Minggu, 19 Juli 2009

Thengkleng makanan Kuli Disukai Priyayi


SOLO sebagai pusat peradaban sejak runtuhnya Keraton Katosuro memang memiliki banyak khasanah makanan dan budaya. Keraton Kasunanan yang selama ini secara spiritual masih menjadi memiliki nilai sendiri, berbagai maknan khasnya-pun mengundang selera segala lapisan. Salah satunya thengkleng.


Makanaan dari bagian tubuh kambing ini sekarang selalu menghiasi setiap pesta orang-orang berada. Setiap prasmanan pasti ada ‘’seklemuk’’ sayur thengkleng dan selalu menjadi sasaran tamu-tamu.

Masakan thengkleng kini bahkan banyak dijual di sudut-sudut kota Solo dan sekitarnya. Bahkan makanan itu juga banyak dijumpai di kota-kota besar lainnya di Indonesia, karena sudah banyak digemari.

Banyaknya makanan khas dan kerajinan yang muncul asal Solo ini tak lepas dari kreatifitas warga-warganya. Khususnya yang berada di pinggiran kota dan berasal dr luar kota yang mengais rejeki pusat kota kerajaan jaman dulunya.

Begitupun thengkleng. Makanan ini muncul karena terpepetnya masyarakat pinggiran untuk mendapatkan lauk yang murah meriah. Bila sang majikan sering menikmati daging kambing untuk sate atau gule, sudah menjadi kebiasaan para kulinya hanya bias melihat saja dan hanya mendapatkan sisa majikannya.

Seringnya tulang-tulang atau ‘’thethelan’’ kambing yang terbuang inilah yang mengundang tukang masak memanfaatkan agar bisa dinikmati. Tulang-tulang itu kemudian di potong-potong kecil dan dicampur usus kambing yang dicuci bersih lalu di masak.

Agar rasanya juga nikmat, apalagi lidah-lidah orang pinggiran suka rasa yang ‘’mantaf’’ maka bumbu yang diberikan juga sangat ‘’keras’’. Bukan saja pedas tetapi juga memunculkan berbagai rasa dilidah dengan harapan enak dimakan.

Masakan itupun terus berkembang dan banyak disukai masyarakat pinggiran yang setiap hari datang ke solo. Sebagai kuli dan pekerja pabrik, jelas mereka harus ‘’ngirit’’ kanthongnya, termasuk dalam selera makan.

Sebagai pusat perekonomian, Kota Solo memang terjadi perbedaan mencolok antara siang dan malamnya. Penduduk asli Solo yang sekarang sekitar 700 ribu orang, bila siang hari meningkat dua kali lipat.

Dalam perkembangannya, makanan khusus thengkleng itu, ternyata banyak mengundang selera lidah. Mungkin saja, sekarang sudah banyak anak-anak pinggiran yang dulunya terbiasa makan thengkleng kini banyak menjadi pejabat atau ‘’priyayi’’.

Banyaknya peminat itu pula yang membuat para penjual sate sekarang ini melengkapi masakannya dengan Thengkleng. Bahkan setiap sudut kota kini banyak dijumpai masakan khas thengklng tersebut.
Bila dulunya yang terkenal hanya dibawah lengkung gapura Pasar Klewer saja. Kini banyak pejabat ibu kota yang menyukai masakan thengkleng di Nusukan (samping makam raja) dan di Jatinom, selatan Solo.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ada Komentar????