Babat Tanah Jawa Indonesia
Kini dengarlah pula kisah silam Jawadwipa nan terkandung dalam karya pujangga, prasasti dan ingatan bangsa.
Bait 01
Di Tenggara benua Asia, dalam kelompok kepulauan Nusantara Jawadwipa terletak anggun dan perkasa merekah gagah, pancarkan seni budaya pahlawan masa dan ksatria budi luhur Pantai Utaranya terima deburan ombak laut Jawa Selat Sunda memisahkannya dan bumi Swarnadwipa di sebelah Barat di sebelah Timur berbaris memanjang Kepulauan Nusa Tenggara dan ombak laut Selatan, Samudra Indonesia, ramaikan Jawadwipa Tegak menjulang barisan pegunungan di bagian tengah pulau Gunung-gunung Gede, Pangrango, Slamet, Merapi, Merbabu, Dieng, Bromo, Kelud dan Semeru menjangkau awan putih, sinarkan wahyu semangat
Dari sana mata air alirkan sungai-sungai Citarum, Ciliwung, Bengawan Solo dan Kali Brantas. Hidupkan lembah-lembah hijau Jawadwipa. Di kala mentari pagi beranjangsana ke atas dunia Tampak air kali coklat berbuih mengalir tenang, suburkan petak-petak sawah kuning padi merunduk melambai tertiup angin hijau segar nampak hutan-hutannya. Tatkala gelap malam naungi bumi Jawadwipa sinar perak rembulan memancar di atasnya lalu terdengar seruan jangkrik mendesing bertingkahan dengan paduan suara katak nan riuh rendah Sungguh indah sang putri Nusantara, Jawadwipa Dan amatlah tua sejarahnya.
Bait 02
Ratusan ribu tahun yang silam manusia Jawa hidup di dataran rendah pulau ia dikenal dengan nama kera yang berdiri tegak atau Pithecantropus Erectus Mojokertoensis berkelompok mereka hidup, berkembang biak dan berburu bersaingan dengan binatang-binatang hutan Lalu ribuan tahun yang telah silam sebelum Kristus lahir, sebelum ada tarikh Saka dari tanah Utara, di sekitar Cina Selatan, Yunnan dan Tonkin nenek moyang bangsa Melayu tiba dengan ratusan perahu ke Nusantara sebagian tinggal menetap sebagian berlayar terus ke Philipina, Madagaskar Irian dan pulau-pulau Polynesia Desa-desa terbentuk dengan wilayahnya tempat masyarakat, yang bersifat kerakyatan, menetap Alat-alat senjata dari perunggu dan besi serta kepandaian tanah liat, menganyam dan menanam padi memulai kebudayaan di Jawadwipa.
Bait 03
Dalam abad pertama tarikh Masehi datanglah orang-orang Hindu dari India Bersama mereka, para pedagang, pendeta dan Pangeran agama Hindu dan Buddha tibalah Pangeran Aji Saka, yang mulia perkasa membawa aksara Sanskrit dan Pallawa yang di Jawadwipa lalu menjadi abjad-abjad:
Ha Na Ca Ra Ka
Da Ta Sa Sa La
Pa Da Ja Ya Nya
Ma Ga Ba Tha Nga
kala itulah sejarah agung dimulai pada permulaan tarikh Saka.
Bait 04
Di Jawadwipa, di masa yang telah silam memerintah raja-raja agung yang ternama, Pertama dari para raja, Sri Baginda Punawarman, Bijaksana, adil dan pelindung rakyatnya, Penegak utama kekuasaan Tarumanegara, Dan junjungan bagian pulau sebelah Barat, Dalam abad keempat tarikh Masehi, Ia membangun pengairan sawah dengan kanal-kanal panjang di daerah Krawang karena mulianya digelari titisan dewa Wisnu dalam prasasti kali Ciaruteun, Di bagian tengah Jawadwipa dalam tahun masehi 657tersebutlah nama kerajaan Kalingga dan ratunya, Sima, yang adil dan jujur Pada masa itu dibangun candi-candi Siwa di dataran tinggi Dieng terkenal pula waktu itu, nama Jnanabadhra guru besar agama Buddha yang tinggi ilmunya.
Bait 05
Tahun 732, Sanjaya memerintah Mataram, Di samping para raja wangsa Sailendra banyak didirikan candi suci sebagai baktipuja, Pawon, Mendut dan Kalasan berdiri dan atas niat raja Samarottungga, Borobudur telah berdiri, pada tahun 772 bagi keluhuran budi sang Buddha sekitar masa itulah, yaitu dalam tahun 700 kitab nyanyian Syandracarana dituliskan kemudian berpindahlah kuasa Sailendra wangsa ke Swarnadwipa, di kerajaan Sriwijaya.
Bait 06
Pada tahun 778 dibangunlah candi Siwa di Prambanan atas perintah raja Hindu, Daksa yang terselesaikan tahun 822, Mulai tahun 742 hingga tahun 754 Dyah Balitung yang perkasa, raja Mataram di Medang Kamulan persatukan bagian Timur dan Tengah Jawadwipa, Lalu pada tahun 847, baginda Mpu Sindok pindahkan pemerintahan ke Timur Jawadwipa di Watu Galuh, dekat Jombang, berdiri kratonnya, Pada masa pemerintahannya, Sri Sambhara Suryawarana menuliskan kitab Sang Hyang Kamahayanikan.
Bait 07
Pada akhir abad ke 10 tarikh Masehi, Dharmawangsa memerintah dari Watan di kaki gunung Penanggungan ialah itu yang perintahkan agar disusun kitab undang-undang Siwasasana bagi negerinya, Namun, pada tahun 928, dalam pesta kawin di kraton Watan, Dharmawangsa tewas karena serangan Wurawari, raja Lor Arang keraton dibakar, keluarga raja binasa oleh pedang disebut oleh para pujangga peristiwa itu akhir dunia (pralaya).
Bait 08
Airlangga, menantu Dharmawangsa yang ibundanya cucu Mpu Sindok dan ayahnya raja Bali selamat dari peristiwa sedih dimalam itu lalu disusunnya kekuatan, dipanggilnya nama Wisnu dan dibalasnya dendam pada Sang Wurawari, Pada tahun 1037 ia memerintah di Kahuripan di kaki gunung Penanggungan kemudian ia berpindah ke kraton di Daha Gelar Abiseka sang Prabu ialah: Sri Maharaja Rakai Halu Sri Lokeswara Dharmawangsa Erlangga Anantawikrama Uttunggadewa, Pada masa bahagia itulah ditulis karya sastra Arjuna Wiwaha dan Bhagawadgita, Sang Prabu wafat pada tahun 971 dan dua putranya yang bermusuhan memerintah di Jenggala dan Kediri dari hidup merekalah kisah-kisah Panji dituliskan.
Bait 09
Sekitar masa Airlangga, yaitu tahun 1030, Jawadwipa bagian sebelah Barat diperintah oleh raja Sri Jayabupati yang kratonnya terletak di Galuh Pakuan.
Bait 10
Pada tahun masehi 1135, dinobatkan di Kediri keturunan agung Airlangga dengan gelar Abiseka
Sri Maharaja Sang Mapanji Jayabhaya Sri Warmeswara Madhusudhanawatara Anindita Suhtrasingha Parakrama Uttunggadewa, Beliau raja yang keramat dan tajam pandangnya bagi masa-masa kemudian diucapkannya ramalan akan nasib Jawadwipa, akan nasib bangsanya dengan kalimat nan terselubung, arti tersembunyi Pada tahun 1157, sebelum sang Prabu wafat Mpu Sedah dan Mpu panuluh, menuliskan kita Bharatayudha.
Bait 11
Tahun 1107 saksikan penobatan raja di Kediri yang bergelar Abiseka Sri Maharaja Kamesware Triwikrama Awatara Aniwariwirya Parakrama Digjaya Uttunggadewa, Permaisurinya adalah Kirana Ratu putri Jenggala nan ayu jelita, Pujangga agung Mpu Dharmaja memandang raja dan ratunya, tatkala ditulisnya kisah Dewa Kamajaya dan Ratih Dewi dalam karya sastra nan halus merasuk yang bernama Smaradahana.
Bait 12
Kejayaan dan keagungan Kediri, hilang lenyap dikancah pertempuran Di Ganter, pada tahun 1044, Sewaktu Kertajaya Dandang Gendis terkalahkan oleh barisan Tumapel dan dahsyat Ken Arok yang lalu menjadi yang dipertuan di tanah Jawa dengan gelar Abiseka: Sri Rajasa Sang Amurwabhumi, Bersama permaisuri Ken Dedes, dipuja rakyat namanya dan dimuliakan masa pemerintahannya walau Ken Arok anak orang desa para turunannya menjadi raja agung, Pada tahun 1127 wafatlah Ken arok dan naik takhta putra tirinya, Anusapati putra Ken Dedes dari suami pertamanya, Tunggul Ametung, Semangkatnya raja Anusapati; Tohjaya, putra Ken Arok dari Ken Umang, naik takhta di Kediri namun ia mati terbunuh oleh permupakatan antara Seminingrat, putra Anusapati dan Narasinghamurti, anak Mahisa Wong Ateleng, cucu Bhatara Parameswara, cicit Ken Arok dan Ken Dedes Semingrat lalu memerintah di Kutaraja dengan permaisuri Waning Hyun, adik Narasinghamurti, Narasinghamurti diangkat, jadi ratu Angabhaya
Sang Prabu, gelar Abiseka Wisnuwarhana membangun pelabuhan Canggu di sungai Brantas, Putranya, Sri Lokawijaya, dinobatkan tahun 1254 dengan gelar Abiseka Sri Kertanegara waktu itulah berganti nama Kutaraja menjadi Singasari, Ialah raja yang taat pada agama, pelindung rakyat yang perkasa dan negarawan yang bijaksana, Pada tahun 1274 dikirimnya lasykar Singasari dalam peristiwa Pamalayu, ke Dharmasraya, di Jambi ditundukkannya Tribhuwanaraja Mauliwarmadewa dan padanya dianugerahkan arca Amoghapasa sebagai lambang persahabatan, Dijalinnya pula hubungan akrab, dengan Jayasingawarman III, penguasa negeri Campa karena kala itu terdengar, niat maksud Khubilai Khan agar Jawadwipa sembah bakti padanya yang bahkan telah kirimkan duta besarnya tuk paksa Kertanegara terima kehendak sang kaisar Dengan marah sang Prabu mengusir utusan Tatar dan canangkan kewibawaan Singasari, Tahun 1292 terjadi peristiwa hina yang menyedihkan karena Jayakatwang, raja bawahan di Gelang-gelang berkhianat menghantam sang Prabu di kratonnya Kertanegara gugur dan berpulang ke Jinalaya dimakamkan dengan gelar: Yang Mulia di alam Siwa-Buddha Menantu sang prabu, Sanggramawijaya, disertai para hamba lari dikejar musuh, hingga tiba di Madura Arya Wiraraja lindungi ia, dan dimintakan ampun pada Jayakatwang atas ijinnya, Wijaya membangun Majapahit, dekat Majakerta dan dihimpunnya tentara, tuk balaskan dendam Kertanegara.
Bait 13
Namun suatu peristiwa terjadi
Tanggal 1 Maret 1293, tahun Saka 1215
tentara bangsa Tatar berlabuh di Tuban
dipimpin Shih Pi, Kau Hsing dan Ike Mese
Berbaris berderap pasukannya masuki Jawadwipa
dan ratusan layari sungai Serayu
Dengan penuh kedahsyatan, dibantu Sanggramawijaya
diserbu dan dihalaunya lasykar Jayakatwang
kemudian Sanggramawijaya berbalik menikam
menyerbu orang-orang Tatar, kala mereka mabuk kemenangan
maka pada tanggal 24 April 1293, Saka 1215,
berlayar pulanglah balatentara Tatar
Bait 14
Sanggramawijaya, putra Dyah Lembu Tal, cucu Narasinghamurti
dan menantu Kartanegara
Dinobatkan pada Saka 15 kartika 1225, yaitu masehi 1303,
dengan gelar Abiseka: Sri Kertarajasa Jayawardhana
Empat putri Kartanegara, semua istri sang Prabu
Tribhuwana, Mahadewi, Jayendradewi (Prajnya Paramita)
dan Dyah Dewi Gayatri (Rajapatni), ibunda Tribhuwanatunggadewi
Istri kelima sang Prabu, Dara Petak Dyah Indreswari
yang datang dari Dharmasraya, beliaulah ibunda Jayanegara
Bait 15
Semangkatnya Kertarajasa, naik takhta Jayanegara
masa pemerintahannya amat penuh oleh kesedihan
dan pertumpahan darah
Sang Prabupun wafat pada tahun 1328
ditikam pisau tabib Tanca
Pada masa itulah Gajah mada, anak desa
menanjak lekas, karena jasanya pada Sri Jayanegara
Bait 16
Bulan Badhra çaka 1251 (1329), Tribhuwanatunggadewi
naik ke atas singgasana Majapahit, gelar sang ratu
Tribhuwanatunggadewi Maharajasa Jayawisnuwardhani
masa pemerintahannya negeri aman sentosa
dan sesudah gempa bumi di Pabanyu pindah
pada tahun kelahiran Hayam Wuruk, tahun 1334
Gajah Mada menjadi Patih Mangkubumi
kala itu diujarkannya Sumpah Palapa, persatuan Nusantara
Jika telah berhasil tundukkan Nusantara saya
Baru akan beristirahat. Jika Gurun, seram,
Tanjung Pura, Haru, Dompo, pahang, Bali, Sunda,
Palembang, Tumasik telah tunduk, saya
Baru akan beristirahat.
