelah kejatuhan Majapahit, disebarkannya

ajaran Sang Rasul Di Jawadwipa

Kini suara azan terdengar pada pagi dan senja hari

bukan lagi dengung mantra para pedanda

demikian Demak berdiri, pewaris tunggal Majapahit


Bait 23


Kini dengarlah sejarah para raja Sunda

yang memerintah di Jawadwipa sebelah Barat

Setelah Prabu Maharaja gugur di medan laga Bubat

bersama dengan Dyah Pitaloka yang rupawan

dan para ksatria Sunda pada tahun 1357

Pada tahun 1371, setelah masa perwalian Hyang Bumi Sora,

dinobatkan Prabu Niskala Wastu Kancana

yang dalam usia muda memerintah di Galuh Pakuan

Ialah raja yang berbajik, setia dan taat pada hukum Manu

apabila tak hadir di kraton Surawisesa,

beliau pergi untuk laku tapa brata

rakyat bahagia tentram, lumbung desa penuh padi

104 tahun lamanya Sang Prabu berkuasa

lalu wafat ia di Nusalarang, di telaga Panjalu,

di bilangan Kawali Galuh

Sang Prabu diganti putranya Rahiyang Dewa Niskala

yang memerintah selama 7 tahun dan berpulang di Gunatiga

Pada tahun 1482 naik takhta Prabu Ratu Purana

Setelah diwastu bernama Prabu Guru Dewataprana


Bait 24


Raja yang agung, perkasa dan termashur

dipindahnya ibukota ke Pakuan Pajajaran

pusat negeri yang diapit sungai-sungai Ciliwung dan Cisadane

dengan dermaga pelabuhannya

Kapal-kapal dagang masuk dari Sunda Kelapa,

Tangerang dan Merunda

berlayar masuk hingga Pakuan Pajajaran

lewat jalan darat para pedagang tiba; dari pelabuhan-pelabuhan

Banten, Krawang dan Pontang

Jalan-jalan gerobak lalu lintasi pedalaman pulau, dan

Sebuah jalan raya yang amat panjang terdapat;

Bermula di pakuan Pajajaran, melalui Cileungsi,

Warunggede, Tanjung Pura, Krawang, Cikao,

Purwakarta, Segalaherang, lalu liwati

Sumedang, Tomo, Sindangkasih, Raja Galuh,

Talaga, Kawali hingga ke pusat Galuh Pakuan

Amatlah berkuasa sang Prabu

dari Ujung Kulon hingga Pasir Luhur

namanya dipuja dan disanjung hormat


Bait 25


Prabu Ratu Purana diwastu lagi dan bergelar

Sri Baduga Maharaja, Ratu raja di Pakuan Pajajaran

Dibangun atas perintahnya, sebuah istana megah dan indah

penuh ukiran dan hiasan, pantas bagi Maharaja Sunda

Di sanalah, di Kraton Sri Bima Punta Narayana Madura Suradipati,

raja mulia bersemayam

dari jauh diterimanya upeti persembahan

tanda setia para raja Pasundan

Dipelbagai tempat asrama suci pandita didirikan

Di atas tanah hadiah Sri Baginda

Dibuat pula sebuah danau, bernama

Sang Hyang Talagarena Mahawijaya

yang airnya mengalir suburkan sawah penduduk

di telaga itu para putri bersuka ria di atas perahu

seraya mendengar cicit nyanyian burung

dan menatap keindahan taman Milakancana

dan Samida, hutan ciptaan Baginda

Bukankah terdengar pula pada nyanyian Juru pantun

Cipatahunan atau Sipatahunan

yang ada di talaga Rena Mahawijaya

yang sekarang hanya tinggal bekasnya

ujung hulunya pada Bantar Peuteuy

ujung kakinya pada Babakan Pilar

Di ketinggian ujung hulu telaga, tak jauh dari kraton Sang Prabu

berdiri punden keramat, tempat upacara Kuwerabakti

sekali dalam setahun di sana para raja Sunda berkumpul

iringi para pandita memohon berkah kesuburan tanah


Bait 26


Tinggi nian budaya rakyat Sunda di masa itu

Jadi kekaguman orang di masa kini

Seperti yang tertulis dalam kitab Siksa Kanda Karesian

yang disusun tahun 1518

banyak pengetahuan dipelajari,

jadi pembimbing seluruh negeri

ilmu pemerintahan, ilmu perang, ilmu agama dan sanditapa;

ilmu bahasa-bahasa, batik, tarian dan pewayangan;

dan ilmu pelayaran dipelajari pula

Sungguh gemilang Pajajaran, kebanggaan seluruh Nusantara


Bait 27


39 tahun lamanya Ratu Purana memerintah

dan pada tahun 1521 dinobatkan putranya, Prabu Surawisesa

Masa pemerintahan Sang Prabu ialah 14 tahun

lalu diganti Prabu Ratu Dewata tahun 1535

Dialah yang mendirikan prasasti Batutulis

di samping Sang Hyang Lingga pada tahun Saka

Panca Pandawa Ngemban Bumi

tuk memuliakan kakeknya yang agung

Ratu Purana, atau Prabu Siliwangi

Kala itu Islam telah masuk ke tanah Pasundan

dan akhir kejayaan Pajajaranpun telah nampak

22 Juni 1527, Saka 1449 Falatehan, panglima raja Demak,

menaklukan pelabuhan Sunda Kelapa

yang berganti nama menjadi Jayakarta


Bait 28


Tahun 1543 dinobatkanlah putra Ratu Dewata

namanya Sang Ratu Saksi, dan 8 tahun ia memerintah

hingga saat putranya, Prabu Ratu Carita, menjadi raja

dalam tahun 1551

Tahun 1567 naiklah Nu Siya Mulya ke Singgasana

tuk memerintah negeri yang kejayaannya telah lama pudar

tak sanggup liwati pergantian masa, tak kuat hadapi lawannya

Nu Siya Mulya disebut pula Prabu Seda

karena ia gugur dalam pertempuran di tahun 1579

sewaktu balatentara Pangeran Yusuf dari banten

menyerbu dalam peristiwa burakna Pajajaran

Porak poranda seisi negeri, musnah sudah keagungan

Watu Gigilang, Warisan Karuhun, tempat penobatan raja

dibawa pergi ke tanah Banten

Tamat sudah sejarah kerajaan Pakuan Pajajaran

Namun, tak dilupakan orang jaman keemasan

Seperti masih disebut dalam pantun Bogor, Kujang di Hanjuang Siang:

