Minggu, 05 Juli 2009

Pemberhalaan keberhasilan


Hobi atau kesukaan menikmati sesuatu, baik benda mati maupun hidup, di dalam bahasa Jawa sering disebut dengan klangenan.
Klangenan demikian pada awalnya murni untuk kenikmatan batin, yang harganya tidak dapat dinilai dengan apa pun.
Sejalan dengan semakin merosotnya pemahaman orang terhadap kehidupan batin, makna klangenan pun bergeser ke dalam kehidupan lahiriah. Klangenan itu sering tidak disikapi sak madya (secara wajar), tetapi sangat berlebihan atau dipuja-puja. Sehingga, segala hal diukur dengan nilai material, uang.


Klangenan itu merupakan salah satu ekspresi (ungkapan) dari lambang keberhasilan lelaki Jawa. Artinya, semakin berhasil seseorang semakin bertambah jumlah klangenan-nya.
Klangenan, bagi orang Jawa, terdiri atas wisma (rumah), curiga (senjata), turangga (kuda), kukila (burung) dan wanita (perempuan). Dengan demikian dapat dikatakan belum lengkap jika lima hal tersebut tidak dimiliki oleh lelaki Jawa.
Selaras dengan perkembangan zaman, maka kelima hal itu perwujudannya menjadi berimbas meluas. Apalagi jika kehidupan ekonominya berlimpah ruah. Wisma atau rumah, sebagai simbol keberhasilan pertama, tidak sekadar sebagai tempat tinggal, tetapi juga dijadikan simbol status sosial yang melangit.
Maka, bagi yang berhasil, rumah tidak cukup hanya sebuah hunian, tetapi istana. Mungkin di mana-mana dibangun rumah milik pribadi, yang lazimnya megah dan sangat menonjol dibanding penghuni lama yang berada di sekitarnya. Pemilik rumah yang banyak itu juga mempunyai sejumlah kartu tanda penduduk (KTP). Mungkin inilah salah satu sebab kenapa jumlah penduduk Indonesia bertambah terus.
Tanda keberhasilan kedua adalah turangga. Perwujudannya sekarang tidak selalu wantah berupa kuda, dapat saja berubah menjadi sepeda motor, mobil, bahkan pesawat terbang pribadi dengan harga mahal tentu saja. Kecuali, salah satu calon wakil presiden (Cawapres) kita sajalah yang memiliki klangenan kuda. Konon, Cawapres itu memiliki sejumlah kuda dengan harga yang sangat mahal.
Simbol ketiga adalah kukila (burung). Masih banyak orang yang memiliki sejumlah burung sungguhan, seperti perkutut, segala jenis burung berkicau, ayam jantan (jago) dan bekisar. Ungkapannya sekarang kukila dapat berubah menjadi radio, tape recorder, televisi, VCD/DVD, berbagai jenis kamera, MP3, HP atau Ponsel dan sebagainya yang serba mutakhir. Simbol kukila ini intinya suatu bunyi-bunyian yang membuat seseorang menjadi nyaman untuk tinggal di rumah atau di suatu tempat tertentu.
Lambang keberhasilan keempat adalah curiga (senjata). Tempo doeloe, banyak orang yang mengoleksi sejumlah barang pusaka. Tidak hanya keris dan tombak, ada juga yang menyimpan batu-batu yang diyakini berkhasiat, termasuk kol buntet (sejenis fosil keong yang tidak berongga). Sampai sekarang curiga, terutama yang dianggap keris kuno, masih banyak diburu orang, tidak peduli berapa pun harganya. Para pejabat dan calon pejabat di negara ini masih tak terhitung yang gemar menyimpannya.
Wanita atau perempuan juga dijadikan tolok ukur keberhasilan seseorang. Oleh sebab itu, lazimnya para wanita yang cantik dengan ciri ‘kutilang’ (kuning, tinggi dan langsing) saja yang berkesempatan menikmati (menjadi istri atau selir) lelaki berhasil. Pemberhalaan terhadap semua klangenan dalam wujud apa pun, sering menjadikan seseorang menjadi lupa diri, termasuk melupakan sumber dari segala sumber, Tuhan Yang Maha Kaya Segala.
Pelupaan terhadap Tuhan inilah yang marak terjadi di negeri tercinta ini. Kata Tuhan, Allah, Sang Hyang Widhi Wasa, Sang Maha Kuasa, atau apa pun namanya, memang sering terucap dari mulut serta terdengar dalam telinga. Mulai dari sumpah dan janji pelantikan calon pegawai negeri yang terendah sampai pada pejabat tinggi negara nomor satu, presiden.
Sayangnya, ucapan serta dengaran tentang Tuhan itu sering tidak menggema dalam kalbu atau sanubari yang paling dalam setiap insan. Ucapan dan dengaran yang mengatasnamakan Tuhan sering hanya dianggap sebuah kelengkapan acara (ritual), mulai dari pembukaan rapat RT sampai dengan ucapan seorang hakim dalam memvonis seseorang.
Sebab apa? Kemungkinan takut dianggap bukan manusia Indonesia yang berpancasila. Jadi, bukan takut dalam arti taat terhadap semua perintah Tuhan beserta upaya untuk menghindar diri dari perbuatan yang menjadi larangan-Nya.
Om Suryo dan Surti sepakat bahwa kepurukan Nusantara yang selalu silih-berganti ini diakibatkan oleh sikap batin sebagian besar bangsa Indonesia yang memberhalakan harta, tahta dan wanita (3-TA); terutama TA yang terakhir, wanita.
Berbagai upaya untuk meminimalisasi segala pemberhalaan agar manusia taat pada Tuhan, selalu diadang oleh sekelompok orang-orang yang cerdas intelektualnya, tetapi miskin spiritualnya.
Dengan dalih tegaknya demokrasi, pembelaan HAM (hak asasi manusia), kebhinekaan, multikultural dan istilah-istilah mentereng yang lain, berbagai upaya itu menjadi mandul dan kandas di jalan.
Allah tidak peduli lagi-tidak hanya abdi berhala-orang-orang yang taat kepada-Nya pun akan terlibas bencana, diakibatkan oleh sikap dan perbuatan orang-orang yang selalu meniadakan-Nya. Surti mengimbau kepada seluruh bangsa ini untuk cepat berwawas diri, dengan cara meniadakan berhala di dalam hati; agar semua bencana segera dapat diatasi.


source.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ada Komentar????