Tahun itu juga, balatentara majapahit dipersiapkan
tuk menyatukan kepulauan Nusantara
dibantu oleh Laksamana Nala, Adityawarman dan para mentri
dua puluh tiga tahun lamanya Gajah Mada juangkan impiannya
Bait 17
Tahun 1350 menjadi bikhu sang ibunda ratu
dan dinobatkanlah Hayam wuruk, dengan gelar
Dyah Hayam Wuruk Sri Rajasanegara
Masa itulah jaman keagungan bangsa
Nusantara bersatu, keadaan aman tentram
Terdapat pula kitab undang-undang Kutara Manawa
yang ciptakan masyarakat adil di majapahit
Sang Prabu, Apatih Mangkubumi, Para Mentri serta
Dharmajaksa ring Kasyawan dan Dharmajaksa ring Kasogatan
dijunjung diluhurkan di pelosok negeri
Namun pada tahun 1357 terjadi peristiwa nista
Namanya perang Bubat
Bait 18
Di tanah Pasundan bertakhta Prabu Maharaja
Putrinya Dyah Pitaloka amat rupawan tiada tara
kebanggaan istana, kemuliaan Galuh pakuan
karena lamaran Dyah Hayam Wuruk, berangkat Sang Prabu
sertai putrinya ke Majapahit
diiring ratusan ksatria Sunda yang gagah dan cakap berperang
Di sana tinggal mereka di lapangan Bubat
tuk nantikan pinangan sang Prabu Hayam Wuruk
Namun Gajah Mada inginkan raja Sunda sembahkan putrinya
Sebagai tanda bakti dan laku setia
Amat marah terhina para ksatria Sunda
ditolak permintaan, dilayani ksatria Majapahit
hingga semua orang Sunda gugur, di tanah lapang Bubat
Bait 19
Sesudah peristiwa Bubat yang amat hina itu
berhentilah perang perluasan wilayah
Masa bahagia negeri majapahit berlangsung
disertai dengan pembangunan candi-candi,
dan pengembangan seni budaya
utusan para raja di Nusantara, menghadap Sang Prabu membawa upeti
Para dutapun datang berkunjung, dari negeri-negeri sahabat
Sri langka, Campa dan Ayodhya
Pada tahun 1365 Prapanca menulis kitab Desawarnana,
yaitu Negarakertagama
tentang perjalanan sang Prabu meninjau negeri
dan sejarah agung para leluhurnya
Mahapatih Gajah Mada, kebanggaan negeri Majapahit,
wafat pada tahun 1364
menangis sang Prabu dan keluarganya,
terharu sedih seisi negeri
tak diangkat mahapatih baru untuk mengganti
tak ada yang cakap, yang perwira bagai dia
Bait 20
Dyah Hayam Wuruk wafat pada tahun 1389
dan naiklah Wikramawardhana ke atas takhta
ialah putra ibunda Bhre Pajang, cucu Tribhuwana Tunggadewi
dan menantu Dyah Hayam wuruk
setelah masa pemerintahannya, istrinya,
Kusumawardhani berganti memerintah
Kemudian pada tahun 1429 Suhita menjadi ratu
dialah putri Kusumawardhani dan Wikramawardhana
Kertawijaya, putra Wikramawardhana dari selirnya
Naik takhta pada tahun 1446
dan memerintah selama lima belas tahun
kemudian kekuasaannya berpindahlah
pada Wangsa Girindrawardhana
Bait 21
Dyah Wijayakarana, raja pertama wangsa baru
dinobatkan pada tahun 1451
dua tahun lamanya sang Prabu memerintah
Lalu berkuasa di Majapahit selama 15 tahun
raja-raja yang bukan berasal dari Girindrawardhanawangsa
Tahun 1468, naik ke atas takhta cucunda
Dyah Wijayakarana, bernama Singawardhana Dyah Wijayakusuma
Pamanda Dyah Wijayakusuma, Bhre Kertabumi namanya,
menjadi raja pada tahun 1474
dan empat tahun sang Prabu memerintah
Tahun 1486 raja Majapahit terakhir dinobatkan
namanya Prabu Nata Dyah Ranawijaya, putra Singawardhana
Dyah Wijayakusuma; setelah berhasil merebut mahkota
dari Bhre Kertabhumi
Pada tahun 1527 Sang Prabu gugur,
bersama hancurnya Majapahit
Karena serangan Raden Patah dari Demak
Menjelang kebinasaan Majapahit, yang telah rapuh
oleh perebutan kekuasaan dan iri hati
masih tampil karya agung budaya luhur
berujud kitab-kitab Arjunawijaya, Sutasoma, Purusadasanta
yang ditulis Mpu Tantular
serta Wretta Sancarya dan Siwaratrikalpa
buah pikiran Mpu Tanakung
Bait 22
Raden Patahlah raja Islam pertama di Jawadwipa
putra Bhre Kertabhumi dari istrinya putri Cina
di Palembang ia dibesarkan, di tempat Arya Damar, ayah tirinya
berlayarlah ia ke Jawa setelah dewasa, dan di sana dipeluknya
agama Islam yang baru tiba
Ditegakkannya panji-panji baru di demak,
atas bimbingan para wali
dan setelah kejatuhan Majapahit, disebarkannya
ajaran Sang Rasul Di Jawadwipa
Kini suara azan terdengar pada pagi dan senja hari
bukan lagi dengung mantra para pedanda
demikian Demak berdiri, pewaris tunggal Majapahit
Bait 23
Kini dengarlah sejarah para raja Sunda
yang memerintah di Jawadwipa sebelah Barat
Setelah Prabu Maharaja gugur di medan laga Bubat
bersama dengan Dyah Pitaloka yang rupawan
dan para ksatria Sunda pada tahun 1357
Pada tahun 1371, setelah masa perwalian Hyang Bumi Sora,
dinobatkan Prabu Niskala Wastu Kancana
yang dalam usia muda memerintah di Galuh Pakuan
Ialah raja yang berbajik, setia dan taat pada hukum Manu
apabila tak hadir di kraton Surawisesa,
beliau pergi untuk laku tapa brata
rakyat bahagia tentram, lumbung desa penuh padi
104 tahun lamanya Sang Prabu berkuasa
lalu wafat ia di Nusalarang, di telaga Panjalu,
di bilangan Kawali Galuh
Sang Prabu diganti putranya Rahiyang Dewa Niskala
yang memerintah selama 7 tahun dan berpulang di Gunatiga
Pada tahun 1482 naik takhta Prabu Ratu Purana
Setelah diwastu bernama Prabu Guru Dewataprana
Bait 24
Raja yang agung, perkasa dan termashur
dipindahnya ibukota ke Pakuan Pajajaran
pusat negeri yang diapit sungai-sungai Ciliwung dan Cisadane
dengan dermaga pelabuhannya
Kapal-kapal dagang masuk dari Sunda Kelapa,
Tangerang dan Merunda
berlayar masuk hingga Pakuan Pajajaran
lewat jalan darat para pedagang tiba; dari pelabuhan-pelabuhan
Banten, Krawang dan Pontang
Jalan-jalan gerobak lalu lintasi pedalaman pulau, dan
Sebuah jalan raya yang amat panjang terdapat;
Bermula di pakuan Pajajaran, melalui Cileungsi,
Warunggede, Tanjung Pura, Krawang, Cikao,
Purwakarta, Segalaherang, lalu liwati
Sumedang, Tomo, Sindangkasih, Raja Galuh,
Talaga, Kawali hingga ke pusat Galuh Pakuan
Amatlah berkuasa sang Prabu
dari Ujung Kulon hingga Pasir Luhur
namanya dipuja dan disanjung hormat
Bait 25
Prabu Ratu Purana diwastu lagi dan bergelar
Sri Baduga Maharaja, Ratu raja di Pakuan Pajajaran
Dibangun atas perintahnya, sebuah istana megah dan indah
penuh ukiran dan hiasan, pantas bagi Maharaja Sunda
Di sanalah, di Kraton Sri Bima Punta Narayana Madura Suradipati,
raja mulia bersemayam
dari jauh diterimanya upeti persembahan
tanda setia para raja Pasundan
Dipelbagai tempat asrama suci pandita didirikan
Di atas tanah hadiah Sri Baginda
Dibuat pula sebuah danau, bernama
Sang Hyang Talagarena Mahawijaya
yang airnya mengalir suburkan sawah penduduk
di telaga itu para putri bersuka ria di atas perahu
seraya mendengar cicit nyanyian burung
dan menatap keindahan taman Milakancana
dan Samida, hutan ciptaan Baginda
Bukankah terdengar pula pada nyanyian Juru pantun
Cipatahunan atau Sipatahunan
yang ada di talaga Rena Mahawijaya
yang sekarang hanya tinggal bekasnya
ujung hulunya pada Bantar Peuteuy
ujung kakinya pada Babakan Pilar
Di ketinggian ujung hulu telaga, tak jauh dari kraton Sang Prabu
berdiri punden keramat, tempat upacara Kuwerabakti
sekali dalam setahun di sana para raja Sunda berkumpul
iringi para pandita memohon berkah kesuburan tanah
Bait 26
Tinggi nian budaya rakyat Sunda di masa itu
Jadi kekaguman orang di masa kini
Seperti yang tertulis dalam kitab Siksa Kanda Karesian
yang disusun tahun 1518
banyak pengetahuan dipelajari,
jadi pembimbing seluruh negeri
ilmu pemerintahan, ilmu perang, ilmu agama dan sanditapa;
ilmu bahasa-bahasa, batik, tarian dan pewayangan;
dan ilmu pelayaran dipelajari pula
Sungguh gemilang Pajajaran, kebanggaan seluruh Nusantara
Bait 27
39 tahun lamanya Ratu Purana memerintah
dan pada tahun 1521 dinobatkan putranya, Prabu Surawisesa
Masa pemerintahan Sang Prabu ialah 14 tahun
lalu diganti Prabu Ratu Dewata tahun 1535
Dialah yang mendirikan prasasti Batutulis
di samping Sang Hyang Lingga pada tahun Saka
Panca Pandawa Ngemban Bumi
tuk memuliakan kakeknya yang agung
Ratu Purana, atau Prabu Siliwangi
Kala itu Islam telah masuk ke tanah Pasundan
dan akhir kejayaan Pajajaranpun telah nampak
22 Juni 1527, Saka 1449 Falatehan, panglima raja Demak,
menaklukan pelabuhan Sunda Kelapa
yang berganti nama menjadi Jayakarta
Bait 28
Tahun 1543 dinobatkanlah putra Ratu Dewata
namanya Sang Ratu Saksi, dan 8 tahun ia memerintah
hingga saat putranya, Prabu Ratu Carita, menjadi raja
dalam tahun 1551
Tahun 1567 naiklah Nu Siya Mulya ke Singgasana
tuk memerintah negeri yang kejayaannya telah lama pudar
tak sanggup liwati pergantian masa, tak kuat hadapi lawannya
Nu Siya Mulya disebut pula Prabu Seda
karena ia gugur dalam pertempuran di tahun 1579
sewaktu balatentara Pangeran Yusuf dari banten
menyerbu dalam peristiwa burakna Pajajaran
Porak poranda seisi negeri, musnah sudah keagungan
Watu Gigilang, Warisan Karuhun, tempat penobatan raja
dibawa pergi ke tanah Banten
Tamat sudah sejarah kerajaan Pakuan Pajajaran
Namun, tak dilupakan orang jaman keemasan
Seperti masih disebut dalam pantun Bogor, Kujang di Hanjuang Siang:
Masih mending Jaman Pajajaran
ketika masih ada Kuwerabakti
ketika guru bumi dipuja-puja
ketika lumbung umum isinya melimpah
tiada tani perlu ngijon, tiada tani gadaikan pekarangan
tiada tani mati karena kesal
tiada tani mati karena lapar
Bait 29
Bantenlah pewaris kekuasaan di Pasundan
dan beberapa waktu namanya tersohor di Jawadwipa
banyak pula raja muslimnya yang termashur
yang namanya terpatri dalam ingatan bangsanya
Sultan Hasanudin yang gagah perkasa
berwibawa dan dijunjung tinggi
Sultan Ageng yang tegas tak kenal takut
berani menantang keangkuhan bangsa Belanda
di Batavia
Tapi pada akhirnya, kalahlah Banten bersama
Kesultanan Cirebon
Karena muslihat dan peperangan,
dengan bangsa penjajah itu
Bait 30
Adapun bangsa Belanda, pertama datang untuk berdagang
namun perlahan-lahan, ditegakkannya kuasa
di Jawadwipa, dan seluruh Nusantara
Tanggal 30 Mei 1619, Saka 1541, Jayakarta jatuh
ke tangan Yan Pieterzen Coen
dan Juni tanggal 22 tahun 1621, Saka 1543
diberi nama Batavia, pada kota pelabuhan itu
Jaman para raja agung telah hampir selesai
Kejayaan dan kemuliaan Jawadwipa, perlahan
meredup, untuk akhirnya padam selama masa penjajahan
Namun, sebelum keagungan, keindahan dan keperkasaan
jiwa kebangsaan berangkat tidur
masih berdiri sebuah kerajaan tersohor
namanya Mataram
Bait 31
Seperti telah disebutkan dalam kata-kata yang terdahulu
tentang berdirinya kesultanan Demak
yang bangkit penuh pesona di atas reruntuhan Majapahit
dan memulai babak baru dengan ajaran baru
Kekuasaan inilah yang selama beberapa masa
dipertuan di Jawadwipa, berpengaruh di Nusantara
Dari pelabuhannya armada andalan negeri
berlayar perangi perompak dan amankan laut
Adipati Unus, putra Raden Patah
adalah laksamana Demak yang tangkas dan ternama
lalu Raden Trenggana, raja yang cakap, memerintah
bijaksana beroleh wahyu hidayat
walaupun tak lama masa jaya Demak
namanya bangkitkan juga semangat kepahlawanan
Kemudian kalahlah Demak oleh Pajang
Kesultanan baru yang muncul sesudahnya
Memerintah di pajang Sultan Adiwijaya
Dari tahun 1550 hingga 1582
Dialah yang anugerahkan daerah Mataram untuk diperintah
Pada Ki Gede Pemanahan panglimanya
Adapun Mataram di bagian tengah Jawadwipa
meliputi Surakarta, Kalasan, Klaten, Yogyakarta,
Kota Gede, Bantul, Imogiri, Sleman, hingga ke pantai selatan
Di sana, tempat raja-raja agung di masa Hindu yang telah silam
kini bangkit kuasa tak tertandingi
yang namanya getarkan kalbu Nusantara
Bait 32
Putra Ki Gede Pemanahan, Sutowijoyo
yang bergelar Pangeran Ngabehi Lor Ing Pasar
lalu menggantikan ayahandanya, memerintah negeri Mataram
diteguhkannya kekuasaan, dikalahkan para lawannya
dikibarkannya panji Mataram, diangkatnya senjata melawan Pajang