Masih mending Jaman Pajajaran

ketika masih ada Kuwerabakti

ketika guru bumi dipuja-puja

ketika lumbung umum isinya melimpah

tiada tani perlu ngijon, tiada tani gadaikan pekarangan

tiada tani mati karena kesal

tiada tani mati karena lapar


Bait 29


Bantenlah pewaris kekuasaan di Pasundan

dan beberapa waktu namanya tersohor di Jawadwipa

banyak pula raja muslimnya yang termashur

yang namanya terpatri dalam ingatan bangsanya

Sultan Hasanudin yang gagah perkasa

berwibawa dan dijunjung tinggi

Sultan Ageng yang tegas tak kenal takut

berani menantang keangkuhan bangsa Belanda

di Batavia

Tapi pada akhirnya, kalahlah Banten bersama

Kesultanan Cirebon

Karena muslihat dan peperangan,

dengan bangsa penjajah itu


Bait 30


Adapun bangsa Belanda, pertama datang untuk berdagang

namun perlahan-lahan, ditegakkannya kuasa

di Jawadwipa, dan seluruh Nusantara

Tanggal 30 Mei 1619, Saka 1541, Jayakarta jatuh

ke tangan Yan Pieterzen Coen

dan Juni tanggal 22 tahun 1621, Saka 1543

diberi nama Batavia, pada kota pelabuhan itu

Jaman para raja agung telah hampir selesai

Kejayaan dan kemuliaan Jawadwipa, perlahan

meredup, untuk akhirnya padam selama masa penjajahan

Namun, sebelum keagungan, keindahan dan keperkasaan

jiwa kebangsaan berangkat tidur

masih berdiri sebuah kerajaan tersohor

namanya Mataram



Bait 31


Seperti telah disebutkan dalam kata-kata yang terdahulu

tentang berdirinya kesultanan Demak

yang bangkit penuh pesona di atas reruntuhan Majapahit

dan memulai babak baru dengan ajaran baru

Kekuasaan inilah yang selama beberapa masa

dipertuan di Jawadwipa, berpengaruh di Nusantara

Dari pelabuhannya armada andalan negeri

berlayar perangi perompak dan amankan laut

Adipati Unus, putra Raden Patah

adalah laksamana Demak yang tangkas dan ternama

lalu Raden Trenggana, raja yang cakap, memerintah

bijaksana beroleh wahyu hidayat

walaupun tak lama masa jaya Demak

namanya bangkitkan juga semangat kepahlawanan

Kemudian kalahlah Demak oleh Pajang

Kesultanan baru yang muncul sesudahnya

Memerintah di pajang Sultan Adiwijaya

Dari tahun 1550 hingga 1582

Dialah yang anugerahkan daerah Mataram untuk diperintah

Pada Ki Gede Pemanahan panglimanya

Adapun Mataram di bagian tengah Jawadwipa

meliputi Surakarta, Kalasan, Klaten, Yogyakarta,

Kota Gede, Bantul, Imogiri, Sleman, hingga ke pantai selatan

Di sana, tempat raja-raja agung di masa Hindu yang telah silam

kini bangkit kuasa tak tertandingi

yang namanya getarkan kalbu Nusantara


Bait 32


Putra Ki Gede Pemanahan, Sutowijoyo

yang bergelar Pangeran Ngabehi Lor Ing Pasar

lalu menggantikan ayahandanya, memerintah negeri Mataram

diteguhkannya kekuasaan, dikalahkan para lawannya

dikibarkannya panji Mataram, diangkatnya senjata melawan Pajang

semangkatnya Sultan Adiwijaya, di tahun 1582

naik takhta Sutowijoyo dengan gelar

Panembahan Senopati Ing Ngalaga

Dari Kuto Gede, ibukota negeri

barisan-barisan Mataram menyerbu para adipati merdeka

di sekitar pantai Utara dan Surabaya

nama Sang Prabu disegani di seluruh pulau

dihormati hingga sejauh Cirebon

Kemudian mnagkatlah ia ditahun 1601

dan dimakamkan di Kuto Gede


Bait 33


Berganti memerintah Mas Jolang, Putra Sang Prabu

dengan gelar Sunan Hadi Prabu Anyakrawati

selama 12 tahun ia memerintah, lalu wafat di desa Krapyak

kabarnya terbunuh oleh pengkhianatan

ketika sedang memimpin pasukannya

untuk menyerbu dan menundukkan pantai Utara

Ia dimakamkan di Kuto Gede, di dekat makam ayahandanya


Bait 34


Putra Panembahan Seda Krapyak, dinobatkan tahun 1613

namanya Sultan Agung Prabu Anyokrokusumo

Dialah raja Mataram yang termashur

pada masanya Sabda Pandita Ratu

sesungguhnya dijunjung, diabaikan dan diamalkan

Sang Prabu semulia Airlangga dan Hayam Wuruk

Gagah berani bagai Wijaya Kertarajasa

cakapnyapun seperti mahapatih Gajah Mada

sebagai raja Sultan Agung adil dan jujur

cita-citanyapun suci, ingin satukan Nusantara

Tahun 1624 tentara Mataram tundukkan Madura

dan pada Sang Prabu, Panembahan Cakraningrat

berikan janji setia

Lalu Adipati Pekik di Surabaya menyerah pula

setelah bertempur berani dan dikepung berbulan-bulan

iapun diampuni oleh kebesaran hati Sang Prabu

malah dinikahkan dengan adinda raja agung

Kemudian Sang prabu kirimkan pasukannya

ke Sukadana di Kalimantan Barat

hingga negeri itupun tunduk padanya

Ketika Sang Prabu sentuhkan kuasanya ke tanah Banten

kuatirlah bangsa Belanda di Batavia

dan mereka coba halang niat Mataram

Pada tahun 1628 dan 1629

balatentara Mataram bertempur di Batavia

untuk habisi kuasa asing di Jawadwipa

Ratusan adipati dan tumenggung berangkat

diiring ribuan prajurit, berbaris gegap gempita

Para adipati di tanah Pasundan turut berperang

dan lumbung-lumbung padi di Krawang disiapkan

untuk masa perang yang panjang

Lasykar tumenggung Bahusasra, mendarat beramai di Merunda

pasukan Adipati Ukur menggempur, pintu benteng Batavia

Berbulan bangsa asing terkepung, hampir binasa seisi Batavia

Namun armada Belanda datang membantu dari Maluku

dan pengkhianat membakar lumbung-lumbung padi

hingga terpukullah tentara Mataram

dalam pertempuran dan oleh kelaparan

Akhirnya mundurlah barisan Mataram, dengan kecewa

karena gagal penuhi amanat Sang Prabu

Akan tetapi telah ditunjukkan pada penjajah

Keampuhan bangsa dan keberanian ksatria-ksatria Nusantara

Dalam perang penaklukan terakhir di tahun 1639

tunduklah Blambangan di Timur Jawadwipa

Besarlah kuasa Mataram yang meliputi seluruh Jawadwipa,

kecuali Banten dan Batavia

pengaruhnyapun terasa, sejauh Palembang, Jambi dan Banjarmasin


Bait 35


Sultan Agung negarawan yang bijaksana pula

karena padat sudah tanah Mataram

dipindahkannya sebagian penduduk ke Krawang

Ia juga seorang sastrawan dan pujangga agung

yang menuliskan kitab Sastra Gending

Ditunjukkannya ajaran nabi Muhammad

dalam wadah budaya Jawa, nan tua dan indah

Penanggalan tarikh Saka, disesuaikan dengan tahun Hijriah

Hari Raya Garebekpun dirubah maknanya,

menjadi Garebek Puasa dan Garebek Maulud

Pantaslah dikenang kejayaan Sultan Agung

raja, pujangga dan putra Nusantara sejati

Tahun 1645 Sultan Agung yang mulia wafat

di Imogiri, pemakaman para raja, ia dimakamkan


Bait 36


Tahun 1645 naiklah ke atas takhta

putra Sultan agung, Sunan Amangkurat I

dari Kartasura ia memerintah Jawadwipa

dengan keras hati dan sifat yang kejam

dimusnahkannya para bangsawan yang membangkang

dibinasakannya kaum ulama yang menentang

Maka meletus perlawanan di tahun 1674

dipimpin oleh Trunojoyo dan Adipati Anom, putra mahkota

dengan dukungan para bangsawan dan kaum ulama

prajurit Sang Prabu dikalahkan dan akhirnya kratonpun diserbu

Sunan Amangkurat I lari ke arah Barat

Kini Adipati Anom menyesal, lalu berbalik menyusul ayahandanya

Di Tegal arum, pada tahun 1677, wafatlah Sang prabu

Dan di sanalah ia dimakamkan


Bait 37


Atas dukungan tentara Belanda, naiklah Adipati anom ke atas takhta

di Surakarta ia memerintah, dengan gelar Sunan Amangkurat II

Kini kekuasaan Belanda telah merasuk Jawadwipa

Yang telah sirna jayanya dan hilang keagungannya

Berdiri pula loji Belanda di Surakarta

untuk awasi setiap langkah Sang Prabu

Pada masa itulah budak dari Bali Untung Surapati

lari ke arah Timur dari Batavia, dengan pengiring-pengiringnya

Di Surakarta digemparkannya seisi negeri

ketika ia berlaga dengan tentara Belanda

lalu didirikannya kerajaan di Pasuruan

yang musnah bersamanya, dalam dentuman meriam

bedil tentara penjajah

Kerajaan Matarampun akhirnya pecah jadi empat

karena muslihat dan hasutan Belanda, yang panaskan

persengketaan keluarga

Setelah perjanjian Giyanti di tahun 1755

di Yogyakarta Hadiningrat, Mataram sebelah Barat

memerintah Sultan Hamengkubuwono I

sedang di Surakarta, tetap memerintah Susuhunan Pakubuwono

Pada perjanjian Salatiga didirikan di Surakarta

daerah merdeka, di bawah Raden Mas Said, yang bergelar Mangkunegoro I

Kemudian berdiri pula kala Sir Stamford Raffles berkuasa di Nusantara

daerah merdeka di Yogyakarta, di bawah pangeran Notokusumo,

yang bergelar Sri Paku Alam I

Kini selesailah babak Mataram, sirna ditelan jaman penjajahan



Bait 38


Dalam abad Masehi ke 19

hidup di Yogyakarta Hadiningrat, pangeran Diponegoro

Dialah putra sulung raja Hamengkubuwono III

yang gagah berani dan taat beragama

Dengan muak dipandangnya seisi kraton

mengikuti kemauan penjajah Belanda

Bermusuhan ia dengan Adipati Danurejo

dan para pejabat bangsa Belanda

Karena hinaan bangsa penjajah, geramlah Diponegoro

Pada tahun 1825 diangkatnya senjata

melawan tentara Belanda, hadapi lasykar Danurejo

Lima tahun Jawadwipa dilanda perang

dan darah tertumpah di bumi tercinta

Kyai Maja, Sentot Alibasyah dan banyak lagi

sertai Sang Pangeran mempimpin rakyat perangi lawan

Tapi, pada tahun 1830, dengan dalih mengajak berunding

Penjajah yang licik tangkap Diponegoro

Ke Menado ia dan keluarganya, diiring para pengikut diasingkan

Kemudian Belanda memindahkannya ke Makassar

dan di sanalah ia, pahlawan Nusantara, wafat


Bait 39


Di malam terang bulan, kala tak sejengkal awanpun

bawakan curahan hujan

berkumpul putra-putra tanah ini; di halaman kraton

di depan rumah pak lurah atau di pesta perkawinan

Menyaksikan bayang-bayang dibalik layar putih, yang

samar-samar diterangi lampu blencong dan sinar purnama

bayang-bayang wayang kulit

yang dihidupkan Ki Dalang

bawakan kisah cerita Mahabarata

Kelima Pandawa pembela kebenaran, berperang

musnahkan kaum Kurawa dan para raksasa

keempat tokoh dari Karang Tumaritis,

hibur para penonton

dengan kata-kata jenaka dan gelak tawa

Nasihat-nasihat bertuah suci dari leluhur,

tiba di hati penggemar wayang

diiring bunyi merdu gamelan, nan ramaikan malam

indah di bumi Jawa

Terbit pula kekaguman akan masa lalu, tatkala, mereka saksikan

gemulai lembut penari-penari Serimpi dan Bedoyo

Tidak, jiwa bangsa tidak mati dalam alam penjajahan

di suatu hari kelak rasa kebanggaan dan cinta tanah air

akan merdekakan negeri terkasih.

