Sabtu, 27 Juni 2009

Keris, Sebuah Pemahaman



PADA jaman modern seperti sekarang ini mungkin menyebut kata empu adalah suatu hal langka, karena beberapa nama empu menjadi nama jalan, bahkan nama Empu Tantular sudah menjadi nama Universitas di dekat tempat tinggalku di Cipinang.



Aku kenal Empu Margono di Bumiayu, Jawa Tengah, tiap hari kerjanya bikin alat-alat pertanian, seperti cangkul, pisau dapur, golok (di sana orang menyebutnya bendo) ataupun keris kalau ada yang memintanya.


Aku berkenalan dengan Empu Margono, hanya suatu kebetulan saja, aku ke bengkelnya karena di ajak Suaeb yang sering membantu keluarga kami bekerja di lahan pertanian milik Ibuku. Suaeb dan aku ke bengkelnya sambil membawa besi bekas per mobil, sebagai bahan mentah untuk dibuat golok baru.


Di bengkel keris-nya, langkah awal yang aku lihat adalah membersihkan besi per bekas tadi, kemudian di panaskan pada suhu lebih dari tiga ratus derajat celcius, hanya dengan peralatan sederhana. Gambaran bengkel kerjanya, tungku perapian tempat untuk memanaskan besi-besi yang akan di bentuk ada di tengah, lantai tempat untuk menempa besi terbuat dari tanah biasa, bak air untuk mencelup besi panas di letakkan di depan dan pompa angin dengan menggunakan alat seperti tong di letakkan di pojok tetapi antara satu dengan lainnya saling berhubungan, kulihat ada dua buah alat untuk meniup angin yang disemprotkan pada tungku perapian. Peralatan sederhana ini sungguh berbeda dengan peralatan modern yang sering kujumpai di Jakarta, misalnya dalam pembentukan peralatan di pabrik-pabrik ada istilah blanking process, deep draw, punching, lining, oven, painting spray dan finishing, yang digarap secara masal, lain pabrik di Jakarta lain pula bengkel Empu Margono, pekerjanya hanya dua orang, yaitu dia dan anaknya yang ikut membantu memompa angin. Aku dan Suaeb duduk di sebelah tempat memompa angin, dekat pintu masuk.

Melihat Empu Margono bekerja, aku ikut merasakan capek, karena di bengkelnya (sebenarnya lebih tepat disebut gubuk, karena kondisi tempatnya sudah kumuh) temperatur ruangannya cukup panas. Aku lihat sesekali dia menyeka keringatnya dengan tangannya, sesekali dibiarkannya bercucuran sehingga berjatuhan ke tubuhnya. Besi yang di tempa berwarna merah membara, kemudian dibentuk dengan memukul-mukulnya dengan menggunakan palu. Dibakar lagi.. dicelup lagi.. dan dibentuk lagi, akhirnya terbentuk golok sesuai dengan jenis yang diinginkan.

Beberapa jam duduk sambil ngobrol dengan Empu Margono, memberikan pemahaman kepadaku tentang bagaimana hidup. Hidup kita itu seperti bahan besi yang siap ditempa oleh Sang Empu, bisa dibuat menjadi pisau, bisa juga menjadi cangkul. Dalam proses menjadi peralatan tersebut kita ditempa, dicelup dan dibentuk. Seperti juga peralatan itu, kitapun akan menjadi matang apa bila dalam hidup kita ditempa dengan berbagai pengalaman, baik yang kita terima dalam keadaan baik ataupun buruk.

-o0o-

Selain diasosiasikan dengan penempaan pengalaman hidup suatu individu, api yang panas membara dalam dunia spiritual bisa juga diasosiasikan dengan api cinta kepada Tuhan. Pecinta Tuhan mengalami cobaan yang sama seperti besi di tempa, tetapi cobaan-cobaan yang diterima tidak mengusik hati, karenanya seperti kebal atau imun terhadap penderitaan. Jika anda mencintai Tuhan, maka semua mahluk akan mencintai anda. Untuk itu, luangkan waktu sebentar dengan para pecinta Tuhan pasti akan menemukan apa makna kebahagiaan dan kebebasan yang sesungguhnya yang dicari selama ini.

Sebagian orang memasuki cinta Tuhan begitu dalam, sehingga menjadi sumber cinta bagi sesamanya. Sebagian orang memasuki api cinta dan menjadi satu dengan api itu, karena mereka telah memasuki cinta itu dan diterima olehNya, maka mereka meradiasikannya, mereka bercahaya seperti besi panas membara yang telah dicelupkan ke dalam perapian. Seperti keris yang berkelok indah, yang telah diciptakan oleh Sang Empu, mereka telah memperoleh sifat-sifat api tanpa kehilangan sifat besi dan kekuatannya, karena telah melewati api ini substansi mereka berubah selamanya. Lewat keindahannya, keris dicinta dan selalu mendampingi pemiliknya dengan setia.

Setengah hari, duduk di Bengkel Empu Margono, memberikanku pelajaran bagaimana menerima dan menyikapi tempaan hidup ini.


source.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ada Komentar????