semangkatnya Sultan Adiwijaya, di tahun 1582
naik takhta Sutowijoyo dengan gelar
Panembahan Senopati Ing Ngalaga
Dari Kuto Gede, ibukota negeri
barisan-barisan Mataram menyerbu para adipati merdeka
di sekitar pantai Utara dan Surabaya
nama Sang Prabu disegani di seluruh pulau
dihormati hingga sejauh Cirebon
Kemudian mnagkatlah ia ditahun 1601
dan dimakamkan di Kuto Gede
Bait 33
Berganti memerintah Mas Jolang, Putra Sang Prabu
dengan gelar Sunan Hadi Prabu Anyakrawati
selama 12 tahun ia memerintah, lalu wafat di desa Krapyak
kabarnya terbunuh oleh pengkhianatan
ketika sedang memimpin pasukannya
untuk menyerbu dan menundukkan pantai Utara
Ia dimakamkan di Kuto Gede, di dekat makam ayahandanya
Bait 34
Putra Panembahan Seda Krapyak, dinobatkan tahun 1613
namanya Sultan Agung Prabu Anyokrokusumo
Dialah raja Mataram yang termashur
pada masanya Sabda Pandita Ratu
sesungguhnya dijunjung, diabaikan dan diamalkan
Sang Prabu semulia Airlangga dan Hayam Wuruk
Gagah berani bagai Wijaya Kertarajasa
cakapnyapun seperti mahapatih Gajah Mada
sebagai raja Sultan Agung adil dan jujur
cita-citanyapun suci, ingin satukan Nusantara
Tahun 1624 tentara Mataram tundukkan Madura
dan pada Sang Prabu, Panembahan Cakraningrat
berikan janji setia
Lalu Adipati Pekik di Surabaya menyerah pula
setelah bertempur berani dan dikepung berbulan-bulan
iapun diampuni oleh kebesaran hati Sang Prabu
malah dinikahkan dengan adinda raja agung
Kemudian Sang prabu kirimkan pasukannya
ke Sukadana di Kalimantan Barat
hingga negeri itupun tunduk padanya
Ketika Sang Prabu sentuhkan kuasanya ke tanah Banten
kuatirlah bangsa Belanda di Batavia
dan mereka coba halang niat Mataram
Pada tahun 1628 dan 1629
balatentara Mataram bertempur di Batavia
untuk habisi kuasa asing di Jawadwipa
Ratusan adipati dan tumenggung berangkat
diiring ribuan prajurit, berbaris gegap gempita
Para adipati di tanah Pasundan turut berperang
dan lumbung-lumbung padi di Krawang disiapkan
untuk masa perang yang panjang
Lasykar tumenggung Bahusasra, mendarat beramai di Merunda
pasukan Adipati Ukur menggempur, pintu benteng Batavia
Berbulan bangsa asing terkepung, hampir binasa seisi Batavia
Namun armada Belanda datang membantu dari Maluku
dan pengkhianat membakar lumbung-lumbung padi
hingga terpukullah tentara Mataram
dalam pertempuran dan oleh kelaparan
Akhirnya mundurlah barisan Mataram, dengan kecewa
karena gagal penuhi amanat Sang Prabu
Akan tetapi telah ditunjukkan pada penjajah
Keampuhan bangsa dan keberanian ksatria-ksatria Nusantara
Dalam perang penaklukan terakhir di tahun 1639
tunduklah Blambangan di Timur Jawadwipa
Besarlah kuasa Mataram yang meliputi seluruh Jawadwipa,
kecuali Banten dan Batavia
pengaruhnyapun terasa, sejauh Palembang, Jambi dan Banjarmasin
Bait 35
Sultan Agung negarawan yang bijaksana pula
karena padat sudah tanah Mataram
dipindahkannya sebagian penduduk ke Krawang
Ia juga seorang sastrawan dan pujangga agung
yang menuliskan kitab Sastra Gending
Ditunjukkannya ajaran nabi Muhammad
dalam wadah budaya Jawa, nan tua dan indah
Penanggalan tarikh Saka, disesuaikan dengan tahun Hijriah
Hari Raya Garebekpun dirubah maknanya,
menjadi Garebek Puasa dan Garebek Maulud
Pantaslah dikenang kejayaan Sultan Agung
raja, pujangga dan putra Nusantara sejati
Tahun 1645 Sultan Agung yang mulia wafat
di Imogiri, pemakaman para raja, ia dimakamkan
Bait 36
Tahun 1645 naiklah ke atas takhta
putra Sultan agung, Sunan Amangkurat I
dari Kartasura ia memerintah Jawadwipa
dengan keras hati dan sifat yang kejam
dimusnahkannya para bangsawan yang membangkang
dibinasakannya kaum ulama yang menentang
Maka meletus perlawanan di tahun 1674
dipimpin oleh Trunojoyo dan Adipati Anom, putra mahkota
dengan dukungan para bangsawan dan kaum ulama
prajurit Sang Prabu dikalahkan dan akhirnya kratonpun diserbu
Sunan Amangkurat I lari ke arah Barat
Kini Adipati Anom menyesal, lalu berbalik menyusul ayahandanya
Di Tegal arum, pada tahun 1677, wafatlah Sang prabu
Dan di sanalah ia dimakamkan
Bait 37
Atas dukungan tentara Belanda, naiklah Adipati anom ke atas takhta
di Surakarta ia memerintah, dengan gelar Sunan Amangkurat II
Kini kekuasaan Belanda telah merasuk Jawadwipa
Yang telah sirna jayanya dan hilang keagungannya
Berdiri pula loji Belanda di Surakarta
untuk awasi setiap langkah Sang Prabu
Pada masa itulah budak dari Bali Untung Surapati
lari ke arah Timur dari Batavia, dengan pengiring-pengiringnya
Di Surakarta digemparkannya seisi negeri
ketika ia berlaga dengan tentara Belanda
lalu didirikannya kerajaan di Pasuruan
yang musnah bersamanya, dalam dentuman meriam
bedil tentara penjajah
Kerajaan Matarampun akhirnya pecah jadi empat
karena muslihat dan hasutan Belanda, yang panaskan
persengketaan keluarga
Setelah perjanjian Giyanti di tahun 1755
di Yogyakarta Hadiningrat, Mataram sebelah Barat
memerintah Sultan Hamengkubuwono I
sedang di Surakarta, tetap memerintah Susuhunan Pakubuwono
Pada perjanjian Salatiga didirikan di Surakarta
daerah merdeka, di bawah Raden Mas Said, yang bergelar Mangkunegoro I
Kemudian berdiri pula kala Sir Stamford Raffles berkuasa di Nusantara
daerah merdeka di Yogyakarta, di bawah pangeran Notokusumo,
yang bergelar Sri Paku Alam I
Kini selesailah babak Mataram, sirna ditelan jaman penjajahan
Bait 38
Dalam abad Masehi ke 19
hidup di Yogyakarta Hadiningrat, pangeran Diponegoro
Dialah putra sulung raja Hamengkubuwono III
yang gagah berani dan taat beragama
Dengan muak dipandangnya seisi kraton
mengikuti kemauan penjajah Belanda
Bermusuhan ia dengan Adipati Danurejo
dan para pejabat bangsa Belanda
Karena hinaan bangsa penjajah, geramlah Diponegoro
Pada tahun 1825 diangkatnya senjata
melawan tentara Belanda, hadapi lasykar Danurejo
Lima tahun Jawadwipa dilanda perang
dan darah tertumpah di bumi tercinta
Kyai Maja, Sentot Alibasyah dan banyak lagi
sertai Sang Pangeran mempimpin rakyat perangi lawan
Tapi, pada tahun 1830, dengan dalih mengajak berunding
Penjajah yang licik tangkap Diponegoro
Ke Menado ia dan keluarganya, diiring para pengikut diasingkan
Kemudian Belanda memindahkannya ke Makassar
dan di sanalah ia, pahlawan Nusantara, wafat
Bait 39
Di malam terang bulan, kala tak sejengkal awanpun
bawakan curahan hujan
berkumpul putra-putra tanah ini; di halaman kraton
di depan rumah pak lurah atau di pesta perkawinan
Menyaksikan bayang-bayang dibalik layar putih, yang
samar-samar diterangi lampu blencong dan sinar purnama
bayang-bayang wayang kulit
yang dihidupkan Ki Dalang
bawakan kisah cerita Mahabarata
Kelima Pandawa pembela kebenaran, berperang
musnahkan kaum Kurawa dan para raksasa
keempat tokoh dari Karang Tumaritis,
hibur para penonton
dengan kata-kata jenaka dan gelak tawa
Nasihat-nasihat bertuah suci dari leluhur,
tiba di hati penggemar wayang
diiring bunyi merdu gamelan, nan ramaikan malam
indah di bumi Jawa
Terbit pula kekaguman akan masa lalu, tatkala, mereka saksikan
gemulai lembut penari-penari Serimpi dan Bedoyo
Tidak, jiwa bangsa tidak mati dalam alam penjajahan
di suatu hari kelak rasa kebanggaan dan cinta tanah air
akan merdekakan negeri terkasih.
Senin, 31 Agustus 2009
Kitab Adiparwa
Kita Adiparwa
Adiparwa adalah buku pertama atau bagian (parwa) pertama dari kisah Mahabharata.
Pada dasarnya bagian ini berisi ringkasan keseluruhan cerita Mahabharata, kisah-kisah mengenai latar belakang ceritera, nenek moyang keluarga Bharata, hingga masa muda Korawa dan Pandawa).
Kisahnya dituturkan dalam sebuah cerita bingkai dan alur ceritanya meloncat-loncat sehingga tidak mengalir dengan baik.
Penuturan kisah keluarga besar Bharata tersebut dimulai dengan percakapan antara Bagawan Ugrasrawa yang mendatangi Bagawan Sonaka di hutan Nemisa.
Adiparwa dituturkan seperti sebuah narasi. Penuturan isi kitab tersebut bermula ketika Sang Ugrasrawa mendatangi Bagawan Sonaka yang sedang melakukan upacara di hutan Nemisa.
Sang Ugrasrawa menceritakan kepada Bagawan Sonaka tentang keberadaan sebuah kumpulan kitab yang disebut Astadasaparwa, pokok ceritanya adalah kisah perselisihan Pandawa dan Korawa, keturunan Sang Bharata.
Dari penuturan Sang Ugrasrawa, mengalirlah kisah besar keluarga Bharata tersebut (Mahābhārata).
Bagian-bagian kitab Adiparwa itu di antaranya: (di anyam dalam cerita bingkai).
* Cerita Begawan Ugrasrawa (Ugraçrawā) mengenai terjadinya pemandian Samantapañcaka dan tentang dituturkannya kisah Mahabharata oleh Begawan Waisampayana (Waiçampāyana).
Kisah panjang tersebut dituturkan atas permintaan maharaja Janamejaya, raja Hastinapura, anak mendiang prabu Parikesit (Parīkşit) dan cicit Pandawa. Begawan Waisampayana bermaksud menghibur sang maharaja atas kegagalan kurban ular (sarpayajña) yang dilangsungkan untuk menghukum naga Taksaka, yang telah membunuh raja Pariksit.
Selain itu sang Ugrasrawa juga menjelaskan ringkasan delapan belas parwa yang menyusun Mahabharata; jumlah bab, seloka (çloka) dan isi dari masing-masing parwa.
* Cerita dikutuknya maharaja Janamejaya oleh sang Sarama, yang berakibat kegagalan kurban yang dilangsungkan oleh sang maharaja.
* Cerita Begawan Dhomya beserta ketiga orang muridnya; sang Arunika, sang Utamanyu dan sang Weda. Dilanjutkan dengan ceritera Posya, mengenai kisah asal mula sang Uttangka murid sang Weda bermusuhan dengan naga Taksaka. Oleh karenanya sang Uttangka lalu membujuk Maharaja Janamejaya untuk melaksanakan sarpayajña atau upacara pengorbanan ular.
* Cerita asal mula Hyang Agni (dewa api) memakan segala sesuatu, apa saja dapat dibakarnya, dengan tidak memilah-milah. Serta nasihat dewa kepada sang Ruru untuk mengikuti jejak sang Astika, yang melindungi para ular dan naga dari kurban maharaja Janamejaya.
* Ceritera Astika; mulai dari kisah sang Jaratkāru mengawini sang Nāgini (naga perempuan) dan beranakkan sang Astika, kisah lahirnya naga dan garuda, dikutuknya para naga oleh ibunya agar dimakan api pada kurban ular, permusuhan naga dengan garuda, hingga upaya para naga menghindarkan diri dari kurban ular.
Di dalam ceritera ini terselip pula kisah mengenai upaya para dewa untuk mendapatkan tirta amrta atau air kehidupan, serta asal-usul gerhana matahari dan bulan.
* Cerita asal-usul Raja Parikesit dikutuk Begawan Çrunggī dan karenanya mati digigit naga Taksaka.
* Cerita pelaksanaan kurban ular oleh maharaja Janamejaya, dan bagaimana Begawan Astika mengurungkan kurban ular ini.
* Cerita asal-usul dan sejarah nenek moyang Kurawa dan Pandawa. Kisah Sakuntala (Çakuntala) yang melahirkan Bharata, yang kemudian menurunkan keluarga Bharata. Sampai kepada sang Kuru, yang membuat tegal Kuruksetra; sang Hasti, yang mendirikan Hastinapura; maharaja Santanu (Çantanu) yang berputra Bhîsma Dewabrata, lahirnya Begawan Byasa (Byâsa atau Abiyasa) –sang pengarang kisah ini– sampai kepada lahirnya Dhrestarastra (Dhŗţarāstra) –ayah para Kurawa, Pandu (Pãņdu) –ayah para Pandawa, dan sang Widura.
* Cerita kelahiran dan masa kecil Kurawa dan Pandawa. Permusuhan Kurawa dan Pandawa kecil, kisah dang hyang Drona, hingga sang Karna menjadi adipati di Awangga.
* Cerita masa muda Pandawa. Terbakarnya rumah damar, kisah sang Bima (Bhîma) mengalahkan raksasa Hidimba dan mengawini adiknya Hidimbî (Arimbi) serta kelahiran Gatutkaca, kemenangan Pandawa dalam sayembara Drupadi, dibaginya negara Hâstina menjadi dua untuk Kurawa dan Pandawa, pengasingan sang Arjuna selama 12 tahun dalam hutan, lahirnya Abimanyu (Abhimanyu) ayah sang Pariksit, hingga terbakarnya hutan Kandhawa tempat naga Taksaka bersembunyi.
