Kamis, 03 Oktober 2019

Majapahit dalam catatan Ma Huan

Majapahit dalam Catatan Ma Huan

Oleh : Subhan Muatagfirin

Ma Huan merupakan penerjemah resmi yang mendampingi Cheng Ho. Sebagai seorang yang mahir dalam bahasa Arab, Ma Huan dipilih sebagai juru bahasa Cheng Ho dalam tiga kali pelayarannya. Pada 1412, dia menerima tugas pertama dari Kerajaan Ming untuk menemani sang laksamana berlayar ke banyak negeri.

Ma Huan mencatat segala sesuatu yang dilihat. "Yingya Shenglan" yang terbit pada 1416, berisi catatannya tentang Negara Champa, Jawa, Palembang, Aru, Samudra, Nakur, Litai, Lambri, Liu San (Maldive, Male), Malaka, Bangal, Xi Lan San (Sri Lankan), Bangal kechil (Kulam, Quilon), Ko Chin, Kuli (Kalicut), Adam, Fazhu, Hormus, dan Tian Fang (Mecca).

Dalam catatannya itu, Ma Huan menyaksikan Majapahit, di mana dia berlabuh, sebagai tempat sang raja tinggal.

"Bila berlayar dari Tuban, bergerak setengah hari ke timur, akan sampai di Xincun (desa baru), atau apa yang disebut oleh penduduk barbar setempat sebagai Gresik. Pada awalnya tempat itu hanyalah wilayah pantai berpasir yang kosong. Orang Tionghoa lalu datang. Mereka menetap di sana dan menamakannya Xincun."

"Mereka yang tinggal di tempat itu kebanyakan adalah orang Guangdong. Kira-kira jumlahnya ada 1000 keluarga lebih."

"Kemudian, bila berlayar ke selatan lebih dari 20 li (12 km), akan tiba di Su-lu-ma-yi. Tempat itu diberi nama oleh penduduk setempat Su-er-ba-ya (Surabaya). Di sana terdapat seorang kepala desa. Dia mengatur penduduk yang jumlahnya 1000 keluarga. Di antaranya, juga ada orang-orang Tiongkok."

"Dari Surabaya, dengan perahu kecil sejauh 70-80 li (42 km), kita akan menemukan sebuah pasar bernama Zhang-gu. Setelah turun dari perahu dan berjalan kaki ke arah selatan selama satu setengah hari, sampailah di Majapahit. Di sini raja tinggal. Sebanyak 200-300 keluaga penduduk pribumi bermukim di sana. Tujuh atau delapan orang tetua membantu raja."

"Kediaman raja dikelilingi tembok bata setinggi lebih dari 9 meter. Panjangnya lebih dari 90 meter. Gerbangnya dua lapis dan sangat bersih serta terpelihara."

"Rumah-rumah di dalamnya terletak 9-10 meter di atas tanah. Lantainya terbuat dari papan yang ditutupi dengan tikar rotan yang halus atau tikar rumput yang dianyam. Di atasnya orang-orang duduk bersila. Untuk atap, mereka menggunakan papan kayu keras yang dibelah dan dibentuk genting."

"Di Majapahit, kata Ma huan, raja tak mengenakan tutup kepala. Kadang kala dia mengenakan hiasan kepala yang dibuat dari dedaunan dan bunga emas."

"Tubuh bagian atasnya tidak ditutupi kain. Sementara bagian bawahnya ditutupi dengan satu atau dua kain berbunga-bunga. Untuk mengencangkan sarung itu, digunakan kain tipis atau linen yang dikencangkan di sekitar perut. Kain semacam ini disebut selendang. Raja juga tak mengenakan alas kaki."

"Terkadang, raja mengendarai gajah atau duduk di atas kereta yang ditarik sapi. Raja membawa satu atau dua pisau pendek. Senjata ini dicatat Ma Huan sebagai pu-lak."

"Sepertinya orang Tionghoa menggunakan nama ini untuk setiap senjata yang mirip. Tentu saja orang Jawa menyebutnya keris."

"Adapun para pria di Majaphit membiarkan rambut mereka tergerai. Sementara para perempuan menyanggulnya."

"Mereka mengenakan semacam mantel dan kain yang menutupi bagian bawah tubuh. Para pria membawa pu-lak, yang disisipkan di ikat pinggang mereka. Setiap orang membawa senjata semacam ini, dari anak berusia tiga tahun hingga orang tertua."

"Senjata ini memiliki garis tipis dan bunga-bunga keputihan serta dibuat dari baja terbaik. Gagangnya terbuat dari emas, cula badak, atau gading gajah. Mereka dibentuk menjadi wajah manusia atau setan dan dikerjakan dengan sangat teliti."

"Para penduduk tinggal dalam rumah yang dialasi jerami. Rumah itu dilengkapi dengan ruang penyimpanan yang terbuat dari batu. Tingginya sekira 1 m dan digunakan untuk menyimpan barang-barang milik mereka. Di atas tempat penyimpanan inilah mereka biasanya duduk."

"Dalam hal kesopanan, para pria dan perempuan di Majapahit sangat menghargai kepala mereka. Jika seseorang menyentuhnya, atau mereka terlibat pertikaian dalam berdagang atau mereka mabuk dan saling menghina, mereka akan mengeluarkan senjata dan mulai menusuk."

"Penduduk negara itu tidur sambil duduk. Mereka tak punya tempat tidur atau dipan. Jika makan, mereka tidak menggunakan sendok atau sumpit. Kalau mau makan, pertama-tama mereka akan mencuci mulut mereka untuk membersihkan sisa pinang. Karena baik pria maupun perempuan, mereka terus menerus mengunyah pinang dengan daun sirih dan limau."

"Setelah itu, mereka mencuci tangan dan duduk. Semangkuk penuh nasi mereka ambil. Di atasnya disiram dengan krim atau saus lainnya. Makanan ini dimasukkan ke mulut dengan tangan. Jika haus, mereka meminum air."

"Jika menerima tamu, mereka tidak menawarkan minum tetapi menawarkan pinang."

Demikian kisah Ma Huan dalam catatannya, Yingya Shenglan (Catatan Umum Pantai-pantai Samudra).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ada Komentar????