Kitab Adiparwa

Kita Adiparwa

Adiparwa adalah buku pertama atau bagian (parwa) pertama dari kisah Mahabharata.

Pada dasarnya bagian ini berisi ringkasan keseluruhan cerita Mahabharata, kisah-kisah mengenai latar belakang ceritera, nenek moyang keluarga Bharata, hingga masa muda Korawa dan Pandawa).

Kisahnya dituturkan dalam sebuah cerita bingkai dan alur ceritanya meloncat-loncat sehingga tidak mengalir dengan baik.


Penuturan kisah keluarga besar Bharata tersebut dimulai dengan percakapan antara Bagawan Ugrasrawa yang mendatangi Bagawan Sonaka di hutan Nemisa.

Adiparwa dituturkan seperti sebuah narasi. Penuturan isi kitab tersebut bermula ketika Sang Ugrasrawa mendatangi Bagawan Sonaka yang sedang melakukan upacara di hutan Nemisa.

Sang Ugrasrawa menceritakan kepada Bagawan Sonaka tentang keberadaan sebuah kumpulan kitab yang disebut Astadasaparwa, pokok ceritanya adalah kisah perselisihan Pandawa dan Korawa, keturunan Sang Bharata.

Dari penuturan Sang Ugrasrawa, mengalirlah kisah besar keluarga Bharata tersebut (Mahābhārata).

Bagian-bagian kitab Adiparwa itu di antaranya: (di anyam dalam cerita bingkai).

* Cerita Begawan Ugrasrawa (Ugraçrawā) mengenai terjadinya pemandian Samantapañcaka dan tentang dituturkannya kisah Mahabharata oleh Begawan Waisampayana (Waiçampāyana).

Kisah panjang tersebut dituturkan atas permintaan maharaja Janamejaya, raja Hastinapura, anak mendiang prabu Parikesit (Parīkşit) dan cicit Pandawa. Begawan Waisampayana bermaksud menghibur sang maharaja atas kegagalan kurban ular (sarpayajña) yang dilangsungkan untuk menghukum naga Taksaka, yang telah membunuh raja Pariksit.

Selain itu sang Ugrasrawa juga menjelaskan ringkasan delapan belas parwa yang menyusun Mahabharata; jumlah bab, seloka (çloka) dan isi dari masing-masing parwa.

* Cerita dikutuknya maharaja Janamejaya oleh sang Sarama, yang berakibat kegagalan kurban yang dilangsungkan oleh sang maharaja.

* Cerita Begawan Dhomya beserta ketiga orang muridnya; sang Arunika, sang Utamanyu dan sang Weda. Dilanjutkan dengan ceritera Posya, mengenai kisah asal mula sang Uttangka murid sang Weda bermusuhan dengan naga Taksaka. Oleh karenanya sang Uttangka lalu membujuk Maharaja Janamejaya untuk melaksanakan sarpayajña atau upacara pengorbanan ular.

* Cerita asal mula Hyang Agni (dewa api) memakan segala sesuatu, apa saja dapat dibakarnya, dengan tidak memilah-milah. Serta nasihat dewa kepada sang Ruru untuk mengikuti jejak sang Astika, yang melindungi para ular dan naga dari kurban maharaja Janamejaya.


* Ceritera Astika; mulai dari kisah sang Jaratkāru mengawini sang Nāgini (naga perempuan) dan beranakkan sang Astika, kisah lahirnya naga dan garuda, dikutuknya para naga oleh ibunya agar dimakan api pada kurban ular, permusuhan naga dengan garuda, hingga upaya para naga menghindarkan diri dari kurban ular.

Di dalam ceritera ini terselip pula kisah mengenai upaya para dewa untuk mendapatkan tirta amrta atau air kehidupan, serta asal-usul gerhana matahari dan bulan.

* Cerita asal-usul Raja Parikesit dikutuk Begawan Çrunggī dan karenanya mati digigit naga Taksaka.

* Cerita pelaksanaan kurban ular oleh maharaja Janamejaya, dan bagaimana Begawan Astika mengurungkan kurban ular ini.

* Cerita asal-usul dan sejarah nenek moyang Kurawa dan Pandawa. Kisah Sakuntala (Çakuntala) yang melahirkan Bharata, yang kemudian menurunkan keluarga Bharata. Sampai kepada sang Kuru, yang membuat tegal Kuruksetra; sang Hasti, yang mendirikan Hastinapura; maharaja Santanu (Çantanu) yang berputra Bhîsma Dewabrata, lahirnya Begawan Byasa (Byâsa atau Abiyasa) –sang pengarang kisah ini– sampai kepada lahirnya Dhrestarastra (Dhŗţarāstra) –ayah para Kurawa, Pandu (Pãņdu) –ayah para Pandawa, dan sang Widura.

* Cerita kelahiran dan masa kecil Kurawa dan Pandawa. Permusuhan Kurawa dan Pandawa kecil, kisah dang hyang Drona, hingga sang Karna menjadi adipati di Awangga.

* Cerita masa muda Pandawa. Terbakarnya rumah damar, kisah sang Bima (Bhîma) mengalahkan raksasa Hidimba dan mengawini adiknya Hidimbî (Arimbi) serta kelahiran Gatutkaca, kemenangan Pandawa dalam sayembara Drupadi, dibaginya negara Hâstina menjadi dua untuk Kurawa dan Pandawa, pengasingan sang Arjuna selama 12 tahun dalam hutan, lahirnya Abimanyu (Abhimanyu) ayah sang Pariksit, hingga terbakarnya hutan Kandhawa tempat naga Taksaka bersembunyi.

Bahagian yg terpenting :

Mangkatnya Raja Parikesit.
Dikisahkan, ada seorang Raja bernama Parikesit, putera Sang Abimanyu, yang bertahta di Hastinapura. Beliau merupakan keturunan Sang Kuru, maka disebut juga Kuruwangsa.

Pada suatu hari, beliau berburu kijang ke tengah hutan. Kijang diikutinya sampai kehilangan jejak.

Di hutan beliau berpapasan dengan seorang pendeta bernama Bagawan Samiti. Sang Raja menanyakan kemana kijang buruannya pergi, namun sang pendeta membisu (bertapa dengan bisu).

Hal tersebut membuat Raja Parikesit marah. Beliau mengambil bangkai ular, kemudian mengalungkannya di leher sang pendeta.

Putera sang pendeta yang bernama Srenggi, mengetahui hal tersebut dari penjelasan Sang Kresa, kemudian ia menjadi marah.

Ia mengutuk Sang Raja, agar beliau wafat karena digigit ular, tujuh hari setelah kutukan diucapkan.

Setelah Sang Raja menerima kutukan tersebut, maka ia berlindung di sebuah menara yang dijaga dan diawasi dengan ketat oleh prajurit dan para patihnya.

Di sekeliling menara juga telah siap para tabib yang ahli menangani bisa ular.

Pada hari ketujuh, yaitu hari yang diramalkan menjadi hari kematiannya, seekor naga yang bernama Taksaka menyamar menjadi ulat pada jambu yang dihaturkan kepada Sang Raja.

Akhirnya Sang Raja mangkat setelah digigit Naga Taksaka yang menyamar menjadi ulat dalam jambu Raja Janamejaya mengadakan upacara korban ular Setelah Maharaja Parikesit mangkat, puteranya yang bernama Janamejaya menggantikan tahtanya. Pada waktu itu beliau masih kanak-kanak, namun sudah memiliki kesaktian, kepandaian, dan wajah yang tampan.

Raja Janamejaya dinikahkan dengan puteri dari Kerajaan Kasi, bernama Bhamustiman. Raja Janamejaya memerintah dengan adil dan bijaksana sehingga dunia tenteram, setiap musuh pasti dapat ditaklukkannya. Ketika Sang Raja berhasil menaklukkan desa Taksila, Sang Uttangka datang menghadap Sang Raja dan mengatakan niatnya yang benci terhadap Naga Taksaka, sekaligus menceritakan bahwa penyebab kematian ayahnya adalah karena ulah Naga Taksaka.

Sang Raja meneliti kebenaran cerita tersebut dan para patihnya membenarkan cerita Sang Uttangka.

Sang Raja dianjurkan untuk mengadakan upacara pengorbanan ular untuk membalas Naga Taksaka.

Singkat cerita, beliau menyiapakan segala kebutuhan upacara dan mengundang para pendeta dan ahli mantra untuk membantu proses upacara.

Melihat Sang Raja mengadakan upacara tersebut, Naga Taksaka menjadi gelisah. Kemudian ia mengutus Sang Astika untuk menggagalkan upacara Sang Raja. Sang Astika menerima tugas tersebut lalu pergi ke lokasi upacara.

Sang Astika menyembah-nyembah Sang Raja dan memohon agar Sang Raja membatalkan upacaranya.

Sang Raja yang memiliki rasa belas kasihan terhadap Sang Astika, membatalkan upacaranya. Akhirnya,

Sang Astika mohon diri untuk kembali ke Nagaloka. Naga Taksaka pun selamat dari upacara tersebut.

Wesampayana menuturkan Mahabharata

Maharaja Janamejaya yang sedih karena upacaranya tidak sempurna, meminta Bagawan Byasa untuk menceritakan kisah leluhurnya, sekaligus kisah Pandawa dan Korawa yang bertempur di Kurukshetra.

Karena Bagawan Byasa sibuk dengan urusan lain, maka Bagawan Wesampayana disuruh mewakilinya.