Bahagian yg terpenting :
Mangkatnya Raja Parikesit.
Dikisahkan, ada seorang Raja bernama Parikesit, putera Sang Abimanyu, yang bertahta di Hastinapura. Beliau merupakan keturunan Sang Kuru, maka disebut juga Kuruwangsa.
Pada suatu hari, beliau berburu kijang ke tengah hutan. Kijang diikutinya sampai kehilangan jejak.
Di hutan beliau berpapasan dengan seorang pendeta bernama Bagawan Samiti. Sang Raja menanyakan kemana kijang buruannya pergi, namun sang pendeta membisu (bertapa dengan bisu).
Hal tersebut membuat Raja Parikesit marah. Beliau mengambil bangkai ular, kemudian mengalungkannya di leher sang pendeta.
Putera sang pendeta yang bernama Srenggi, mengetahui hal tersebut dari penjelasan Sang Kresa, kemudian ia menjadi marah.
Ia mengutuk Sang Raja, agar beliau wafat karena digigit ular, tujuh hari setelah kutukan diucapkan.
Setelah Sang Raja menerima kutukan tersebut, maka ia berlindung di sebuah menara yang dijaga dan diawasi dengan ketat oleh prajurit dan para patihnya.
Di sekeliling menara juga telah siap para tabib yang ahli menangani bisa ular.
Pada hari ketujuh, yaitu hari yang diramalkan menjadi hari kematiannya, seekor naga yang bernama Taksaka menyamar menjadi ulat pada jambu yang dihaturkan kepada Sang Raja.
Akhirnya Sang Raja mangkat setelah digigit Naga Taksaka yang menyamar menjadi ulat dalam jambu Raja Janamejaya mengadakan upacara korban ular Setelah Maharaja Parikesit mangkat, puteranya yang bernama Janamejaya menggantikan tahtanya. Pada waktu itu beliau masih kanak-kanak, namun sudah memiliki kesaktian, kepandaian, dan wajah yang tampan.
Raja Janamejaya dinikahkan dengan puteri dari Kerajaan Kasi, bernama Bhamustiman. Raja Janamejaya memerintah dengan adil dan bijaksana sehingga dunia tenteram, setiap musuh pasti dapat ditaklukkannya. Ketika Sang Raja berhasil menaklukkan desa Taksila, Sang Uttangka datang menghadap Sang Raja dan mengatakan niatnya yang benci terhadap Naga Taksaka, sekaligus menceritakan bahwa penyebab kematian ayahnya adalah karena ulah Naga Taksaka.
Sang Raja meneliti kebenaran cerita tersebut dan para patihnya membenarkan cerita Sang Uttangka.
Sang Raja dianjurkan untuk mengadakan upacara pengorbanan ular untuk membalas Naga Taksaka.
Singkat cerita, beliau menyiapakan segala kebutuhan upacara dan mengundang para pendeta dan ahli mantra untuk membantu proses upacara.
Melihat Sang Raja mengadakan upacara tersebut, Naga Taksaka menjadi gelisah. Kemudian ia mengutus Sang Astika untuk menggagalkan upacara Sang Raja. Sang Astika menerima tugas tersebut lalu pergi ke lokasi upacara.
Sang Astika menyembah-nyembah Sang Raja dan memohon agar Sang Raja membatalkan upacaranya.
Sang Raja yang memiliki rasa belas kasihan terhadap Sang Astika, membatalkan upacaranya. Akhirnya,
Sang Astika mohon diri untuk kembali ke Nagaloka. Naga Taksaka pun selamat dari upacara tersebut.
Wesampayana menuturkan Mahabharata
Maharaja Janamejaya yang sedih karena upacaranya tidak sempurna, meminta Bagawan Byasa untuk menceritakan kisah leluhurnya, sekaligus kisah Pandawa dan Korawa yang bertempur di Kurukshetra.
Karena Bagawan Byasa sibuk dengan urusan lain, maka Bagawan Wesampayana disuruh mewakilinya.
Beliau adalah murid Bagawan Byasa, penulis kisah besar keluarga Bharata atau Mahābhārata. Sesuai keinginan Raja Janamejaya, Bagawan Wesampayana menuturkan sebuah kisah kepada Sang Raja, yaitu kisah sebelum sang raja lahir, kisah Pandawa dan Korawa, kisah perang di Kurukshetra, dan kisah silsilah leluhur sang raja. Wesampayana mula-mula menuturkan kisah leluhur Maharaja Janamejaya (Sakuntala, Duswanta, Bharata, Yayati, Puru, Kuru), kemudian kisah buyutnya, yaitu Pandawa dan Korawa.
Kisah Prabu Santanu dan keturunannya
Tersebutlah seorang Raja bernama Pratipa, beliau merupakan salah satu keturunan Sang Kuru atau Kuruwangsa, bertahta di Hastinapura.
Raja Pratipa memiliki permaisuri bernama Sunandha dari Kerajaan Siwi, yang melahirkan tiga putera.
Di antara ketiga putera tersebut, Santanu dinobatkan menjadi Raja. Raja Santanu menikahi Dewi Gangga, kemudian berputera 8 orang.
Tujuh puteranya yang lain ditenggelamkan ke sungai oleh istrinya sendiri, sedangkan puteranya yang terakhir berhasil selamat karena perbuatan istrinya dicegah oleh Sang Raja.
Puteranya tersebut bernama Dewabrata, namun di kemudian hari bernama Bhisma. Raja Santanu menikah sekali lagi dengan seorang puteri nelayan bernama Satyawati. Satyawati melahirkan 2 putera, bernama Chitrāngada dan Wicitrawirya.
Chitrāngada mewarisi tahta ayahnya. Namun karena ia gugur di usia muda pada suatu pertempuran melawan seorang Raja Gandharva, pemerintahannya digantikan oleh adiknya, Wicitrawirya.
Wicitrawirya menikahi Ambika dan Ambalika dari Kerajaan Kasi. Tak lama setelah pernikahannya, Wicitrawirya wafat. Untuk memperoleh keturunan, kedua janda Wicitrawirya melangsungkan upacara yang dipimpin oleh Bagawan Byasa. Ambika melahirkan Drestarastra yang buta sedangkan Ambalika melahirkan Pandu yang pucat. Atas anugerah Bagawan Byasa, seorang pelayan yang turut serta dalam upacara tersebut melahirkan seorang putera, bernama Widura yang sedikit pincang.
Drestarastra menikahi Gandari kemudian memiliki seratus putera yang disebut Korawa. Pandu menikahi Kunti dan Madri. Kunti melahirkan Yudistira, Bhima, dan Arjuna. Madri melahirkan Nakula dan Sadewa. Keturunan Pandu tersebut disebut Pandawa.
Kisah masa kecil Pandawa dan Korawa
Pandawa dan Korawa hidup bersama-sama di istana Hastinapura. Bagawan Drona mendidik mereka semasa kanak-kanak, bersama dengan puteranya yang bernama Aswatama.
Selain itu mereka diasuh pula oleh Bhisma dan Bagawan Kripa. Setelah Pandu mangkat, kakaknya yang bernama Drestarastra melanjutkan pemerintahan. Drestarastra melihat talenta para Pandawa dan hendak mencalonkan Yudistira sebagai Raja, namun hal tersebut justru menimbulkan sikap iri hati dalam diri Duryodana, salah satu Korawa.
Tingkah laku Bima yang tanpa sengaja merugikan para Korawa juga sering membuat Duryodana dan adik-adiknya kesal.
Terbakarnya rumah damar
Suatu hari Duryodana berpikir ia bersama adiknya mustahil untuk dapat meneruskan tahta Dinasti Kuru apabila sepupunya masih ada.
Mereka semua (Pandawa lima dan sepupu-sepupunya atau yang dikenal juga sebagai Korawa) tinggal bersama dalam suatu kerajaan yang beribukota di Hastinapura. Akhirnya berbagai niat jahat muncul dalam benaknya untuk menyingkirkan Pandawa lima beserta ibunya.
Drestarastra yang mencintai keponakannya secara berlebihan mengangkat Yudistira sebagai putra mahkota tetapi ia langsung menyesali perbuatannya yang terlalu terburu-buru sehingga ia tidak memikirkan perasaan anaknya.
Hal ini menyebabkan Duryodana iri hati dengan Yudistira, ia mencoba untuk membunuh pandawa lima beserta ibu mereka yang bernama Kunti dengan cara menyuruh mereka berlibur ke tempat yang bernama Ekacakra.
Di sana terdapat bangunan yang megah, yang telah disiapkan Duryodana untuk mereka berlibur dan akan membakar bagunan itu di tengah malam pada saat pandawa lima sedang terlelap tidur.
Segala sesuatunya yang sudah direncanakan Duryodana dibocorkan oleh Widura yang merupakan paman dari Pandawa lima.
Sebelum itu juga Yudistira juga telah diingatkan oleh seorang petapa yang datang ke dirinya bahwa akan ada bencana yang menimpannya oleh karena itu Yudistira pun sudah berwaspada terhadap segala kemungkinan.
Untuk pertama kalinya Yudistira lolos dalam perangkap Duryodana dan melarikan diri ke hutan rimba.
Pandawa mendapatkan Dropadi
Pada suatu hari, Pandawa mengikuti sayembara yang diselenggarakan Raja Drupada di Kerajaan Panchala.
Sayembara tersebut memperebutkan Dewi Dropadi. Banyak ksatria di penjuru Bharatawarsha turut menghadiri.
Para Pandawa menyamar sebagai seorang Brāhmana. Sebuah sasaran diletakkan di tengah-tengah arena, dan siapa yang berhasil memanah sasaran tersebut dengan tepat, maka ialah yang berhasil mendapatkan Dropadi. Satu-persatu ksatria maju, namun tidak ada satu pun yang berhasil memanah dengan tepat. Ketika Karna dari Kerajaan Anga turut serta, ia berhasil memanah sasaran dengan baik.
Namun Dropadi menolak untuk menikahi Karna karena karna anak seorang kusir yang tentu lebih rendah kastanya. Karna kecewa tetapi juga kesal terhadap Dropadi.
Para Pandawa yang diwakili oleh Arjuna turut serta. Arjuna berpakaian seperti Brāhmana. Ketika ia tampil ke muka, ia berhasil memanah sasaran dengan baik, maka Dropadi berhak menjadi miliknya. Namun hal tersebut menimbulkan kericuhan karena seorang Brāhmana tidak pantas untuk mengikuti sayembara yang ditujukan kepada golongan ksatria.
Arjuna dan Bima pun berkelahi dengan para ksatria di sana, sementara Yudistira, Nakula dan Sadewa melarikan Dropadi ke rumah mereka. Sesampainya di rumah, Pandawa berseru, “Ibu, kami datang membawa hasil meminta-minta”. Kunti, ibu para Pandawa, tidak melihat apa yang dibawa oleh anak-anaknya karena sibuk dan berkata, “Bagi dengan rata apa yang kalian peroleh”.
Ketika ia menoleh, alangkah terkejutnya ia karena anak-anaknya tidak saja membawa hasil meminta-minta, namun juga seorang wanita. Kunti yang tidak mau berdusta, membuat anak-anaknya untuk berbagai istri
Arjuna mengasingkan diri ke hutan
Para Pandawa sepakat untuk membagi Dropadi sebagai istri. Mereka juga berjanji tidak akan mengganggu Dropadi ketika sedang bermesraan di kamar bersama dengan salah satu dari Pandawa.
Hukuman dari perbuatan yang menggangu adalah pembuangan selama 12 tahun.
Pada suatu hari, ketika Pandawa sedang memerintah kerajaannya di Indraprastha, seorang pendeta masuk ke istana dan melapor bahwa pertapaannya diganggu oleh para rakshasa.
Arjuna yang merasa memiliki kewajiban untuk menolongnya, bergegas mengambil senjatanya. Namun senjata tersebut disimpan di sebuah kamar dimana Yudistira dan Dropadi sedang menikmati malam mereka.
Demi kewajibannya, Arjuna rela masuk kamar mengambil senjata, tidak mempedulikan Yudistira dan Dropadi yang sedang bermesraan di kamar. Atas perbuatan tersebut, Arjuna dihukum untuk menjalani pembuangan selama 12 tahun. Arjuna menerima hukuman tersebut dengan ikhlas.
Arjuna menghabiskan masa pengasingannya dengan menjelajahi penjuru Bharatawarsha atau daratan India Kuno.
Selama masa pengasingannya, Arjuna memiliki tiga istri lagi. Mereka adalah: Subadra (adik Sri Kresna), Ulupi, dan Citrangada.
Dari hubungannya dengan Subadra anaknya bernama Abimanyu. Dengan Ulupi anaknya bernama Irawan. Dengan Citrangada anaknya bernama Babruwahana.
Kisah lain dalam Kitab Adiparwa
Selain kisah Pandawa dan Korawa, Sang Ugrasrawa juga menuturkan kisah lain kepada Bagawan Sonaka, yang berbentuk cerita bingkai, sehingga alur ceritanya campuran, tidak mengalir ke depan melainkan meloncat-loncat
Bagian penting cerita
Kisah Bagawan Dhomya menguji tiga muridnya
Dikisahkan seorang Brāhmana bernama Bagawan Dhomya, tinggal di Ayodhya. Beliau memiliki 3 murid, bernama: Sang Utamanyu, Sang Arunika, dan Sang Weda.
Ketiganya akan diuji kesetiaannya oleh Sang Guru. Sang Arunika disuruh bersawah. Dengan berhati-hati Sang Arunika merawat biji padi yang ditanamnya. Ketika biji-bijinya sedang tumbuh, datanglah hujan membawa air bah yang kemudian merusak pematang sawahnya.
Ia khawatir kalau air tersebut akan merusak tanamannya, maka ia perbaiki pematangnya untuk menahan air. Berkali-kali usahanya gagal dan pematangnya jebol, maka ia merebahkan dirinya sebagai pengganti pematang yang jebol untuk menahan air. Karena kesetiannya tersebut, Sang Arunika diberikan anugerah kesaktian oleh Bagawan Dhomya.
