Kamis, 25 Juni 2009

Konservasi Ekologi Budaya Lereng Lawu

LERENG Gunung Lawu yang membelah empat Kabupaten di Jateng dan Jatim menyimpan potensi kekayaan alam dan budaya eksotis. Lereng Lawu adalah “surga” bagi dunia wisata. Banyak aset wisata religi, alam, seni rakyat yang hinggap di komunitas masyarakat Gunung Lawu.

Dalam dunia kebatinan Jawa (religion of Java), Gunung lawu adalah sentra pelindung serta sumber “kamukten” bagi para raja Jawa pada Masa lalu. Bahkan sampai sekarang Gunung Lawu masih ditempatkan sebagai tameng perlindungan kultural para penerus kerajaan Jawa yang kehilangan basis otoritas politiknya semenjak gerakan antiswapraja ditahun 46-an.


Gunung Lawu adalah pusat alam yang memayungi kehidupan masyarakat lokal dan lintas praja, yang sabuknya dikelilingi Hutan lindung dan hutan produksi, yang sayang pernah dan masih mengalami proses deforestasi pada era 90-an. Hutan Lawu di wilayah KPH Perhutani di Magetan dan Ngawi serte lereng selatan yang ada di wilayah Wonogiri saat ini mengalami fase kerusakan karena proyek jalan tembus Magetan-Karanganyar.

Terbuka kerimbunan Hutan Lawu arah jalur “magis” Cemoro Kandang dan Cemoro Sewu, berpotensi membuka jalan tol bagi praktik illegal logging dalam skala besar. Karena jalur transportasi yang semakin mudah.

Namun untunglah realitas kelestarian Hutan Lereng Lawu di wilayah sabuk Karanganyar-Sragen serta Ngrambe (Ngawi) masih terjaga kelestarian serta pesona ekologisnya. kehadiran dan fungsi Lembaga Masyarakat Desa
Hutan (LMDH) sebagai wujud pelibatan partisipasi masyarakat lokal dalam pengelolaan hutan menjadi faktor subjektif pelestarian plasma Nuftah Gunung Lawu.

Ada sesuatu yang bisa dipelajari (lesson learned) dari adanya poses konservasi atau upaya menjaga zona hayati Hutan Gunung Lawu oleh masyarakat dan pemerintah lokal Karanganyar. Bahwa upaya merawat Hutan Lawu dan Gunung Lawu beserta masyarakat yang berdiam di sabuk sosial lingkar Lawu selama ini menggunakan pendekatan budaya dan aspek keyakinan multireligi.

Penjagaan kelestarian ekologi Hutan Lawu dan zona alam Gunung Lawu dicapai melalui pendekatan budaya yang memiliki nilai kearifan lokal. Mengingat berbagai khazanah kebudayaan lokal di Gunung Lawu secara substansial serta
aspek historis memiliki nilai substansial yang ramah dan cinta lingkungan. Kebudayaan lokal masyarakat Gunung Lawu boleh dikatakan sebagai “the art’s of conservation”.

Aurora Seni

Budaya Ritual Mondosio di Desa Blumbang dan Pancot (Kecamatan Tawangmangu, Karanganyar) misalnya, kental dengan aurora seni yang mengagungkan eksitensi alam sebagai mitra kehidupan masyarakat. Alam adalah saka guru bagi keberlanjutan kehidupan manusia.

Adapun “ritual sesaji” Sedekah Bumi dan tawur angin di Kecamatan Ngargoyoso dengan mengambil Objek Candi Sukuh memiliki pemaknaan mendalam bahwa alam dan manusia dalam posisi sederajat untuk saling menyapa dan menghormati koeksistensinya dalam kehidupan mikro dan makro.

Terjaganya zona ekologi dan zona Hutan Lindung Gunung Lawu beberapa tahun terakhir dilakukan dengan berbagai pendekatan sosio-kultural, yakni: pertama, integrasi pelestarian ekologi dan Hutan Lawu dengan aktivasi eksplorasi aset kesenian lokal yang mampu membawan pesan cinta lingkungan. Pengembangan kesenian dan kebudayaan lokal di Lereng Lawu (Karanganyar) diselaraskan dengan visi konservasi lingkungan.

Kesenian Lesung, yang kini menjadi ikon jamuan budaya bagi pejabat publik atau kegiatan formal di Karanganyar merupakan produk kesenian yang ramah dan memiliki arti ekologis.

Lesung adalah tempat menumbuk padi dan terbuat dari batang pohon yang berusia lanjut, merupakan simbol bahwa hidup manusia bergantung dan selaras dengan alam agraris.

Kedua, perlindungan terhadap aktivitas religi-budaya di berbagai zona ekologi Gunung Lawu. Aktivitas religi-budaya tersebut dilindungi serta dikembangkan pemerintah dan masyarakat sebagai bagian dari wisata ziarah yang mendatangkan spirit pelestarian lingkungan.

Di Kawasan Candi Cetho (Desa Gumeng, Jenawi) yang berada di atas ketinggian 1,200 dpl misalnya secara ajeg dilaksanakan ritual peribadatan Hindu-Jawa yang kental dengan aroma penghayatan harmoni antara alam dan manusia, alam dan penguasa alam.

Ketiga, adanya penguatan tekad kolektif masyarakat lokal yang mendiami lereng Lawu (Karanganyar) untuk serius memerangi praktik pembalakan liar dan praktik destrutif antilingkungan melalui “ikrar” budaya yang secara rutin diperingati dalam berbagai momentum. Di antaranya melalui tradisi bersih desa dan Temu budaya lintas golongan-agama.

Konservasi

Konservasi Hutan-Budaya di Lereng Lawu, sekarang ini menjadi panduan kebijakan publik tentang bagaimana pengelolaan aset sumber daya alam Gunung Lawu yang berwatak partisipatif. Masyarakat lokal Lereng Gunung Lawu juga memiliki ketegasan sikap sosial ketika mereka melakukan resistensi atas upaya eksploatasi sumber daya alam.

Kasus akan dieksloatasi sumber air Watu Pawon (Ngargoyoso, Karanganyar) oleh PDAM yang dianggap akan mengurangi pasokan air bersih bagi masyarakat lokal dan kegiatan produktif pertanian, ditentang keras oleh masyarakat lokal.

Masyarakat lokal menolak aura kapitalisasi alam yang selalu dilandasi dalih kepentingan “publik”. Masyarakat lokal menginginkan eksplorasi alam yang memiliki kekuatan tanggung-gugat. Untuk kepentingan masyarakat secara substansial.


http://www.perumperhutani.com/index.php?option=com_content&task=view&id=871&Itemid=2

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ada Komentar????