Beliau adalah murid Bagawan Byasa, penulis kisah besar keluarga Bharata atau Mahābhārata. Sesuai keinginan Raja Janamejaya, Bagawan Wesampayana menuturkan sebuah kisah kepada Sang Raja, yaitu kisah sebelum sang raja lahir, kisah Pandawa dan Korawa, kisah perang di Kurukshetra, dan kisah silsilah leluhur sang raja. Wesampayana mula-mula menuturkan kisah leluhur Maharaja Janamejaya (Sakuntala, Duswanta, Bharata, Yayati, Puru, Kuru), kemudian kisah buyutnya, yaitu Pandawa dan Korawa.

Kisah Prabu Santanu dan keturunannya

Tersebutlah seorang Raja bernama Pratipa, beliau merupakan salah satu keturunan Sang Kuru atau Kuruwangsa, bertahta di Hastinapura.

Raja Pratipa memiliki permaisuri bernama Sunandha dari Kerajaan Siwi, yang melahirkan tiga putera.

Di antara ketiga putera tersebut, Santanu dinobatkan menjadi Raja. Raja Santanu menikahi Dewi Gangga, kemudian berputera 8 orang.

Tujuh puteranya yang lain ditenggelamkan ke sungai oleh istrinya sendiri, sedangkan puteranya yang terakhir berhasil selamat karena perbuatan istrinya dicegah oleh Sang Raja.

Puteranya tersebut bernama Dewabrata, namun di kemudian hari bernama Bhisma. Raja Santanu menikah sekali lagi dengan seorang puteri nelayan bernama Satyawati. Satyawati melahirkan 2 putera, bernama Chitrāngada dan Wicitrawirya.

Chitrāngada mewarisi tahta ayahnya. Namun karena ia gugur di usia muda pada suatu pertempuran melawan seorang Raja Gandharva, pemerintahannya digantikan oleh adiknya, Wicitrawirya.

Wicitrawirya menikahi Ambika dan Ambalika dari Kerajaan Kasi. Tak lama setelah pernikahannya, Wicitrawirya wafat. Untuk memperoleh keturunan, kedua janda Wicitrawirya melangsungkan upacara yang dipimpin oleh Bagawan Byasa. Ambika melahirkan Drestarastra yang buta sedangkan Ambalika melahirkan Pandu yang pucat. Atas anugerah Bagawan Byasa, seorang pelayan yang turut serta dalam upacara tersebut melahirkan seorang putera, bernama Widura yang sedikit pincang.

Drestarastra menikahi Gandari kemudian memiliki seratus putera yang disebut Korawa. Pandu menikahi Kunti dan Madri. Kunti melahirkan Yudistira, Bhima, dan Arjuna. Madri melahirkan Nakula dan Sadewa. Keturunan Pandu tersebut disebut Pandawa.

Kisah masa kecil Pandawa dan Korawa

Pandawa dan Korawa hidup bersama-sama di istana Hastinapura. Bagawan Drona mendidik mereka semasa kanak-kanak, bersama dengan puteranya yang bernama Aswatama.

Selain itu mereka diasuh pula oleh Bhisma dan Bagawan Kripa. Setelah Pandu mangkat, kakaknya yang bernama Drestarastra melanjutkan pemerintahan. Drestarastra melihat talenta para Pandawa dan hendak mencalonkan Yudistira sebagai Raja, namun hal tersebut justru menimbulkan sikap iri hati dalam diri Duryodana, salah satu Korawa.

Tingkah laku Bima yang tanpa sengaja merugikan para Korawa juga sering membuat Duryodana dan adik-adiknya kesal.

Terbakarnya rumah damar

Suatu hari Duryodana berpikir ia bersama adiknya mustahil untuk dapat meneruskan tahta Dinasti Kuru apabila sepupunya masih ada.

Mereka semua (Pandawa lima dan sepupu-sepupunya atau yang dikenal juga sebagai Korawa) tinggal bersama dalam suatu kerajaan yang beribukota di Hastinapura. Akhirnya berbagai niat jahat muncul dalam benaknya untuk menyingkirkan Pandawa lima beserta ibunya.

Drestarastra yang mencintai keponakannya secara berlebihan mengangkat Yudistira sebagai putra mahkota tetapi ia langsung menyesali perbuatannya yang terlalu terburu-buru sehingga ia tidak memikirkan perasaan anaknya.

Hal ini menyebabkan Duryodana iri hati dengan Yudistira, ia mencoba untuk membunuh pandawa lima beserta ibu mereka yang bernama Kunti dengan cara menyuruh mereka berlibur ke tempat yang bernama Ekacakra.

Di sana terdapat bangunan yang megah, yang telah disiapkan Duryodana untuk mereka berlibur dan akan membakar bagunan itu di tengah malam pada saat pandawa lima sedang terlelap tidur.

Segala sesuatunya yang sudah direncanakan Duryodana dibocorkan oleh Widura yang merupakan paman dari Pandawa lima.

Sebelum itu juga Yudistira juga telah diingatkan oleh seorang petapa yang datang ke dirinya bahwa akan ada bencana yang menimpannya oleh karena itu Yudistira pun sudah berwaspada terhadap segala kemungkinan.

Untuk pertama kalinya Yudistira lolos dalam perangkap Duryodana dan melarikan diri ke hutan rimba.

Pandawa mendapatkan Dropadi

Pada suatu hari, Pandawa mengikuti sayembara yang diselenggarakan Raja Drupada di Kerajaan Panchala.

Sayembara tersebut memperebutkan Dewi Dropadi. Banyak ksatria di penjuru Bharatawarsha turut menghadiri.

Para Pandawa menyamar sebagai seorang Brāhmana. Sebuah sasaran diletakkan di tengah-tengah arena, dan siapa yang berhasil memanah sasaran tersebut dengan tepat, maka ialah yang berhasil mendapatkan Dropadi. Satu-persatu ksatria maju, namun tidak ada satu pun yang berhasil memanah dengan tepat. Ketika Karna dari Kerajaan Anga turut serta, ia berhasil memanah sasaran dengan baik.

Namun Dropadi menolak untuk menikahi Karna karena karna anak seorang kusir yang tentu lebih rendah kastanya. Karna kecewa tetapi juga kesal terhadap Dropadi.

Para Pandawa yang diwakili oleh Arjuna turut serta. Arjuna berpakaian seperti Brāhmana. Ketika ia tampil ke muka, ia berhasil memanah sasaran dengan baik, maka Dropadi berhak menjadi miliknya. Namun hal tersebut menimbulkan kericuhan karena seorang Brāhmana tidak pantas untuk mengikuti sayembara yang ditujukan kepada golongan ksatria.

Arjuna dan Bima pun berkelahi dengan para ksatria di sana, sementara Yudistira, Nakula dan Sadewa melarikan Dropadi ke rumah mereka. Sesampainya di rumah, Pandawa berseru, “Ibu, kami datang membawa hasil meminta-minta”. Kunti, ibu para Pandawa, tidak melihat apa yang dibawa oleh anak-anaknya karena sibuk dan berkata, “Bagi dengan rata apa yang kalian peroleh”.

Ketika ia menoleh, alangkah terkejutnya ia karena anak-anaknya tidak saja membawa hasil meminta-minta, namun juga seorang wanita. Kunti yang tidak mau berdusta, membuat anak-anaknya untuk berbagai istri

Arjuna mengasingkan diri ke hutan

Para Pandawa sepakat untuk membagi Dropadi sebagai istri. Mereka juga berjanji tidak akan mengganggu Dropadi ketika sedang bermesraan di kamar bersama dengan salah satu dari Pandawa.

Hukuman dari perbuatan yang menggangu adalah pembuangan selama 12 tahun.

Pada suatu hari, ketika Pandawa sedang memerintah kerajaannya di Indraprastha, seorang pendeta masuk ke istana dan melapor bahwa pertapaannya diganggu oleh para rakshasa.

Arjuna yang merasa memiliki kewajiban untuk menolongnya, bergegas mengambil senjatanya. Namun senjata tersebut disimpan di sebuah kamar dimana Yudistira dan Dropadi sedang menikmati malam mereka.

Demi kewajibannya, Arjuna rela masuk kamar mengambil senjata, tidak mempedulikan Yudistira dan Dropadi yang sedang bermesraan di kamar. Atas perbuatan tersebut, Arjuna dihukum untuk menjalani pembuangan selama 12 tahun. Arjuna menerima hukuman tersebut dengan ikhlas.

Arjuna menghabiskan masa pengasingannya dengan menjelajahi penjuru Bharatawarsha atau daratan India Kuno.

Selama masa pengasingannya, Arjuna memiliki tiga istri lagi. Mereka adalah: Subadra (adik Sri Kresna), Ulupi, dan Citrangada.

Dari hubungannya dengan Subadra anaknya bernama Abimanyu. Dengan Ulupi anaknya bernama Irawan. Dengan Citrangada anaknya bernama Babruwahana.

Kisah lain dalam Kitab Adiparwa

Selain kisah Pandawa dan Korawa, Sang Ugrasrawa juga menuturkan kisah lain kepada Bagawan Sonaka, yang berbentuk cerita bingkai, sehingga alur ceritanya campuran, tidak mengalir ke depan melainkan meloncat-loncat

Bagian penting cerita

Kisah Bagawan Dhomya menguji tiga muridnya

Dikisahkan seorang Brāhmana bernama Bagawan Dhomya, tinggal di Ayodhya. Beliau memiliki 3 murid, bernama: Sang Utamanyu, Sang Arunika, dan Sang Weda.