Sementara itu, Sang Utamanyu disuruh mengembala sapi. Sang Utamanyu tidak diperbolehkan untuk meminta-minta air kalau ia sedang haus saat mengembala sapi, maka ia menjilat susu sapi yang digembalanya. Hal tersebut juga ditentang oleh Sang Guru, maka Sang Utamanyu menghisap getah daun “waduri” untuk menghilangkan dahaga. Hal tersebut mengakibatkan matanya buta.
Ia tidak tahu jalan sehingga terperosok ke dalam sumur kering. Sampai sore, Sang Utamanyu tidak juga kembali pulang, gurunya menjadi cemas. Ketika dicari, didapatinya Sang Utamanyu berada dalam sebuah sumur. Bagawan Dhomya kemudian mendengarkan cerita Sang Utamanyu. Karena kesetiannya terhadap kewajiban, Sang Utamanyu diberikan mantra sakti yang mampu menyembuhkan penyakit oleh Bagawan Dhomya.
Sementara itu, Sang Weda disuruh tinggal di dapur untuk menyediakan hidangan yang terbaik buat gurunya. Sang Weda selalu menuruti perintah gurunya, meski yang buruk sekalipun. Segala perintah gurunya dikerjakan dengan baik. Maka dari itu, Sang Weda dianugerahi segala macam ilmu pengetahuan, mantra Veda, dan kecerdasan.
Kisah Sang Winata dan Sang Kadru
Dikisahkan terdapat seorang Maharsi bernama Bagawan Kasyapa, putera bagawan Marici, cucu Dewa Brahma. Ia diberi oleh Bagawan daksa empat belas puteri. Keempat belas puteri tersebut bernama: Aditi, Diti, Danu, Aristi, Anayusa, Kasa, Surabhi, Winata, Kadru, Ira, Parwa, Mregi, Krodhawasa, Tamra.
Di antara empat belas puteri tersebut, Sang Winata dan Kadru tidak memiliki anak. Mereka berdua kemudian memohon belas kasihan Bagawan Kasyapa. Sang Kadru memohon seribu anak sedangkan Sang Winata hanya memohon dua anak. Kemudian Bagawan Kasyapa memberikan Sang Kadru seribu butir telur sedangkan Sang Winata diberikan dua butir telur. Kedua puteri tersebut kemudian merawat telur masing-masing dengan baik.
Singkat cerita, seribu butir telur milik Sang Kadru menetas, dan lahirlah para Naga. Yang terkemuka adalah Sang Anantabhoga, Sang Wasuki, dan Sang Taksaka. Sementara telur Sang Kadru sudah menetas semuanya, telur Sang Winata belum menetas. Karena tidak sabar, maka telurnya dipecahkan. Ketika pecah, terlihatlah seorang anak yang baru setengah jadi, bagian tubuh ke atas lengkap sedangkan dari pinggang ke bawah tidak ada.
Sang anak marah karena ditetaskan sebelum waktunya. Anak tersebut kemudian mengutuk ibunya supaya diperbudak oleh Sang Kadru berlebih-lebihan. Kelak, saudaranya yang akan menetas akan menyelamatkan ibunya dari perbudakan. Anak tersebut kemudian diberi nama Sang Aruna, karena tidak memiliki kaki dan paha. Sang Aruna menjadi sais (kuir) kereta Dewa Surya.
Kisah pemutaran Mandaragiri
Dikisahkan, pada zaman dahulu kala, para Dewa, detya, dan rakshasa mengadakan rapat untuk mencari tirta amerta (air suci).
Sang Hyang Nārāyana (Wisnu) mengatakan bahwa tirta tersebut berada di dasar laut Ksira. Cara mendapatkannya adalah dengan mengaduk lautan tersebut. Para Dewa, detya, dan rakshasa kemudian menuju laut Ksira. Untuk mengaduknya, Naga Wasuki mencabut gunung Mandara (Mandaragiri) di pulau Sangka sebagai tongkat pengaduk. Gunung tersebut dibawa ke tengah lautan.
Seekor kura-kura (Kurma) besar menjadi penyangga/dasar gunung tersebut. Sang Naga melilit gunung tersebut, kemudian para Dewa memegang ekornya, sedangkan rakshasa dan detya memegang kepalanya. Dewa Indra berdiri di puncaknya agar gunung tidak melambung ke atas.
Beberapa lama setelah gunung diputar, keluarlah Ardhachandra, Dewi Sri, Dewi Lakshmi, kuda Uccaihsrawa, dan Kastubhamani. Semuanya berada di pihak para Dewa. kemudian, munculah Dhanwantari membawa kendi tempat tirta amerta.
Para detya ingin agar tirta tersebut menjadi milik mereka sebab sejak awal tidak pernah dapat bagian. Tirta amerta pun menjadi milik mereka. Para Dewa memikirkan cara untuk merebut tirta tersebut. akhirnya Dewa Wisnu mengubah wujudnya menjadi seorang wanita cantik, kemudian mendekati para rakshasa dan detya.
Para rakshasa-daitya yang melihatnya menjadi terpesona, dan menyerahkan kendi berisi tirta tersebut. Wanita cantik itu kemudian pergi sambil membawa tirta amerta dan berubah kembali menjadi Dewa Wisnu.
Para detya yang melihatnya menjadi marah. Tak lama kemudian terjadilah pertempuran antara para Dewa dan rakshasa-detya. Kemudian Dewa Wisnu teringat dengan senjata chakra-nya.
Senjata chakra kemudian turun dari langit dan menyambar-nyambar para rakshasa-detya. Banyak dari mereka yang lari terbirit-birit karena luka-luka. Akhirnya ada yang menceburkan diri ke laut dan masuk ke dalam tanah. Para Dewa akhirnya berhasil membawa tirta amerta ke surga.
Kisah Sang Garuda dan para Naga
Dikisahkan, pada suatu hari Sang Winata dan Sang Kadru, istri Bagawan Kasyapa, mendengar kabar tentang keberadaan seekor kuda bernama Uccaihsrawa, hasil pemutaran Gunung Mandara atau Mandaragiri.
Sang Winata mengatakan bahwa warna kuda tersebut putih semua, sedangkan Sang Kadru mengatakan bahwa tubuh kuda tersebut berwarna putih sedangkan ekornya saja yang hitam. Karena berbeda pendapat, mereka berdua bertaruh, siapa yang tebakannya salah akan menjadi budak. Mereka berencana untuk menyaksikan warna kuda itu besok sekaligus menentukan siapa yang salah.
Sang Kadru menceritakan masalah taruhan tersebut kepada anak-anaknya. Anak-anaknya mengatakan bahwa ibunya sudah tentu akan kalah, karena warna kuda tersebut putih belaka.
Sang Kadru pun cemas karena merasa kalah taruhan, maka dari itu ia mengutus anak-anaknya untuk memercikkan bisa ke ekor kuda tersebut supaya warnanya menjadi hitam. Anak-anaknya menolak untuk melaksanakannya karena merasa perbuatan tersebut tidak pantas.
Sang Kadru yang marah mengutuk anak-anaknya supaya mati ditelan api pada saat upacara pengorbanan ular yang diselenggarakan Raja Janamejaya. Mau tak mau, akhirnya anak-anaknya melaksanakan perintah ibunya. Mereka pun memercikkan bisa ular ke ekor kuda Uccaihsrawa sehingga warnanya yang putih kemudian menjadi hitam. Akhirnya Sang Kadru memenangkan taruhan sehingga Sang Winata harus menjadi budaknya.
Sementara itu, telur yang diasuh Sang Winata menetas lalu munculah burung gagah perkasa yang kemudian diberi nama Garuda.
Sang Garuda mencari-cari kemana ibunya. Pada akhirnya ia mendapati ibunya diperbudak Sang Kadru untuk mengasuh para naga. Sang Garuda membantu ibunya mengasuh para naga, namun para naga sangat lincah berlari kesana-kemari.
Sang Garuda kepayahan, lalu menanyakan para naga, apa yang bisa dilakukan untuk menebus perbudakan ibunya. Para naga menjawab, kalau Sang Garuda mampu membawa tirta amerta ke hadapan para naga, maka ibunya akan dibebaskan. Sang Garuda menyanggupi permohonan tersebut.
Singkat cerita, Sang Garuda berhasil menghadapi berbagai rintangan dan sampai di tempat tirta amerta.
Pada saat Sang Garuda ingin mengambil tirta tersebut, Dewa Wisnu datang dan bersabda, “Sang Garuda, jika engkau ingin mendapatkan tirta tersebut, mintalah kepadaku, nanti pasti aku berikan”.
Sang Garuda menjawab, “Tidak selayaknya jika saya meminta kepada anda sebab anda lebih sakti daripada saya. Karena tirta amerta anda tidak mengenal tua dan mati, sedangkan saya tidak. Untuk itu, berikanlah kepada saya anugerah yang lain”. Dewa Wisnu berkata, “Jika demikian, aku memintamu untuk menjadi kendaraanku, sekaligus menjadi lambang panji-panjiku”.
Sang Garuda setuju dengan permohonan tersebut sehingga akhirnya menjadi kendaraan Dewa Wisnu. Kemudian Sang Garuda terbang membawa tirta, namun Dewa Indra tidak setuju kalau tirta tersebut diberikan kepada para naga. Sang Garuda mengatakan bahwa tirta tersebut akan diberikan kalau para naga sudah selesai mandi.
Sampailah Sang Garuda ke tempat tinggal para naga. Para naga girang ingin segera meminum amerta, namun Sang Garuda mengatakan bahwa tirta tersebut boleh diminum jika para naga mandi terlebih dahulu.
Para naga pun mandi sesuai dengan syarat yang diberikan, tetapi setelah selesai mandi, tirta amerta sudah tidak ada lagi karena dibawa kabur oleh Dewa Indra. Para naga kecewa dan hanya mendapati beberapa percikan tirta amerta tertinggal pada daun ilalang.
Para naga pun menjilati daun tersebut sehingga lidahnya tersayat dan terbelah. Daun ilalang pun menjadi suci karena mendapat tirta amerta. Sementara itu Sang Garuda terbang ke surga karena merasa sudah menebus perbudakan ibunya.
Bahasa dan sejarah
Sebagaimana kisah induknya, Mahabharata, kitab Adiparwa ini semula dituliskan dalam bahasa Sansekerta dan dianggap sebagai cerita suci bagi pemeluk agama Hindu.
Tidak tercatat kapan persisnya kisah ini masuk ke Indonesia. Akan tetapi, sebagaimana disebutkan dalam bagian pendahuluan Adiparwa versi Jawa Kuna, kitab ini telah disalin ke dalam bahasa Jawa kuna atau juga dikenal sebagai bahasa Kawi pada masa pemerintahan Raja Dharmawangsa Teguh (kerajaan Kediri, tahun 991-1016) (Zoetmulder, 1994).
Pengaruh dalam budaya
Kitab Adiparwa yang diterjemahkan dari Bahasa Sansekerta ke Bahasa Jawa Kuno atau Bahasa Kawi, banyak digubah menjadi cerita pewayangan.
Dalam kitab Adiparwa yang diterjemahkan dari Bahasa Sansekerta mungkin terdapat perbedaan dengan lakon pewayangannya, yang kadang-kadang besar sekali, sehingga memberi kesan bahwa segala sesuatunya terjadi di Jawa.
Hal ini disebabkan oleh kecerdasan para pujangga masa lampau yang mampu memindah alam pikiran para pembaca atau pendengarnya dari suasana India menjadi Jawa Asli.
Jika Hastinapura sebenarnya terdapat di India, maka nama-nama seperti Jonggringsalaka, Pringgandani, Indrakila, Gua Kiskenda, sampai Gunung Mahameru dibawa ke tanah Jawa].
Begitu pula dengan tokoh Pancawala (Pancakumara). Jika dalam versi aslinya mereka terdiri dari lima orang, maka dalam pewayangan mereka dikatakan hanya satu orang saja.
Menurut Mulyono dalam artikelnya berjudul “Dewi Dropadi:Antara kitab Mahabharata dan Pewayangan Jawa”, ia menyatakan bahwa terjadinya perbedaan cerita tentang Pancawala antara kitab Mahabharata dengan cerita dalam pewayangan Jawa karena pengaruh perkembangan agama Islam di tanah Jawa.
Hal serupa juga terjadi pada kisah Dewi Dropadi dalam kitab Adiparwa. Jika dalam Adiparwa ia bersuami lima orang, maka dalam pewayangan Jawa (yang sudah terkena pengaruh Islam) Dropadi hanya bersuami satu orang saja.
Menurut hukum Islam, seorang wanita tidak boleh memiliki suami lebih dari satu. Maka dari itu, cerita Dewi Dropadi dalam kitab Mahabharata versi asli yang bercorak Hindu menyalahi hukum Islam.
Untuk mengantisipasinya, para pujangga ataupun seniman Islam mengubah cerita tersebut agar sesuai dengan ajaran Islam.
Pancawala yang sebenarnya merupakan lima putera Pandawa pun diubah menjadi seorang tokoh yang merupakan putera Yudistira saja.
Adiparwa adalah buku pertama atau bagian (parwa) pertama dari kisah Mahabharata.
Pada dasarnya bagian ini berisi ringkasan keseluruhan cerita Mahabharata, kisah-kisah mengenai latar belakang ceritera, nenek moyang keluarga Bharata, hingga masa muda Korawa dan Pandawa).
Kisahnya dituturkan dalam sebuah cerita bingkai dan alur ceritanya meloncat-loncat sehingga tidak mengalir dengan baik.
Penuturan kisah keluarga besar Bharata tersebut dimulai dengan percakapan antara Bagawan Ugrasrawa yang mendatangi Bagawan Sonaka di hutan Nemisa.
Adiparwa dituturkan seperti sebuah narasi. Penuturan isi kitab tersebut bermula ketika Sang Ugrasrawa mendatangi Bagawan Sonaka yang sedang melakukan upacara di hutan Nemisa.
Sang Ugrasrawa menceritakan kepada Bagawan Sonaka tentang keberadaan sebuah kumpulan kitab yang disebut Astadasaparwa, pokok ceritanya adalah kisah perselisihan Pandawa dan Korawa, keturunan Sang Bharata.
