Sabtu, 27 Juni 2009

Sala, Dibangun Akibat Kartosuro Gagal




GEGER terus menerus di Keraton Kartosuro, membuat Susunan Pakubuwono II gerah. Apalagi pemberontakan keluarga keraton dan warga Cina berakibat terbakarnya keraton tersebut.
Ada suatu keyakinan keraton atau rumah yang sudah terbakar dampaknya kurang baik dalam kelangsungan pemerintahan.


Untuk itu, dia memerintahkan Ki Ageng Sala untuk mencari daerah baru untuk didirikan pusat pemerintahan. Dalam perjalanan ke timur, Ki Ageng menemukan daerah yang banyak rawa-rawanya.



Sebagai orang yang dikenal paham akan dunia batin, Ki Ageng melihat daerah tersebut cocok untuk pusat pemerintahan. setidaknya daerah tersebut akan bisa membuat kerajaan bertahan lama.

Dia kemudian duduk semedi meminta petunjuk yang kuasa di kawasan Sriwedari. Tempat semedi Ki Ageng Sala itu, sekarang menjadi rumah makan Boga. Ki Ageng kemudian lapor kepada Susuhunan PB II tentang daerah yang ditemukan.

Untuk mengetahui strategis tidaknya sebagai pusat pemerintahan, Susuhunan PB II kemudian memerintahkan .Tumenggung Honggowongso dan Tumenggung Mangkuyudo serta komandan pasukan Belanda J.A.B. Van Hohendorff. Mereka setuju tentang daerah baru tersebut.Apalagi keberadaan Sungai Bengawan Solo, sebagai lalu lintas air sangat mendukung.



Setelah menentukan hari, maka kerajaan baru itupun didirikan tahun 1746 M dan diberi nama Keraton Surakarta Hadiningrat. Sedangkan nama Ki Ageng Sala, namanya diabadikan sebagai nama pusat kota sampai sekarang.

Dalam sejarahnya, Kota Surakarta atau Solo yang kita kenal saat ini dahulu merupakan sebuah desa yang ada di pinggiran sungai.Nama desa itu adalah desa Sala. Sejarah kota Solo tidak bisa dipisahkan dari kerajaan Mataram. Mataram terpecah belah akibat politik devide et impera Belanda yang dimulai saat pemerintahan Amangkurat I.

Adipati Anom mengangkat dirinya sebagai Susuhunan Amangkurat II dalam pelarian dan membangun keraton pengganti di Kartasura (Wanakerta) sementara itu Pangeran Puger yang notabene adik Amangkurat II berhasil merebut kembali Plered ( ibu kota Mataram setelah Kotagede dan Yogyakarta). Inilah kali pertama terjadi di bekas wilayah Mataram diperintah dua raja.

Kartasura yang dipimpin raja Amangkurat II harus menghadapi perlawanan Pangeran Puger yang akhirnya gagal. Sepeninggal Amangkurat II kraton Kartasura masih mengalami pergolakan. Di bawah pimpinan Amangkurat III Kartasura semakin amburadul karena perangai raja yang buruk, suka main wanita, tinggi hati dan pemarah. Amangkurat III berhasil digulingkan oleh Pangeran Puger yang bersekutu dengan Cakraningrat dan Belanda. Pada tahun 1704 di Semarang, Pangeran Puger dinobatkan sebagai raja dengan gelar Kangjeng Susuhunan Paku Buwono Senapati Ing Ngalaga Sayidin Panatagama ( Paku Buwono I ).



Sesudah Paku Buwono I tutup usia,beliau digantikan oleh Amangkurat IV yang juga populer disebut Amangkurat Jawi.Amangkurat IV wafat pada tahun 1727 dan digantikan oleh RM Gusti Prabu Suyasa yang bergelar Sampeyan Dalem Ingkang Sinuhun Kangjeng Susuhunan Paku Buwono Ing Ngalaga Ngabdurachman Sayidin Panatagama Ingkang Kaping II.

Pada masa pemerintahannya Kartasura tak terhindar dari pergolakan. Pergolakan yang dipimpin oleh Raden Mas Garendi ( cucu Amangkurat III ) dan didukung oleh kekuatan Cina berhasil menjebol Kartasura serta memaksa Paku Buwono II lari ke Ponorogo. Dalam pengungsian Paku Buwono II menerima bantuan Belanda dengan imbalan harus menyerahkan seluruh daerah pantai ditambah wlayah lain seluas 138.422 karya. Akibatnya meski beliau memperoleh kembali tahtanya, Kartasura telah kehilangan kedaulatan atas wilayah pesisir, sehingga tidak lagi dapat berhubungan dengan daerah-daerah seberang. Kartasura menjadi terkucilkan. Menganggap Kartsura sudah tidak lagi bertuah, Paku Buwono II memindahkan pusat kerajaannya ke Desa Sala. Keraton Baru tersebut selesai dibangun tahun 1745 M dan ditasbihkan sebagai Surakarta Hadiningrat. Hadirnya Keraton membuat suasana desa Sala berubah menjadi hidup dan berkembang hingga menjadi seperti sekarang ini.

Adanya Perjanjian Giyanti, 13 Februari 1755 menyebabkan Mataram Islam terpecah menjadi Surakarta dan Yogyakarta dan terpecah lagi dalam perjanjian Salatiga 1767 menjadi Kasunanan dan Mangkunegaran.

DARI fakta sejarah kota Surakarta perkembangan Surakarta pada jaman dahulu sangat dipengaruhi oleh keberadaan pusat pemerintahan Kasunanan dan Mangkunegaran, Benteng Vastenburg sebagai pusat pengawasan kolonial belanda terhadap Surakarta serta Pasar Gedhe Hardjonagoro (Thomas Kaarsten) sebagai pusat perekonomian kota.

Apabila dihubungkan akan membentuk kawasan budaya dengan Kraton Kasunanan sebagai intinya. Perkembangan kota selanjutnya berlangsung di sekitar kawasan budaya itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ada Komentar????