Ketiganya akan diuji kesetiaannya oleh Sang Guru. Sang Arunika disuruh bersawah. Dengan berhati-hati Sang Arunika merawat biji padi yang ditanamnya. Ketika biji-bijinya sedang tumbuh, datanglah hujan membawa air bah yang kemudian merusak pematang sawahnya.

Ia khawatir kalau air tersebut akan merusak tanamannya, maka ia perbaiki pematangnya untuk menahan air. Berkali-kali usahanya gagal dan pematangnya jebol, maka ia merebahkan dirinya sebagai pengganti pematang yang jebol untuk menahan air. Karena kesetiannya tersebut, Sang Arunika diberikan anugerah kesaktian oleh Bagawan Dhomya.

Sementara itu, Sang Utamanyu disuruh mengembala sapi. Sang Utamanyu tidak diperbolehkan untuk meminta-minta air kalau ia sedang haus saat mengembala sapi, maka ia menjilat susu sapi yang digembalanya. Hal tersebut juga ditentang oleh Sang Guru, maka Sang Utamanyu menghisap getah daun “waduri” untuk menghilangkan dahaga. Hal tersebut mengakibatkan matanya buta.

Ia tidak tahu jalan sehingga terperosok ke dalam sumur kering. Sampai sore, Sang Utamanyu tidak juga kembali pulang, gurunya menjadi cemas. Ketika dicari, didapatinya Sang Utamanyu berada dalam sebuah sumur. Bagawan Dhomya kemudian mendengarkan cerita Sang Utamanyu. Karena kesetiannya terhadap kewajiban, Sang Utamanyu diberikan mantra sakti yang mampu menyembuhkan penyakit oleh Bagawan Dhomya.

Sementara itu, Sang Weda disuruh tinggal di dapur untuk menyediakan hidangan yang terbaik buat gurunya. Sang Weda selalu menuruti perintah gurunya, meski yang buruk sekalipun. Segala perintah gurunya dikerjakan dengan baik. Maka dari itu, Sang Weda dianugerahi segala macam ilmu pengetahuan, mantra Veda, dan kecerdasan.

Kisah Sang Winata dan Sang Kadru

Dikisahkan terdapat seorang Maharsi bernama Bagawan Kasyapa, putera bagawan Marici, cucu Dewa Brahma. Ia diberi oleh Bagawan daksa empat belas puteri. Keempat belas puteri tersebut bernama: Aditi, Diti, Danu, Aristi, Anayusa, Kasa, Surabhi, Winata, Kadru, Ira, Parwa, Mregi, Krodhawasa, Tamra.

Di antara empat belas puteri tersebut, Sang Winata dan Kadru tidak memiliki anak. Mereka berdua kemudian memohon belas kasihan Bagawan Kasyapa. Sang Kadru memohon seribu anak sedangkan Sang Winata hanya memohon dua anak. Kemudian Bagawan Kasyapa memberikan Sang Kadru seribu butir telur sedangkan Sang Winata diberikan dua butir telur. Kedua puteri tersebut kemudian merawat telur masing-masing dengan baik.

Singkat cerita, seribu butir telur milik Sang Kadru menetas, dan lahirlah para Naga. Yang terkemuka adalah Sang Anantabhoga, Sang Wasuki, dan Sang Taksaka. Sementara telur Sang Kadru sudah menetas semuanya, telur Sang Winata belum menetas. Karena tidak sabar, maka telurnya dipecahkan. Ketika pecah, terlihatlah seorang anak yang baru setengah jadi, bagian tubuh ke atas lengkap sedangkan dari pinggang ke bawah tidak ada.

Sang anak marah karena ditetaskan sebelum waktunya. Anak tersebut kemudian mengutuk ibunya supaya diperbudak oleh Sang Kadru berlebih-lebihan. Kelak, saudaranya yang akan menetas akan menyelamatkan ibunya dari perbudakan. Anak tersebut kemudian diberi nama Sang Aruna, karena tidak memiliki kaki dan paha. Sang Aruna menjadi sais (kuir) kereta Dewa Surya.

Kisah pemutaran Mandaragiri

Dikisahkan, pada zaman dahulu kala, para Dewa, detya, dan rakshasa mengadakan rapat untuk mencari tirta amerta (air suci).

Sang Hyang Nārāyana (Wisnu) mengatakan bahwa tirta tersebut berada di dasar laut Ksira. Cara mendapatkannya adalah dengan mengaduk lautan tersebut. Para Dewa, detya, dan rakshasa kemudian menuju laut Ksira. Untuk mengaduknya, Naga Wasuki mencabut gunung Mandara (Mandaragiri) di pulau Sangka sebagai tongkat pengaduk. Gunung tersebut dibawa ke tengah lautan.

Seekor kura-kura (Kurma) besar menjadi penyangga/dasar gunung tersebut. Sang Naga melilit gunung tersebut, kemudian para Dewa memegang ekornya, sedangkan rakshasa dan detya memegang kepalanya. Dewa Indra berdiri di puncaknya agar gunung tidak melambung ke atas.

Beberapa lama setelah gunung diputar, keluarlah Ardhachandra, Dewi Sri, Dewi Lakshmi, kuda Uccaihsrawa, dan Kastubhamani. Semuanya berada di pihak para Dewa. kemudian, munculah Dhanwantari membawa kendi tempat tirta amerta.

Para detya ingin agar tirta tersebut menjadi milik mereka sebab sejak awal tidak pernah dapat bagian. Tirta amerta pun menjadi milik mereka. Para Dewa memikirkan cara untuk merebut tirta tersebut. akhirnya Dewa Wisnu mengubah wujudnya menjadi seorang wanita cantik, kemudian mendekati para rakshasa dan detya.

Para rakshasa-daitya yang melihatnya menjadi terpesona, dan menyerahkan kendi berisi tirta tersebut. Wanita cantik itu kemudian pergi sambil membawa tirta amerta dan berubah kembali menjadi Dewa Wisnu.

Para detya yang melihatnya menjadi marah. Tak lama kemudian terjadilah pertempuran antara para Dewa dan rakshasa-detya. Kemudian Dewa Wisnu teringat dengan senjata chakra-nya.

Senjata chakra kemudian turun dari langit dan menyambar-nyambar para rakshasa-detya. Banyak dari mereka yang lari terbirit-birit karena luka-luka. Akhirnya ada yang menceburkan diri ke laut dan masuk ke dalam tanah. Para Dewa akhirnya berhasil membawa tirta amerta ke surga.

Kisah Sang Garuda dan para Naga

Dikisahkan, pada suatu hari Sang Winata dan Sang Kadru, istri Bagawan Kasyapa, mendengar kabar tentang keberadaan seekor kuda bernama Uccaihsrawa, hasil pemutaran Gunung Mandara atau Mandaragiri.

Sang Winata mengatakan bahwa warna kuda tersebut putih semua, sedangkan Sang Kadru mengatakan bahwa tubuh kuda tersebut berwarna putih sedangkan ekornya saja yang hitam. Karena berbeda pendapat, mereka berdua bertaruh, siapa yang tebakannya salah akan menjadi budak. Mereka berencana untuk menyaksikan warna kuda itu besok sekaligus menentukan siapa yang salah.

Sang Kadru menceritakan masalah taruhan tersebut kepada anak-anaknya. Anak-anaknya mengatakan bahwa ibunya sudah tentu akan kalah, karena warna kuda tersebut putih belaka.

Sang Kadru pun cemas karena merasa kalah taruhan, maka dari itu ia mengutus anak-anaknya untuk memercikkan bisa ke ekor kuda tersebut supaya warnanya menjadi hitam. Anak-anaknya menolak untuk melaksanakannya karena merasa perbuatan tersebut tidak pantas.

Sang Kadru yang marah mengutuk anak-anaknya supaya mati ditelan api pada saat upacara pengorbanan ular yang diselenggarakan Raja Janamejaya. Mau tak mau, akhirnya anak-anaknya melaksanakan perintah ibunya. Mereka pun memercikkan bisa ular ke ekor kuda Uccaihsrawa sehingga warnanya yang putih kemudian menjadi hitam. Akhirnya Sang Kadru memenangkan taruhan sehingga Sang Winata harus menjadi budaknya.

Sementara itu, telur yang diasuh Sang Winata menetas lalu munculah burung gagah perkasa yang kemudian diberi nama Garuda.

Sang Garuda mencari-cari kemana ibunya. Pada akhirnya ia mendapati ibunya diperbudak Sang Kadru untuk mengasuh para naga. Sang Garuda membantu ibunya mengasuh para naga, namun para naga sangat lincah berlari kesana-kemari.

Sang Garuda kepayahan, lalu menanyakan para naga, apa yang bisa dilakukan untuk menebus perbudakan ibunya. Para naga menjawab, kalau Sang Garuda mampu membawa tirta amerta ke hadapan para naga, maka ibunya akan dibebaskan. Sang Garuda menyanggupi permohonan tersebut.

Singkat cerita, Sang Garuda berhasil menghadapi berbagai rintangan dan sampai di tempat tirta amerta.

Pada saat Sang Garuda ingin mengambil tirta tersebut, Dewa Wisnu datang dan bersabda, “Sang Garuda, jika engkau ingin mendapatkan tirta tersebut, mintalah kepadaku, nanti pasti aku berikan”.

Sang Garuda menjawab, “Tidak selayaknya jika saya meminta kepada anda sebab anda lebih sakti daripada saya. Karena tirta amerta anda tidak mengenal tua dan mati, sedangkan saya tidak. Untuk itu, berikanlah kepada saya anugerah yang lain”. Dewa Wisnu berkata, “Jika demikian, aku memintamu untuk menjadi kendaraanku, sekaligus menjadi lambang panji-panjiku”.