Dari penuturan Sang Ugrasrawa, mengalirlah kisah besar keluarga Bharata tersebut (Mahābhārata).
Bagian-bagian kitab Adiparwa itu di antaranya: (di anyam dalam cerita bingkai).
* Cerita Begawan Ugrasrawa (Ugraçrawā) mengenai terjadinya pemandian Samantapañcaka dan tentang dituturkannya kisah Mahabharata oleh Begawan Waisampayana (Waiçampāyana).
Kisah panjang tersebut dituturkan atas permintaan maharaja Janamejaya, raja Hastinapura, anak mendiang prabu Parikesit (Parīkşit) dan cicit Pandawa. Begawan Waisampayana bermaksud menghibur sang maharaja atas kegagalan kurban ular (sarpayajña) yang dilangsungkan untuk menghukum naga Taksaka, yang telah membunuh raja Pariksit.
Selain itu sang Ugrasrawa juga menjelaskan ringkasan delapan belas parwa yang menyusun Mahabharata; jumlah bab, seloka (çloka) dan isi dari masing-masing parwa.
* Cerita dikutuknya maharaja Janamejaya oleh sang Sarama, yang berakibat kegagalan kurban yang dilangsungkan oleh sang maharaja.
* Cerita Begawan Dhomya beserta ketiga orang muridnya; sang Arunika, sang Utamanyu dan sang Weda. Dilanjutkan dengan ceritera Posya, mengenai kisah asal mula sang Uttangka murid sang Weda bermusuhan dengan naga Taksaka. Oleh karenanya sang Uttangka lalu membujuk Maharaja Janamejaya untuk melaksanakan sarpayajña atau upacara pengorbanan ular.
* Cerita asal mula Hyang Agni (dewa api) memakan segala sesuatu, apa saja dapat dibakarnya, dengan tidak memilah-milah. Serta nasihat dewa kepada sang Ruru untuk mengikuti jejak sang Astika, yang melindungi para ular dan naga dari kurban maharaja Janamejaya.
* Ceritera Astika; mulai dari kisah sang Jaratkāru mengawini sang Nāgini (naga perempuan) dan beranakkan sang Astika, kisah lahirnya naga dan garuda, dikutuknya para naga oleh ibunya agar dimakan api pada kurban ular, permusuhan naga dengan garuda, hingga upaya para naga menghindarkan diri dari kurban ular.
Di dalam ceritera ini terselip pula kisah mengenai upaya para dewa untuk mendapatkan tirta amrta atau air kehidupan, serta asal-usul gerhana matahari dan bulan.
* Cerita asal-usul Raja Parikesit dikutuk Begawan Çrunggī dan karenanya mati digigit naga Taksaka.
* Cerita pelaksanaan kurban ular oleh maharaja Janamejaya, dan bagaimana Begawan Astika mengurungkan kurban ular ini.
* Cerita asal-usul dan sejarah nenek moyang Kurawa dan Pandawa. Kisah Sakuntala (Çakuntala) yang melahirkan Bharata, yang kemudian menurunkan keluarga Bharata. Sampai kepada sang Kuru, yang membuat tegal Kuruksetra; sang Hasti, yang mendirikan Hastinapura; maharaja Santanu (Çantanu) yang berputra Bhîsma Dewabrata, lahirnya Begawan Byasa (Byâsa atau Abiyasa) –sang pengarang kisah ini– sampai kepada lahirnya Dhrestarastra (Dhŗţarāstra) –ayah para Kurawa, Pandu (Pãņdu) –ayah para Pandawa, dan sang Widura.
* Cerita kelahiran dan masa kecil Kurawa dan Pandawa. Permusuhan Kurawa dan Pandawa kecil, kisah dang hyang Drona, hingga sang Karna menjadi adipati di Awangga.
* Cerita masa muda Pandawa. Terbakarnya rumah damar, kisah sang Bima (Bhîma) mengalahkan raksasa Hidimba dan mengawini adiknya Hidimbî (Arimbi) serta kelahiran Gatutkaca, kemenangan Pandawa dalam sayembara Drupadi, dibaginya negara Hâstina menjadi dua untuk Kurawa dan Pandawa, pengasingan sang Arjuna selama 12 tahun dalam hutan, lahirnya Abimanyu (Abhimanyu) ayah sang Pariksit, hingga terbakarnya hutan Kandhawa tempat naga Taksaka bersembunyi.
Bahagian yg terpenting :
Mangkatnya Raja Parikesit.
Dikisahkan, ada seorang Raja bernama Parikesit, putera Sang Abimanyu, yang bertahta di Hastinapura. Beliau merupakan keturunan Sang Kuru, maka disebut juga Kuruwangsa.
Pada suatu hari, beliau berburu kijang ke tengah hutan. Kijang diikutinya sampai kehilangan jejak.
Di hutan beliau berpapasan dengan seorang pendeta bernama Bagawan Samiti. Sang Raja menanyakan kemana kijang buruannya pergi, namun sang pendeta membisu (bertapa dengan bisu).
Hal tersebut membuat Raja Parikesit marah. Beliau mengambil bangkai ular, kemudian mengalungkannya di leher sang pendeta.
Putera sang pendeta yang bernama Srenggi, mengetahui hal tersebut dari penjelasan Sang Kresa, kemudian ia menjadi marah.
Ia mengutuk Sang Raja, agar beliau wafat karena digigit ular, tujuh hari setelah kutukan diucapkan.
Setelah Sang Raja menerima kutukan tersebut, maka ia berlindung di sebuah menara yang dijaga dan diawasi dengan ketat oleh prajurit dan para patihnya.
Di sekeliling menara juga telah siap para tabib yang ahli menangani bisa ular.
Pada hari ketujuh, yaitu hari yang diramalkan menjadi hari kematiannya, seekor naga yang bernama Taksaka menyamar menjadi ulat pada jambu yang dihaturkan kepada Sang Raja.
Akhirnya Sang Raja mangkat setelah digigit Naga Taksaka yang menyamar menjadi ulat dalam jambu Raja Janamejaya mengadakan upacara korban ular Setelah Maharaja Parikesit mangkat, puteranya yang bernama Janamejaya menggantikan tahtanya. Pada waktu itu beliau masih kanak-kanak, namun sudah memiliki kesaktian, kepandaian, dan wajah yang tampan.
Raja Janamejaya dinikahkan dengan puteri dari Kerajaan Kasi, bernama Bhamustiman. Raja Janamejaya memerintah dengan adil dan bijaksana sehingga dunia tenteram, setiap musuh pasti dapat ditaklukkannya. Ketika Sang Raja berhasil menaklukkan desa Taksila, Sang Uttangka datang menghadap Sang Raja dan mengatakan niatnya yang benci terhadap Naga Taksaka, sekaligus menceritakan bahwa penyebab kematian ayahnya adalah karena ulah Naga Taksaka.
Sang Raja meneliti kebenaran cerita tersebut dan para patihnya membenarkan cerita Sang Uttangka.
Sang Raja dianjurkan untuk mengadakan upacara pengorbanan ular untuk membalas Naga Taksaka.
Singkat cerita, beliau menyiapakan segala kebutuhan upacara dan mengundang para pendeta dan ahli mantra untuk membantu proses upacara.
Melihat Sang Raja mengadakan upacara tersebut, Naga Taksaka menjadi gelisah. Kemudian ia mengutus Sang Astika untuk menggagalkan upacara Sang Raja. Sang Astika menerima tugas tersebut lalu pergi ke lokasi upacara.
Sang Astika menyembah-nyembah Sang Raja dan memohon agar Sang Raja membatalkan upacaranya.
Sang Raja yang memiliki rasa belas kasihan terhadap Sang Astika, membatalkan upacaranya. Akhirnya,
Sang Astika mohon diri untuk kembali ke Nagaloka. Naga Taksaka pun selamat dari upacara tersebut.
Wesampayana menuturkan Mahabharata
Maharaja Janamejaya yang sedih karena upacaranya tidak sempurna, meminta Bagawan Byasa untuk menceritakan kisah leluhurnya, sekaligus kisah Pandawa dan Korawa yang bertempur di Kurukshetra.
Karena Bagawan Byasa sibuk dengan urusan lain, maka Bagawan Wesampayana disuruh mewakilinya.
Beliau adalah murid Bagawan Byasa, penulis kisah besar keluarga Bharata atau Mahābhārata. Sesuai keinginan Raja Janamejaya, Bagawan Wesampayana menuturkan sebuah kisah kepada Sang Raja, yaitu kisah sebelum sang raja lahir, kisah Pandawa dan Korawa, kisah perang di Kurukshetra, dan kisah silsilah leluhur sang raja. Wesampayana mula-mula menuturkan kisah leluhur Maharaja Janamejaya (Sakuntala, Duswanta, Bharata, Yayati, Puru, Kuru), kemudian kisah buyutnya, yaitu Pandawa dan Korawa.
Kisah Prabu Santanu dan keturunannya
Tersebutlah seorang Raja bernama Pratipa, beliau merupakan salah satu keturunan Sang Kuru atau Kuruwangsa, bertahta di Hastinapura.
Raja Pratipa memiliki permaisuri bernama Sunandha dari Kerajaan Siwi, yang melahirkan tiga putera.
Di antara ketiga putera tersebut, Santanu dinobatkan menjadi Raja. Raja Santanu menikahi Dewi Gangga, kemudian berputera 8 orang.
Tujuh puteranya yang lain ditenggelamkan ke sungai oleh istrinya sendiri, sedangkan puteranya yang terakhir berhasil selamat karena perbuatan istrinya dicegah oleh Sang Raja.
Puteranya tersebut bernama Dewabrata, namun di kemudian hari bernama Bhisma. Raja Santanu menikah sekali lagi dengan seorang puteri nelayan bernama Satyawati. Satyawati melahirkan 2 putera, bernama Chitrāngada dan Wicitrawirya.
Chitrāngada mewarisi tahta ayahnya. Namun karena ia gugur di usia muda pada suatu pertempuran melawan seorang Raja Gandharva, pemerintahannya digantikan oleh adiknya, Wicitrawirya.
Wicitrawirya menikahi Ambika dan Ambalika dari Kerajaan Kasi. Tak lama setelah pernikahannya, Wicitrawirya wafat. Untuk memperoleh keturunan, kedua janda Wicitrawirya melangsungkan upacara yang dipimpin oleh Bagawan Byasa. Ambika melahirkan Drestarastra yang buta sedangkan Ambalika melahirkan Pandu yang pucat. Atas anugerah Bagawan Byasa, seorang pelayan yang turut serta dalam upacara tersebut melahirkan seorang putera, bernama Widura yang sedikit pincang.
Drestarastra menikahi Gandari kemudian memiliki seratus putera yang disebut Korawa. Pandu menikahi Kunti dan Madri. Kunti melahirkan Yudistira, Bhima, dan Arjuna. Madri melahirkan Nakula dan Sadewa. Keturunan Pandu tersebut disebut Pandawa.
Kisah masa kecil Pandawa dan Korawa
Pandawa dan Korawa hidup bersama-sama di istana Hastinapura. Bagawan Drona mendidik mereka semasa kanak-kanak, bersama dengan puteranya yang bernama Aswatama.
Selain itu mereka diasuh pula oleh Bhisma dan Bagawan Kripa. Setelah Pandu mangkat, kakaknya yang bernama Drestarastra melanjutkan pemerintahan. Drestarastra melihat talenta para Pandawa dan hendak mencalonkan Yudistira sebagai Raja, namun hal tersebut justru menimbulkan sikap iri hati dalam diri Duryodana, salah satu Korawa.
Tingkah laku Bima yang tanpa sengaja merugikan para Korawa juga sering membuat Duryodana dan adik-adiknya kesal.
Terbakarnya rumah damar
Suatu hari Duryodana berpikir ia bersama adiknya mustahil untuk dapat meneruskan tahta Dinasti Kuru apabila sepupunya masih ada.
Mereka semua (Pandawa lima dan sepupu-sepupunya atau yang dikenal juga sebagai Korawa) tinggal bersama dalam suatu kerajaan yang beribukota di Hastinapura. Akhirnya berbagai niat jahat muncul dalam benaknya untuk menyingkirkan Pandawa lima beserta ibunya.
Drestarastra yang mencintai keponakannya secara berlebihan mengangkat Yudistira sebagai putra mahkota tetapi ia langsung menyesali perbuatannya yang terlalu terburu-buru sehingga ia tidak memikirkan perasaan anaknya.
Hal ini menyebabkan Duryodana iri hati dengan Yudistira, ia mencoba untuk membunuh pandawa lima beserta ibu mereka yang bernama Kunti dengan cara menyuruh mereka berlibur ke tempat yang bernama Ekacakra.
Di sana terdapat bangunan yang megah, yang telah disiapkan Duryodana untuk mereka berlibur dan akan membakar bagunan itu di tengah malam pada saat pandawa lima sedang terlelap tidur.
Segala sesuatunya yang sudah direncanakan Duryodana dibocorkan oleh Widura yang merupakan paman dari Pandawa lima.
Sebelum itu juga Yudistira juga telah diingatkan oleh seorang petapa yang datang ke dirinya bahwa akan ada bencana yang menimpannya oleh karena itu Yudistira pun sudah berwaspada terhadap segala kemungkinan.
Untuk pertama kalinya Yudistira lolos dalam perangkap Duryodana dan melarikan diri ke hutan rimba.
Pandawa mendapatkan Dropadi
Pada suatu hari, Pandawa mengikuti sayembara yang diselenggarakan Raja Drupada di Kerajaan Panchala.
Sayembara tersebut memperebutkan Dewi Dropadi. Banyak ksatria di penjuru Bharatawarsha turut menghadiri.
Para Pandawa menyamar sebagai seorang Brāhmana. Sebuah sasaran diletakkan di tengah-tengah arena, dan siapa yang berhasil memanah sasaran tersebut dengan tepat, maka ialah yang berhasil mendapatkan Dropadi. Satu-persatu ksatria maju, namun tidak ada satu pun yang berhasil memanah dengan tepat. Ketika Karna dari Kerajaan Anga turut serta, ia berhasil memanah sasaran dengan baik.
Namun Dropadi menolak untuk menikahi Karna karena karna anak seorang kusir yang tentu lebih rendah kastanya. Karna kecewa tetapi juga kesal terhadap Dropadi.