Sang Garuda setuju dengan permohonan tersebut sehingga akhirnya menjadi kendaraan Dewa Wisnu. Kemudian Sang Garuda terbang membawa tirta, namun Dewa Indra tidak setuju kalau tirta tersebut diberikan kepada para naga. Sang Garuda mengatakan bahwa tirta tersebut akan diberikan kalau para naga sudah selesai mandi.

Sampailah Sang Garuda ke tempat tinggal para naga. Para naga girang ingin segera meminum amerta, namun Sang Garuda mengatakan bahwa tirta tersebut boleh diminum jika para naga mandi terlebih dahulu.

Para naga pun mandi sesuai dengan syarat yang diberikan, tetapi setelah selesai mandi, tirta amerta sudah tidak ada lagi karena dibawa kabur oleh Dewa Indra. Para naga kecewa dan hanya mendapati beberapa percikan tirta amerta tertinggal pada daun ilalang.

Para naga pun menjilati daun tersebut sehingga lidahnya tersayat dan terbelah. Daun ilalang pun menjadi suci karena mendapat tirta amerta. Sementara itu Sang Garuda terbang ke surga karena merasa sudah menebus perbudakan ibunya.

Bahasa dan sejarah

Sebagaimana kisah induknya, Mahabharata, kitab Adiparwa ini semula dituliskan dalam bahasa Sansekerta dan dianggap sebagai cerita suci bagi pemeluk agama Hindu.

Tidak tercatat kapan persisnya kisah ini masuk ke Indonesia. Akan tetapi, sebagaimana disebutkan dalam bagian pendahuluan Adiparwa versi Jawa Kuna, kitab ini telah disalin ke dalam bahasa Jawa kuna atau juga dikenal sebagai bahasa Kawi pada masa pemerintahan Raja Dharmawangsa Teguh (kerajaan Kediri, tahun 991-1016) (Zoetmulder, 1994).

Pengaruh dalam budaya

Kitab Adiparwa yang diterjemahkan dari Bahasa Sansekerta ke Bahasa Jawa Kuno atau Bahasa Kawi, banyak digubah menjadi cerita pewayangan.

Dalam kitab Adiparwa yang diterjemahkan dari Bahasa Sansekerta mungkin terdapat perbedaan dengan lakon pewayangannya, yang kadang-kadang besar sekali, sehingga memberi kesan bahwa segala sesuatunya terjadi di Jawa.

Hal ini disebabkan oleh kecerdasan para pujangga masa lampau yang mampu memindah alam pikiran para pembaca atau pendengarnya dari suasana India menjadi Jawa Asli.

Jika Hastinapura sebenarnya terdapat di India, maka nama-nama seperti Jonggringsalaka, Pringgandani, Indrakila, Gua Kiskenda, sampai Gunung Mahameru dibawa ke tanah Jawa].

Begitu pula dengan tokoh Pancawala (Pancakumara). Jika dalam versi aslinya mereka terdiri dari lima orang, maka dalam pewayangan mereka dikatakan hanya satu orang saja.

Menurut Mulyono dalam artikelnya berjudul “Dewi Dropadi:Antara kitab Mahabharata dan Pewayangan Jawa”, ia menyatakan bahwa terjadinya perbedaan cerita tentang Pancawala antara kitab Mahabharata dengan cerita dalam pewayangan Jawa karena pengaruh perkembangan agama Islam di tanah Jawa.

Hal serupa juga terjadi pada kisah Dewi Dropadi dalam kitab Adiparwa. Jika dalam Adiparwa ia bersuami lima orang, maka dalam pewayangan Jawa (yang sudah terkena pengaruh Islam) Dropadi hanya bersuami satu orang saja.

Menurut hukum Islam, seorang wanita tidak boleh memiliki suami lebih dari satu. Maka dari itu, cerita Dewi Dropadi dalam kitab Mahabharata versi asli yang bercorak Hindu menyalahi hukum Islam.

Untuk mengantisipasinya, para pujangga ataupun seniman Islam mengubah cerita tersebut agar sesuai dengan ajaran Islam.

Pancawala yang sebenarnya merupakan lima putera Pandawa pun diubah menjadi seorang tokoh yang merupakan putera Yudistira saja.

Selasa, 25 Agustus 2009

Serat Djongko Djoyoboyo

Iki sing dadi tandane zaman kolobendu
Ini yang menjadi tanda zaman kehancuran
1. Lindu ping pitu sedino
Gempa bumi 7 x sehari
2. Lemah bengkah
Tanah pecah merekah
3. Manungsa pating galuruh, akeh kang nandang lara
Manusia berguguran, banyak yang ditimpa sakit
4. Pagebluk rupo-rupo
Bencana bermacam-macam
5. Mung setitik sing mari akeh-akehe pada mati
Hanya sedikit yang sembuh kebanyakan meninggal


Zaman kalabendu iku wiwit yen,
Zaman ini ditandai dengan
1. Wis ana kreto mlaku tampo jaran
Sudah ada kereta yang berjalan tanpa kuda
2. Tanah jawa kalungan wesi
Tanah Jawa dikelilingi besi (mungkin maksudnya Rel
kereta kali ya : Red)
3. Prau mlaku ing nduwur awang-awang
Perahu berjalan di atas awan melayang layang
4. Kali ilang kedunge
Sungai kehilangan mata airnya
5. Pasar ilang kumandange
Pasar kehilangan keramaianya
6. Wong nemoni wolak-walik ing zaman
Manusia menemukan jaman yang terbolak-balik
7. Jaran doyan sambel
Kuda doyan makan sambal
8. Wong wadon menganggo lanang
Orang perempuan mempergunakan busana laki-laki

Zaman kalabendu iku koyo-koyo zaman kasukan, zaman
kanikmatan donya, nanging zaman iku sabenere zaman
ajur lan bubrahing donya.
Zaman kalabendu itu seperti jaman yang menyenangkan,
jaman kenikmatan dunia, tetapi jaman itu sebenarnya
jaman kehancuran dan berantakannya dunia

1. Mulane akeh bapak lali anak
Oleh sebab itu banyak bapak lupa sama anaknya
2. Akeh anak wani ngalawan ibu lan nantang bapak
Banyak anak yang berani melawan ibu dan menantang
bapaknya
3. Sedulur pada cidro cinidro
Sesama saudara saling berkelahi
4. Wong wadon ilang kawirangane, wong lanang ilang
kaprawirane
Perempuan kehilangan rasa malunya, Laki-laki
kehilangan rasa kejantanannya
5. Akeh wong lanang ora duwe bojo
Banyak Laki laki tidak punya istri
6. Akeh wong wadon ora setia karo bojone
Banyak perempuan yang tidak setia pada suaminya
7. Akeh ibu pada ngedol anake
Banyak ibu yang menjual anaknya
8. Akeh wong wadon ngedol awakke
Banyak perempuan yang menjual dirinya
9. Akeh wong ijol bojo
Banyak orang yang tukar menukar pasangan
10. Akeh udan salah mongso
Sering terjadi hujan salah musim
11. Akeh prawan tuwo
Banyak Perawan Tua
12. Akeh rondo ngalairake anak
Banyak janda yang melahirkan anak
13. Akeh jabang bayi nggoleki bapake
Banyak bayi yang lahir tanpa bapak
14. Wong wadon ngalamar wong lanang
Perempuan melamar laki-laki
15. Wong lanang ngasorake, drajate dewe
Laki-laki merendahkan derajatnya sendiri
16. Akeh bocah kowar
Banyak anak lahir di luar nikah
17. Rondo murah regane
Janda murah harganya
18. Rondo ajine mung sak sen loro
Janda nilainya hanya satu sen untuk dua
19. Prawan rong sen loro
Perawan nilainya dua sen untuk dua
20. Dudo pincang payu sangang wong
Duda berharga 9 orang

Zamane zaman edan
Zamannya Zaman Gila/Sinting

1. Wong wadon nunggang jaran
Perempuan menunggang Kuda
2. Wong lanang lungguh plengki
Laki-laki berpangku tangan
3. Wong bener tenger-tenger
Orang yang benar cuma bisa bengong
4. Wong salah bungah-bungah
Orang yang melakukan kesalahan berpesta pora
5. Wong apik ditapik-tampik
Orang Baik di singkirkan
6. Wong bejat munggah pangkat
Orang Yang kelakuannya bejat malah naik pangkat
7. Akeh ndandhang diunekake kuntul
Banyak komentar yang tidak ada isinya
8. Wong salah dianggap bener
Orang salah diangap benar
9. Wong lugu kebelenggu
Orang lugu dibelenggu
10. Wong mulyo dikunjara
Orang mulia dipenjara
11. Sing culika mulya, sing jujur kojur
Yang salah mulia, yang jujur hancur
12. Para laku dagang akeh sing keplanggrang
Pedagang banyak yang menyeleweng
13. Wong main akeh sing ndadi
Orang berjudi semakin menjadi
14. Linak lijo linggo lica, lali anak lali bojo, lali
tangga lali konco
Lupa anak dan pasangan, lupa tetangga dan teman
15. Duwit lan kringet mug dadi wolak-walik kertu
Uang dan keringat hanya untuk berjudi
16. Kertu gede dibukake, ngguyu pating cekakak
Kartu besar dibuka, tertawa terbahak-bahak
17. Ning mulih main kantonge kempes
Tapi waktu pulang main kantongnya kosong
18. Krungu bojo lan anak nangis ora di rewes
Denger anak istri nangis tidak digubris