Para Pandawa yang diwakili oleh Arjuna turut serta. Arjuna berpakaian seperti Brāhmana. Ketika ia tampil ke muka, ia berhasil memanah sasaran dengan baik, maka Dropadi berhak menjadi miliknya. Namun hal tersebut menimbulkan kericuhan karena seorang Brāhmana tidak pantas untuk mengikuti sayembara yang ditujukan kepada golongan ksatria.
Arjuna dan Bima pun berkelahi dengan para ksatria di sana, sementara Yudistira, Nakula dan Sadewa melarikan Dropadi ke rumah mereka. Sesampainya di rumah, Pandawa berseru, “Ibu, kami datang membawa hasil meminta-minta”. Kunti, ibu para Pandawa, tidak melihat apa yang dibawa oleh anak-anaknya karena sibuk dan berkata, “Bagi dengan rata apa yang kalian peroleh”.
Ketika ia menoleh, alangkah terkejutnya ia karena anak-anaknya tidak saja membawa hasil meminta-minta, namun juga seorang wanita. Kunti yang tidak mau berdusta, membuat anak-anaknya untuk berbagai istri
Arjuna mengasingkan diri ke hutan
Para Pandawa sepakat untuk membagi Dropadi sebagai istri. Mereka juga berjanji tidak akan mengganggu Dropadi ketika sedang bermesraan di kamar bersama dengan salah satu dari Pandawa.
Hukuman dari perbuatan yang menggangu adalah pembuangan selama 12 tahun.
Pada suatu hari, ketika Pandawa sedang memerintah kerajaannya di Indraprastha, seorang pendeta masuk ke istana dan melapor bahwa pertapaannya diganggu oleh para rakshasa.
Arjuna yang merasa memiliki kewajiban untuk menolongnya, bergegas mengambil senjatanya. Namun senjata tersebut disimpan di sebuah kamar dimana Yudistira dan Dropadi sedang menikmati malam mereka.
Demi kewajibannya, Arjuna rela masuk kamar mengambil senjata, tidak mempedulikan Yudistira dan Dropadi yang sedang bermesraan di kamar. Atas perbuatan tersebut, Arjuna dihukum untuk menjalani pembuangan selama 12 tahun. Arjuna menerima hukuman tersebut dengan ikhlas.
Arjuna menghabiskan masa pengasingannya dengan menjelajahi penjuru Bharatawarsha atau daratan India Kuno.
Selama masa pengasingannya, Arjuna memiliki tiga istri lagi. Mereka adalah: Subadra (adik Sri Kresna), Ulupi, dan Citrangada.
Dari hubungannya dengan Subadra anaknya bernama Abimanyu. Dengan Ulupi anaknya bernama Irawan. Dengan Citrangada anaknya bernama Babruwahana.
Kisah lain dalam Kitab Adiparwa
Selain kisah Pandawa dan Korawa, Sang Ugrasrawa juga menuturkan kisah lain kepada Bagawan Sonaka, yang berbentuk cerita bingkai, sehingga alur ceritanya campuran, tidak mengalir ke depan melainkan meloncat-loncat
Bagian penting cerita
Kisah Bagawan Dhomya menguji tiga muridnya
Dikisahkan seorang Brāhmana bernama Bagawan Dhomya, tinggal di Ayodhya. Beliau memiliki 3 murid, bernama: Sang Utamanyu, Sang Arunika, dan Sang Weda.
Ketiganya akan diuji kesetiaannya oleh Sang Guru. Sang Arunika disuruh bersawah. Dengan berhati-hati Sang Arunika merawat biji padi yang ditanamnya. Ketika biji-bijinya sedang tumbuh, datanglah hujan membawa air bah yang kemudian merusak pematang sawahnya.
Ia khawatir kalau air tersebut akan merusak tanamannya, maka ia perbaiki pematangnya untuk menahan air. Berkali-kali usahanya gagal dan pematangnya jebol, maka ia merebahkan dirinya sebagai pengganti pematang yang jebol untuk menahan air. Karena kesetiannya tersebut, Sang Arunika diberikan anugerah kesaktian oleh Bagawan Dhomya.
Sementara itu, Sang Utamanyu disuruh mengembala sapi. Sang Utamanyu tidak diperbolehkan untuk meminta-minta air kalau ia sedang haus saat mengembala sapi, maka ia menjilat susu sapi yang digembalanya. Hal tersebut juga ditentang oleh Sang Guru, maka Sang Utamanyu menghisap getah daun “waduri” untuk menghilangkan dahaga. Hal tersebut mengakibatkan matanya buta.
Ia tidak tahu jalan sehingga terperosok ke dalam sumur kering. Sampai sore, Sang Utamanyu tidak juga kembali pulang, gurunya menjadi cemas. Ketika dicari, didapatinya Sang Utamanyu berada dalam sebuah sumur. Bagawan Dhomya kemudian mendengarkan cerita Sang Utamanyu. Karena kesetiannya terhadap kewajiban, Sang Utamanyu diberikan mantra sakti yang mampu menyembuhkan penyakit oleh Bagawan Dhomya.
Sementara itu, Sang Weda disuruh tinggal di dapur untuk menyediakan hidangan yang terbaik buat gurunya. Sang Weda selalu menuruti perintah gurunya, meski yang buruk sekalipun. Segala perintah gurunya dikerjakan dengan baik. Maka dari itu, Sang Weda dianugerahi segala macam ilmu pengetahuan, mantra Veda, dan kecerdasan.
Kisah Sang Winata dan Sang Kadru
Dikisahkan terdapat seorang Maharsi bernama Bagawan Kasyapa, putera bagawan Marici, cucu Dewa Brahma. Ia diberi oleh Bagawan daksa empat belas puteri. Keempat belas puteri tersebut bernama: Aditi, Diti, Danu, Aristi, Anayusa, Kasa, Surabhi, Winata, Kadru, Ira, Parwa, Mregi, Krodhawasa, Tamra.
Di antara empat belas puteri tersebut, Sang Winata dan Kadru tidak memiliki anak. Mereka berdua kemudian memohon belas kasihan Bagawan Kasyapa. Sang Kadru memohon seribu anak sedangkan Sang Winata hanya memohon dua anak. Kemudian Bagawan Kasyapa memberikan Sang Kadru seribu butir telur sedangkan Sang Winata diberikan dua butir telur. Kedua puteri tersebut kemudian merawat telur masing-masing dengan baik.
Singkat cerita, seribu butir telur milik Sang Kadru menetas, dan lahirlah para Naga. Yang terkemuka adalah Sang Anantabhoga, Sang Wasuki, dan Sang Taksaka. Sementara telur Sang Kadru sudah menetas semuanya, telur Sang Winata belum menetas. Karena tidak sabar, maka telurnya dipecahkan. Ketika pecah, terlihatlah seorang anak yang baru setengah jadi, bagian tubuh ke atas lengkap sedangkan dari pinggang ke bawah tidak ada.
Sang anak marah karena ditetaskan sebelum waktunya. Anak tersebut kemudian mengutuk ibunya supaya diperbudak oleh Sang Kadru berlebih-lebihan. Kelak, saudaranya yang akan menetas akan menyelamatkan ibunya dari perbudakan. Anak tersebut kemudian diberi nama Sang Aruna, karena tidak memiliki kaki dan paha. Sang Aruna menjadi sais (kuir) kereta Dewa Surya.
Kisah pemutaran Mandaragiri
Dikisahkan, pada zaman dahulu kala, para Dewa, detya, dan rakshasa mengadakan rapat untuk mencari tirta amerta (air suci).
Sang Hyang Nārāyana (Wisnu) mengatakan bahwa tirta tersebut berada di dasar laut Ksira. Cara mendapatkannya adalah dengan mengaduk lautan tersebut. Para Dewa, detya, dan rakshasa kemudian menuju laut Ksira. Untuk mengaduknya, Naga Wasuki mencabut gunung Mandara (Mandaragiri) di pulau Sangka sebagai tongkat pengaduk. Gunung tersebut dibawa ke tengah lautan.
Seekor kura-kura (Kurma) besar menjadi penyangga/dasar gunung tersebut. Sang Naga melilit gunung tersebut, kemudian para Dewa memegang ekornya, sedangkan rakshasa dan detya memegang kepalanya. Dewa Indra berdiri di puncaknya agar gunung tidak melambung ke atas.
Beberapa lama setelah gunung diputar, keluarlah Ardhachandra, Dewi Sri, Dewi Lakshmi, kuda Uccaihsrawa, dan Kastubhamani. Semuanya berada di pihak para Dewa. kemudian, munculah Dhanwantari membawa kendi tempat tirta amerta.
Para detya ingin agar tirta tersebut menjadi milik mereka sebab sejak awal tidak pernah dapat bagian. Tirta amerta pun menjadi milik mereka. Para Dewa memikirkan cara untuk merebut tirta tersebut. akhirnya Dewa Wisnu mengubah wujudnya menjadi seorang wanita cantik, kemudian mendekati para rakshasa dan detya.
Para rakshasa-daitya yang melihatnya menjadi terpesona, dan menyerahkan kendi berisi tirta tersebut. Wanita cantik itu kemudian pergi sambil membawa tirta amerta dan berubah kembali menjadi Dewa Wisnu.
Para detya yang melihatnya menjadi marah. Tak lama kemudian terjadilah pertempuran antara para Dewa dan rakshasa-detya. Kemudian Dewa Wisnu teringat dengan senjata chakra-nya.
Senjata chakra kemudian turun dari langit dan menyambar-nyambar para rakshasa-detya. Banyak dari mereka yang lari terbirit-birit karena luka-luka. Akhirnya ada yang menceburkan diri ke laut dan masuk ke dalam tanah. Para Dewa akhirnya berhasil membawa tirta amerta ke surga.
Kisah Sang Garuda dan para Naga
Dikisahkan, pada suatu hari Sang Winata dan Sang Kadru, istri Bagawan Kasyapa, mendengar kabar tentang keberadaan seekor kuda bernama Uccaihsrawa, hasil pemutaran Gunung Mandara atau Mandaragiri.
Sang Winata mengatakan bahwa warna kuda tersebut putih semua, sedangkan Sang Kadru mengatakan bahwa tubuh kuda tersebut berwarna putih sedangkan ekornya saja yang hitam. Karena berbeda pendapat, mereka berdua bertaruh, siapa yang tebakannya salah akan menjadi budak. Mereka berencana untuk menyaksikan warna kuda itu besok sekaligus menentukan siapa yang salah.
Sang Kadru menceritakan masalah taruhan tersebut kepada anak-anaknya. Anak-anaknya mengatakan bahwa ibunya sudah tentu akan kalah, karena warna kuda tersebut putih belaka.
Sang Kadru pun cemas karena merasa kalah taruhan, maka dari itu ia mengutus anak-anaknya untuk memercikkan bisa ke ekor kuda tersebut supaya warnanya menjadi hitam. Anak-anaknya menolak untuk melaksanakannya karena merasa perbuatan tersebut tidak pantas.
Sang Kadru yang marah mengutuk anak-anaknya supaya mati ditelan api pada saat upacara pengorbanan ular yang diselenggarakan Raja Janamejaya. Mau tak mau, akhirnya anak-anaknya melaksanakan perintah ibunya. Mereka pun memercikkan bisa ular ke ekor kuda Uccaihsrawa sehingga warnanya yang putih kemudian menjadi hitam. Akhirnya Sang Kadru memenangkan taruhan sehingga Sang Winata harus menjadi budaknya.
Sementara itu, telur yang diasuh Sang Winata menetas lalu munculah burung gagah perkasa yang kemudian diberi nama Garuda.
Sang Garuda mencari-cari kemana ibunya. Pada akhirnya ia mendapati ibunya diperbudak Sang Kadru untuk mengasuh para naga. Sang Garuda membantu ibunya mengasuh para naga, namun para naga sangat lincah berlari kesana-kemari.
Sang Garuda kepayahan, lalu menanyakan para naga, apa yang bisa dilakukan untuk menebus perbudakan ibunya. Para naga menjawab, kalau Sang Garuda mampu membawa tirta amerta ke hadapan para naga, maka ibunya akan dibebaskan. Sang Garuda menyanggupi permohonan tersebut.
Singkat cerita, Sang Garuda berhasil menghadapi berbagai rintangan dan sampai di tempat tirta amerta.
Pada saat Sang Garuda ingin mengambil tirta tersebut, Dewa Wisnu datang dan bersabda, “Sang Garuda, jika engkau ingin mendapatkan tirta tersebut, mintalah kepadaku, nanti pasti aku berikan”.
Sang Garuda menjawab, “Tidak selayaknya jika saya meminta kepada anda sebab anda lebih sakti daripada saya. Karena tirta amerta anda tidak mengenal tua dan mati, sedangkan saya tidak. Untuk itu, berikanlah kepada saya anugerah yang lain”. Dewa Wisnu berkata, “Jika demikian, aku memintamu untuk menjadi kendaraanku, sekaligus menjadi lambang panji-panjiku”.
Sang Garuda setuju dengan permohonan tersebut sehingga akhirnya menjadi kendaraan Dewa Wisnu. Kemudian Sang Garuda terbang membawa tirta, namun Dewa Indra tidak setuju kalau tirta tersebut diberikan kepada para naga. Sang Garuda mengatakan bahwa tirta tersebut akan diberikan kalau para naga sudah selesai mandi.
Sampailah Sang Garuda ke tempat tinggal para naga. Para naga girang ingin segera meminum amerta, namun Sang Garuda mengatakan bahwa tirta tersebut boleh diminum jika para naga mandi terlebih dahulu.
Para naga pun mandi sesuai dengan syarat yang diberikan, tetapi setelah selesai mandi, tirta amerta sudah tidak ada lagi karena dibawa kabur oleh Dewa Indra. Para naga kecewa dan hanya mendapati beberapa percikan tirta amerta tertinggal pada daun ilalang.
Para naga pun menjilati daun tersebut sehingga lidahnya tersayat dan terbelah. Daun ilalang pun menjadi suci karena mendapat tirta amerta. Sementara itu Sang Garuda terbang ke surga karena merasa sudah menebus perbudakan ibunya.
Bahasa dan sejarah
Sebagaimana kisah induknya, Mahabharata, kitab Adiparwa ini semula dituliskan dalam bahasa Sansekerta dan dianggap sebagai cerita suci bagi pemeluk agama Hindu.