Abote koyo ngopo sa bisa-bisane aja nganti wong kelut,
keliring zaman kalabendu iku.
Berat seperti apapun jangan sampai kalut (lebih
tepatnya) Seberat apapun jangan sampai ikut larut
dalam warna-warni zaman kalabendu

Amargo zaman iku bakal sirno lan gantine joiku zaman
ratu adil, zaman kamulyan. Mula sing tatag, sing
tabah, sing kukuh, jo kepranan ombyak ing zaman
Entenana zamanne kamulyan zamaning ratu adil.
Sebab jaman itu bakal sirna dan diganti dengan jaman
Ratu adil, jaman kemuliaan, karena itu yang tegar,
yang tabah, yang kokoh, Jangan melakukan hal bodoh.
Tunggulah jaman kemuliaan jamannya Ratu adil

Senin, 17 Agustus 2009

Bedhaya Ketawang


Pada saat Tingalan Jumenengan Dalem atau hari penobatan raja di Keraton Kasunanan Surakarta, tari Bedhaya Ketawang selalu dipentaskan. Tari Bedaya yang dibawakan sembilan orang penari yang masih suci ini selalu dipertunjukkan bertepatan dengan hari peringatan penobatan raja.
Tari Bedhaya Ketawang juga dipentaskan saat Tingalan Jumenengan Dalem Sri Susuhunan Paku Buwana XIII Hangabehi, akhir Juli lalu.


Busana tari Bedhaya Ketawang yang menggunakan Dodot Ageng dengan motif Banguntulak aras-arasan menjadikan penarinya terasa anggun.
Demikian pula dengan gamelan yang mengiringinya yaitu gamelan Kiai Kaduk Manis dan Kiai Manis Renggo membawa daya mistis yang sukar untuk dilukiskan. Konon penciptaan tari Bedhaya Ketawang tersebut tidak lepas dari andil Kanjeng Ratu Kidul, penguasa Laut Selatan. Menurut GPH Puger, tari Bedaya Ketawang dibuat oleh Sultan Agung Anyakrakusuma (cucu Penembahan Senapati, raja pertama Mataram). “Tari Bedhaya Ketawang menggambarkan kisah pertemuan kakeknya (Panembahan Senopati) dengan Kanjeng Ratu Kidul saat bersemedi di laut selatan hingga melakukan perjanjian sakral antara Kanjeng Ratu Kidul dan raja pertama Tanah Jawa, yang tidak dapat dilanggar oleh penerusnya,” kata Puger.
Selain itu tari Bedhaya Ketawang juga menggambarkan pertemuan dirinya dengan Kanjeng Ratu Kidul saat bersemedi hingga terciptalah gending ketawang dan tari Bedhaya Ketawang, lanjut Puger.
“Hingga sekarang perjanjian sakral dengan Kanjeng Ratu Kidul tersebut masih berlaku. Jika pun ada anggapan perjanjian tersebut gugur karena ucapan spontan PB X saat terpeleset waktu pertemuan dengan Kanjeng Ratu Kidul di Sangga Buana, itu belum kuat karena belum jelas,” kata Puger. Yang pasti, Kanjeng Ratu Kidul punya kewajiban untuk ikut memberikan pengayoman pada keraton. “Yang jelas ada kekuatan lahiriah dan kekuatan di luar itu dan dalam realita itu bisa terjadi karena ada garis dari Panembahan Senopati, raja pertama yang membuat perjanjian sakral dengan Kanjeng Ratu Kidul,” lanjutnya.
Menurut Puger, jika Mataram ditopang oleh Kanjeng Ratu Kidul itu bukan hal yang menyimpang dari tuntunan tapi tetap bertolak dari titik yang paling hakiki. Apalagi, konon saat Penembahan Senopati melakukan semedi di laut selatan juga dikawal oleh Sunan Kalijaga.
GPH Puger juga menambahkan tari Bedhaya Ketawang sampai sekarang dasar gerakannya masih asli dan penarinya menggunakan aras-arasan berwarna hijau.Dia juga menjelaskan para penari Bedhaya Ketawang dipilih penari yang belum menikah dan masih suci sebagai bentuk penghormatan terhadap pertemuan pertemuan Kanjeng Ratu Kidul dengan Penembahan Senopati dalam persembahan suci.

Belajar Filsafat kepada Agen 007


Penggemar film pasti tahu sepak terjang dan petualangan James Bond, agen Inggris MI6 yang memiliki sandi 007. Adalah novel Casino Royale karya Ian Fleming (1953) yang kali pertama memasukkan James Bond ke dalam imajinasi manusia di planet ini. Bond kian jadi sosok idola setelah film layar pertamanya, Dr No, dirilis tahun 1962. Setelah itu film-film tentang Bond diproduksi rutin hingga mencapai 22 judul, termasuk yang teranyar, Quantum of Solace (2008).


Pemeran tokoh Bond berganti-ganti, mulai Sean Connery, George Lazenby, Roger Moore, Timothy Dalton, Pierce Brosnan, hingga Daniel Craig. Satu dari setiap empat orang di muka bumi ini ditaksir sudah menyaksikan aksi jagoan pria yang digambarkan perayu ulung wanita ini.

Di balik aksi heroiknya, Bond selalu jatuh --atau menjatuhkan diri?-- dalam pelukan wanita. Maka ada sebutan Bond Girls bagi wanita-wanita yang diselamatkan Bond, rekan kerja, maupun anggota organisasi musuh yang harus melawan Bond tapi biasanya lalu jadi jatuh cinta. Bahkan, sebagian dari mereka ada yang hanya tampil sebagai pemanis, tak ada hubungan langsung dengan James Bond. Mereka antara lain Ursula Andress, Eunice Gayson, dan Zena Marshall, tiga wanita cantik di film Dr No.

Selanjutnya Jane Seymour (Live and Let Die), Emily Bolton (Moonraker), Tina Hudson (Octopussy), Minnie Driver (Golden Eye), Teri Hatcher dan Michelle Yeoh (Tomorrow Never Dies), Sophie Marceau dan Denise Richards (The World is Not Enough), Halle Berry (Die Another Day), hingga Gemma Arterton, Olga Kurylenko (Quantum of Solace).

Objektivikasi merupakan penciri seri film agen 007. Ia menggunakan orang lain untuk memperoleh informasi, superioritas atau bahkan seks. Dalam filosofi Barat ''objek'' mendapatkan makna lewat kontrasnya dengan ''subjek'' --yang hidup, bernapas seperti yang dimiliki manusia, hingga yang memanipulasi benda-benda. Objektivikasi merujuk pada tindakan-tindakan di mana subjek diperlakukan sebagai objek dalam pikiran seseorang atau dalam perilaku mereka --suatu yang disebut Robert Arp & Kevin S. Decker (kontributor buku ini) sebagai bentuk dehumanisasi.

Ini juga berlaku saat Bond memperlakukan wanita. Saat bertemu Sylvia Trench (Dr No) dan Miss Caruso (Live and Let Die), tujuan tunggal Bond adalah lompat cepat dalam karung sebelum menyelesaikan misi penting berikutnya. Bond baru memandang wanita-wanita ini ada nilainya kalau mereka dapat memberikan kenikmatan seksual pada dirinya. Objektivikasi

seksual tak dipandang kedurjanaan. Demikian pula dalam kisah-kisah dan novel Fleming serta film-film populer MG/UA, objektivikasi seksual hanyalah refleksi kultur pop ''pandangan pria''. Sudut pandang yang melihat wanita sebagai yang inferior mental, fisik dan social -juga barangkali berpembawaan buruk (hlm. 293-294).

Buat Arp & Decker, objektivikasi seksual ala Bond ini menyisakan problem moral. Filosof seperti Immanuel Kant salah satu yang menentangnya. Di mata Kant, setiap orang dewasa, termasuk wanita memiliki arti penting personal dan martabat dan tidak boleh diperlakukan sebagai sarana untuk mencapai tujuan. Cara Bond memperalat wanita dan mengeksploitasinya untuk mendapat informasi, bagi Kant merupakan puncak ketidakbermoralan. Kalangan feminis malah menyebutnya aksi dominasi pria terhadap wanita merupakan ''invasi agresif terhadap mereka yang kurang kuat''.

Kontributor lainnya, Dean A. Kowalski, seorang pengajar filsafat di University of Wisconsin-Waukesha membedah sepak terjang Bond dan Bond Girls-nya dari spektrum kosmologi ''yin & yang''. Dinukilkan adegan ke-20 Tomorrow Never Dies. Di situ James Bond dan Wai Lin mengendarai sepeda motor dikejar-kejar anak buah sang musuh Elliot Carver --raja media Inggris yang meluncurkan jaringan berita global baru dengan sasaran menjadi pihak pertama yang meliput konflik yang terjadi antara Inggris dan Cina di Laut Cina.

Awalnya Bond (Pierce Brosnan) dan Wai Lin (Michelle Yeoh) agen Red Chinese, naik motor dalam posisi normal dengan Wai Lin duduk di belakang Bond. Satu belenggu mengikat tangan Bond dan satu belenggu lagi mengikat tangan Wai Lin. Hingga beberapa sekuen, posisi ini tak berubah. Dengan posisi itu sulit bagi keduanya melihat gerombolan pengejar mereka. Bahkan keduanya berselisih soal arah pelarian diri mereka guna menghindari kejaran mobil dan helikopter antek Carver bernama Mr Stamper.

Dalam kondisi terdesak Bond berteriak ''kopling'', dan Wai Lin menginjak tuasnya karena tak bisa dijangkau Bond yang satu tangannya yang tak terbelenggu harus menyetir motor. Wai Lin lalu menyarankan belok kiri karena lebih tahu daerah ini ketimbang Bond. Dengan kerja sama yang lebih mulus, Bond bertanya, ''Berapa banyak di belakang sana?'' Wai Lin menjawab dirinya tak bisa melihat, namun Wai Lin kemudian bangkit ke bagian depan motor sehingga posisinya berhadapan dengan Bond dan dapat melihat lewat kedua bahu Bond para pengejar mereka. Alhasil cara ini membantu Bond dan Wai Lin lolos dari maut meskipun dalam posisi dibelenggu oleh Stamper.

Penonton film yang dirilis tahun 1997 ini mungkin berpikir adegan di atas sekadar kiat dan taktik biasa ketika seseorang terdesak -mirip kiat-kiat brilian tokoh Macgyver dalam serial televisi bertajuk sama yang pertama kali diputar di Amerika Serikat tahun 1985. Namun bagi Dean A. Kowalski, aksi itu bagaikan dinamika jalinan dua kekuatan yang berlawanan seperti yang digambarkan dalam simbol ''yin & yang''.

Dan manuver final dua agen ini, yakni menghancurkan helikopter musuh makin membenarkan aliansi ''yin & yang''. Bond memacu sepeda motornya ke arah helikopter, dan kemudian menyelipkan motornya ke bawah helikopter, Wai Lin melemparkan kabel kawat dan pengait ke baling-baling. Berkat kesetimbangan dan harmoni keduanya, dua agen ini menamatkan misinya.

''Yang'' mengandung makna cahaya (matahari), mewakili soliditas, dominasi dan maskulinitas. Sedangkan ''yin'' berarti kegelapan (bulan),mewakili kondisi lembut, khidmat, dan kondisi feminin. Jika ''yang'' adalah seperti pria dan ''yin'' adalah seperti wanita, maka ''yang'' tak akan tumbuh dan berkembang tanpa ''yin''. Begitu pun ''yin'' tak akan melahirkan tanpa ''yang''. Tak urung kosmologi ''yin dan yang'' ini dipercaya menjelaskan segenap fenomena semesta. Karena alam dipahami sebagai dinamika ''yin dan yang'', maka ini juga dapat menjadi model untuk bagaimana semestinya manusia berperangai (hlm. 316).

Buku James Bond & Philosophy ini memuat analisis tujuhbelas pakar atas isu-isu filosofis tersembunyi dalam dunia dobel kosong tujuh yang glamor, memperdaya, dan mengandung potensi sangat berbahaya. Pembaca akan tahu apakah Bond seorang hero Nietzschean yang lulus ''di luar baik dan buruk''? Apakah Bond yang dengan cukup aneh melanggar hukum untuk bisa menjunjung tinggi hukum? Apakah lisensi untuk membunuh yang dikantonginya membantu kita memahami etika kontraterorisme?

Meskipun harus sedikit berkerut untuk bisa paham, pembaca akan tersadar bahwa aksi-aksi Bond adalah sebentuk cermin bagi kita merefleksikan diri. Bond barangkali hanya sosok imajiner, tapi apa yang dilakukannya ada di sekitar kita --bahkan mungkin mengepung manusia modern. Buku ini mengajak kita untuk peka dan mengambil sikap moral yang pas. (*)

Jumat, 14 Agustus 2009

Lisye L : Bingkai Hidupku


Aku tersenyum kala mataku menatap

potret mereka yang mengasihiku...

Tatapan mata kedua bocah itu, seakan berbicara untukku

BUNDA,...hanya ada kami yang selalu hadir dihatimu...

hanya ada kami yang selalu memelukmu...

saat BUNDA sedih dan menangis...



TUHAN....

mereka adalah HIDUPKU...merekalah KEBAHAGIAANKU

ijinkan aku memeluk mereka selama yang aku inginkan

Akan kuukir tepian bingkai potret itu dengan UNTAIAN DOA..

dan akan selalu kulumuri bingkai itu dengan KASIH SAYANGKU

akan ku jaga bingkai itu dengan KETABAHAN dan KETEGARAN...

agar senantiasa kokoh berdiri...



TUHAN... terima kasih untuk anugerah ini...

CINTA mereka membuat aku kuat menjalani hidup ini

mereka milikku.. dan akan selamanya milikku..

walaupun aku sadari bahwa mereka hanya dipinjam TUHAN

untuk kujaga dibuana ini...



Aku mengasihi mereka.... suci dari lubuk hatiku...

apapun akan kulakukan, asalkan mereka tetap tersenyum...

karena itulah kebahagiaanku yang sesungguhnya....

Aku merasa sangat sempurna menerima cinta mereka

Mereka lebih berarti dari apapun juga.....

karena merekalah BINGKAI HIDUPKU....



spesial utk ke2 buah hatiku...

Sabtu, 08 Agustus 2009

Sashie: Buat Kekasihku


Masih terasa getar hati

Saat engkau ungkapkan

Segala yang terpendam

Dan kau bisikkan

Nada cinta



Semakin indah dunia

Membuka mata hati

Getar-getar cinta

Semakin dalam kurasa

Bagai sebuah simponi dalam jiwa


Dulu ku ragu mengakui rasa cinta

Terpendam semua jadi nyata

Saat kau bisikkan


Nada cinta

Semakin indah dunia

Membuka mata hati

Getar-getar cinta

Semakin dalam kurasa

Bagai sebuah simponi yang ku damba


Aku bersyukur

Karena dirimu kekasih yang baik hati

Selalu menjaga kejujuranmu

Semoga abadi tali cinta kita


Nada-nada cinta

Semakin indah dunia

Membuka mata hati

Getar-getar cinta

Semakin dalam kurasa

Bagai sebuah simponi dalamm jiwa

Bagai sebuah simponi dalam jiwa

Yang kudamba

Dewi H : AL-JENAZAH AIRLINES, LAYANAN PENUH 24 JAM


Bila kita akan "berangkat" dari alam ini ia ibarat penerbangan ke sebuah negara. Dimana informasi tentangnya tidak terdapat dalam brosur penerbangan, tetapi melalui Al-Qur'an dan Al-Hadist.
Di mana penerbangan bukannya dengan Garuda Airlines, Singapore Airlines, atau US Airlines, tetapi Al-Jenazah Airlines.
Di mana bekal kita bukan lagi tas seberat 23Kg, tetapi amalan yang tak lebih dan tak kurang.
Di mana bajunya bukan lagi Pierre Cardin, atau setaraf dengannya, akan tetapi kain kafan putih.



Di mana pewanginya bukan Channel atau Polo, tetapi air biasa yang suci.
Di mana passport kita bukan Indonesia, British atau American, tetapi

Al-Islam.

Di mana visa kita bukan lagi sekedar 6 bulan, tetapi 'Laailaahaillallah'
Di mana pelayannya bukan pramugari jelita, tetapi Izrail dan lain-lain.
Di mana servisnya bukan lagi kelas business atau ekonomi, tetapi sekedar kain yang diwangikan.
Di mana tujuan mendarat bukannya Bandara Cengkareng, Heathrow Airport atau Jeddah International, tetapi tanah pekuburan.
Di mana ruang menunggunya bukan lagi ruangan ber AC dan permadani, tetapi ruang 2x1 meter, gelap gulita.
Di mana pegawai imigrasi adalah Munkar dan Nakir, mereka hanya memeriksa apakah kita layak ke tujuan yang diidamkan.
Di mana tidak perlu satpam dan alat detector.
Di mana lapangan terbang transitnya adalah Al Barzah
Di mana tujuan terakhir apakah Syurga yang mengalir sungai di bawahnya atau Neraka Jahannam.
Penerbangan ini tidak akan dibajak atau dibom, karena itu tak perlu bimbang.
Sajian tidak akan disediakan, oleh karena itu tidak perlu merisaukan masalah alergi atau halal haram makanan.
Jangan risaukan cancel pembatalan, penerbangan ini senantiasa tepat waktunya, ia berangkat dan tiba tepat pada masanya.
Jangan pikirkan tentang hiburan dalam penerbangan, anda telah hilang selera bersuka ria.
Jangan bimbang tentang pembelian tiket, ianya telah siap di booking sejak anda ditiupkan ruh di dalam rahim ibu.
YA! BERITA BAIK!! Jangan bimbangkan siapa yang duduk di sebelah anda. Anda adalah satu-satunya penumpang penerbangan ini.
Oleh karena itu bergembiralah selagi bisa! Dan sekiranya anda bisa!
Hanya ingat! Penerbangan ini datang tanpa 'Pemberitahuan'.
Cuma perlu ingat!! Nama anda telah tertulis dalam tiket untuk Penerbangan....
Saat penerbangan anda berangkat...tanpa doa Bismillahi Tawakkaltu 'Alallah, atau ungkapan selamat jalan.
Tetapi Inalillahi Wa Inna ilaihi Rajiuun....
Anda berangkat pulang ke Rahmatullah. Mati.
ADAKAH KITA TELAH SIAP UNTUK BERANGKAT?
'Orang yang cerdas adalah orang yang mengingat kematian. Karena dengan kecerdasannya dia akan mempersiapkan segala perbekalan untuk menghadapinya.'
ASTAGHFIRULLAH 3X, semoga ALLAH SWT mengampuni kita beserta keluarga... Amiin

WALLAHU A'LAM