Tidak tercatat kapan persisnya kisah ini masuk ke Indonesia. Akan tetapi, sebagaimana disebutkan dalam bagian pendahuluan Adiparwa versi Jawa Kuna, kitab ini telah disalin ke dalam bahasa Jawa kuna atau juga dikenal sebagai bahasa Kawi pada masa pemerintahan Raja Dharmawangsa Teguh (kerajaan Kediri, tahun 991-1016) (Zoetmulder, 1994).
Pengaruh dalam budaya
Kitab Adiparwa yang diterjemahkan dari Bahasa Sansekerta ke Bahasa Jawa Kuno atau Bahasa Kawi, banyak digubah menjadi cerita pewayangan.
Dalam kitab Adiparwa yang diterjemahkan dari Bahasa Sansekerta mungkin terdapat perbedaan dengan lakon pewayangannya, yang kadang-kadang besar sekali, sehingga memberi kesan bahwa segala sesuatunya terjadi di Jawa.
Hal ini disebabkan oleh kecerdasan para pujangga masa lampau yang mampu memindah alam pikiran para pembaca atau pendengarnya dari suasana India menjadi Jawa Asli.
Jika Hastinapura sebenarnya terdapat di India, maka nama-nama seperti Jonggringsalaka, Pringgandani, Indrakila, Gua Kiskenda, sampai Gunung Mahameru dibawa ke tanah Jawa].
Begitu pula dengan tokoh Pancawala (Pancakumara). Jika dalam versi aslinya mereka terdiri dari lima orang, maka dalam pewayangan mereka dikatakan hanya satu orang saja.
Menurut Mulyono dalam artikelnya berjudul “Dewi Dropadi:Antara kitab Mahabharata dan Pewayangan Jawa”, ia menyatakan bahwa terjadinya perbedaan cerita tentang Pancawala antara kitab Mahabharata dengan cerita dalam pewayangan Jawa karena pengaruh perkembangan agama Islam di tanah Jawa.
Hal serupa juga terjadi pada kisah Dewi Dropadi dalam kitab Adiparwa. Jika dalam Adiparwa ia bersuami lima orang, maka dalam pewayangan Jawa (yang sudah terkena pengaruh Islam) Dropadi hanya bersuami satu orang saja.
Menurut hukum Islam, seorang wanita tidak boleh memiliki suami lebih dari satu. Maka dari itu, cerita Dewi Dropadi dalam kitab Mahabharata versi asli yang bercorak Hindu menyalahi hukum Islam.
Untuk mengantisipasinya, para pujangga ataupun seniman Islam mengubah cerita tersebut agar sesuai dengan ajaran Islam.
Pancawala yang sebenarnya merupakan lima putera Pandawa pun diubah menjadi seorang tokoh yang merupakan putera Yudistira saja.
Selasa, 25 Agustus 2009
Serat Djongko Djoyoboyo
Iki sing dadi tandane zaman kolobendu
Ini yang menjadi tanda zaman kehancuran
1. Lindu ping pitu sedino
Gempa bumi 7 x sehari
2. Lemah bengkah
Tanah pecah merekah
3. Manungsa pating galuruh, akeh kang nandang lara
Manusia berguguran, banyak yang ditimpa sakit
4. Pagebluk rupo-rupo
Bencana bermacam-macam
5. Mung setitik sing mari akeh-akehe pada mati
Hanya sedikit yang sembuh kebanyakan meninggal
Zaman kalabendu iku wiwit yen,
Zaman ini ditandai dengan
1. Wis ana kreto mlaku tampo jaran
Sudah ada kereta yang berjalan tanpa kuda
2. Tanah jawa kalungan wesi
Tanah Jawa dikelilingi besi (mungkin maksudnya Rel
kereta kali ya : Red)
3. Prau mlaku ing nduwur awang-awang
Perahu berjalan di atas awan melayang layang
4. Kali ilang kedunge
Sungai kehilangan mata airnya
5. Pasar ilang kumandange
Pasar kehilangan keramaianya
6. Wong nemoni wolak-walik ing zaman
Manusia menemukan jaman yang terbolak-balik
7. Jaran doyan sambel
Kuda doyan makan sambal
8. Wong wadon menganggo lanang
Orang perempuan mempergunakan busana laki-laki
Zaman kalabendu iku koyo-koyo zaman kasukan, zaman
kanikmatan donya, nanging zaman iku sabenere zaman
ajur lan bubrahing donya.
Zaman kalabendu itu seperti jaman yang menyenangkan,
jaman kenikmatan dunia, tetapi jaman itu sebenarnya
jaman kehancuran dan berantakannya dunia
1. Mulane akeh bapak lali anak
Oleh sebab itu banyak bapak lupa sama anaknya
2. Akeh anak wani ngalawan ibu lan nantang bapak
Banyak anak yang berani melawan ibu dan menantang
bapaknya
3. Sedulur pada cidro cinidro
Sesama saudara saling berkelahi
4. Wong wadon ilang kawirangane, wong lanang ilang
kaprawirane
Perempuan kehilangan rasa malunya, Laki-laki
kehilangan rasa kejantanannya
5. Akeh wong lanang ora duwe bojo
Banyak Laki laki tidak punya istri
6. Akeh wong wadon ora setia karo bojone
Banyak perempuan yang tidak setia pada suaminya
7. Akeh ibu pada ngedol anake
Banyak ibu yang menjual anaknya
8. Akeh wong wadon ngedol awakke
Banyak perempuan yang menjual dirinya
9. Akeh wong ijol bojo
Banyak orang yang tukar menukar pasangan
10. Akeh udan salah mongso
Sering terjadi hujan salah musim
11. Akeh prawan tuwo
Banyak Perawan Tua
12. Akeh rondo ngalairake anak
Banyak janda yang melahirkan anak
13. Akeh jabang bayi nggoleki bapake
Banyak bayi yang lahir tanpa bapak
14. Wong wadon ngalamar wong lanang
Perempuan melamar laki-laki
15. Wong lanang ngasorake, drajate dewe
Laki-laki merendahkan derajatnya sendiri
16. Akeh bocah kowar
Banyak anak lahir di luar nikah
17. Rondo murah regane
Janda murah harganya
18. Rondo ajine mung sak sen loro
Janda nilainya hanya satu sen untuk dua
19. Prawan rong sen loro
Perawan nilainya dua sen untuk dua
20. Dudo pincang payu sangang wong
Duda berharga 9 orang
Zamane zaman edan
Zamannya Zaman Gila/Sinting
1. Wong wadon nunggang jaran
Perempuan menunggang Kuda
2. Wong lanang lungguh plengki
Laki-laki berpangku tangan
3. Wong bener tenger-tenger
Orang yang benar cuma bisa bengong
4. Wong salah bungah-bungah
Orang yang melakukan kesalahan berpesta pora
5. Wong apik ditapik-tampik
Orang Baik di singkirkan
6. Wong bejat munggah pangkat
Orang Yang kelakuannya bejat malah naik pangkat
7. Akeh ndandhang diunekake kuntul
Banyak komentar yang tidak ada isinya
8. Wong salah dianggap bener
Orang salah diangap benar
9. Wong lugu kebelenggu
Orang lugu dibelenggu
10. Wong mulyo dikunjara
Orang mulia dipenjara
11. Sing culika mulya, sing jujur kojur
Yang salah mulia, yang jujur hancur
12. Para laku dagang akeh sing keplanggrang
Pedagang banyak yang menyeleweng
13. Wong main akeh sing ndadi
Orang berjudi semakin menjadi
14. Linak lijo linggo lica, lali anak lali bojo, lali
tangga lali konco
Lupa anak dan pasangan, lupa tetangga dan teman
15. Duwit lan kringet mug dadi wolak-walik kertu
Uang dan keringat hanya untuk berjudi
16. Kertu gede dibukake, ngguyu pating cekakak
Kartu besar dibuka, tertawa terbahak-bahak
17. Ning mulih main kantonge kempes
Tapi waktu pulang main kantongnya kosong
18. Krungu bojo lan anak nangis ora di rewes
Denger anak istri nangis tidak digubris
Abote koyo ngopo sa bisa-bisane aja nganti wong kelut,
keliring zaman kalabendu iku.
Berat seperti apapun jangan sampai kalut (lebih
tepatnya) Seberat apapun jangan sampai ikut larut
dalam warna-warni zaman kalabendu
Amargo zaman iku bakal sirno lan gantine joiku zaman
ratu adil, zaman kamulyan. Mula sing tatag, sing
tabah, sing kukuh, jo kepranan ombyak ing zaman
Entenana zamanne kamulyan zamaning ratu adil.
Sebab jaman itu bakal sirna dan diganti dengan jaman
Ratu adil, jaman kemuliaan, karena itu yang tegar,
yang tabah, yang kokoh, Jangan melakukan hal bodoh.
Tunggulah jaman kemuliaan jamannya Ratu adil
Ini yang menjadi tanda zaman kehancuran
1. Lindu ping pitu sedino
Gempa bumi 7 x sehari
2. Lemah bengkah
Tanah pecah merekah
3. Manungsa pating galuruh, akeh kang nandang lara
Manusia berguguran, banyak yang ditimpa sakit
4. Pagebluk rupo-rupo
Bencana bermacam-macam
5. Mung setitik sing mari akeh-akehe pada mati
Hanya sedikit yang sembuh kebanyakan meninggal
Zaman kalabendu iku wiwit yen,
Zaman ini ditandai dengan
1. Wis ana kreto mlaku tampo jaran
Sudah ada kereta yang berjalan tanpa kuda
2. Tanah jawa kalungan wesi
Tanah Jawa dikelilingi besi (mungkin maksudnya Rel
kereta kali ya : Red)
3. Prau mlaku ing nduwur awang-awang
Perahu berjalan di atas awan melayang layang
4. Kali ilang kedunge
Sungai kehilangan mata airnya
5. Pasar ilang kumandange
Pasar kehilangan keramaianya
6. Wong nemoni wolak-walik ing zaman
Manusia menemukan jaman yang terbolak-balik
7. Jaran doyan sambel
Kuda doyan makan sambal
8. Wong wadon menganggo lanang
Orang perempuan mempergunakan busana laki-laki
Zaman kalabendu iku koyo-koyo zaman kasukan, zaman
kanikmatan donya, nanging zaman iku sabenere zaman
ajur lan bubrahing donya.
Zaman kalabendu itu seperti jaman yang menyenangkan,
jaman kenikmatan dunia, tetapi jaman itu sebenarnya
jaman kehancuran dan berantakannya dunia
1. Mulane akeh bapak lali anak
Oleh sebab itu banyak bapak lupa sama anaknya
2. Akeh anak wani ngalawan ibu lan nantang bapak
Banyak anak yang berani melawan ibu dan menantang
bapaknya
3. Sedulur pada cidro cinidro
Sesama saudara saling berkelahi
4. Wong wadon ilang kawirangane, wong lanang ilang
kaprawirane
Perempuan kehilangan rasa malunya, Laki-laki
kehilangan rasa kejantanannya
5. Akeh wong lanang ora duwe bojo
Banyak Laki laki tidak punya istri
6. Akeh wong wadon ora setia karo bojone
Banyak perempuan yang tidak setia pada suaminya
7. Akeh ibu pada ngedol anake
Banyak ibu yang menjual anaknya
8. Akeh wong wadon ngedol awakke
Banyak perempuan yang menjual dirinya
9. Akeh wong ijol bojo
Banyak orang yang tukar menukar pasangan
10. Akeh udan salah mongso
Sering terjadi hujan salah musim
11. Akeh prawan tuwo
Banyak Perawan Tua
12. Akeh rondo ngalairake anak
Banyak janda yang melahirkan anak
13. Akeh jabang bayi nggoleki bapake
Banyak bayi yang lahir tanpa bapak
14. Wong wadon ngalamar wong lanang
Perempuan melamar laki-laki
15. Wong lanang ngasorake, drajate dewe
Laki-laki merendahkan derajatnya sendiri
16. Akeh bocah kowar
Banyak anak lahir di luar nikah
17. Rondo murah regane
Janda murah harganya
18. Rondo ajine mung sak sen loro
Janda nilainya hanya satu sen untuk dua
19. Prawan rong sen loro
Perawan nilainya dua sen untuk dua
20. Dudo pincang payu sangang wong
Duda berharga 9 orang
Zamane zaman edan
Zamannya Zaman Gila/Sinting
1. Wong wadon nunggang jaran
Perempuan menunggang Kuda
2. Wong lanang lungguh plengki
Laki-laki berpangku tangan
3. Wong bener tenger-tenger
Orang yang benar cuma bisa bengong
4. Wong salah bungah-bungah
Orang yang melakukan kesalahan berpesta pora
5. Wong apik ditapik-tampik
Orang Baik di singkirkan
6. Wong bejat munggah pangkat
Orang Yang kelakuannya bejat malah naik pangkat
7. Akeh ndandhang diunekake kuntul
Banyak komentar yang tidak ada isinya
8. Wong salah dianggap bener
Orang salah diangap benar
9. Wong lugu kebelenggu
Orang lugu dibelenggu
10. Wong mulyo dikunjara
Orang mulia dipenjara
11. Sing culika mulya, sing jujur kojur
Yang salah mulia, yang jujur hancur
12. Para laku dagang akeh sing keplanggrang
Pedagang banyak yang menyeleweng
13. Wong main akeh sing ndadi
Orang berjudi semakin menjadi
14. Linak lijo linggo lica, lali anak lali bojo, lali
tangga lali konco
Lupa anak dan pasangan, lupa tetangga dan teman
15. Duwit lan kringet mug dadi wolak-walik kertu
Uang dan keringat hanya untuk berjudi
16. Kertu gede dibukake, ngguyu pating cekakak
Kartu besar dibuka, tertawa terbahak-bahak
17. Ning mulih main kantonge kempes
Tapi waktu pulang main kantongnya kosong
18. Krungu bojo lan anak nangis ora di rewes
Denger anak istri nangis tidak digubris
Abote koyo ngopo sa bisa-bisane aja nganti wong kelut,
keliring zaman kalabendu iku.
Berat seperti apapun jangan sampai kalut (lebih
tepatnya) Seberat apapun jangan sampai ikut larut
dalam warna-warni zaman kalabendu
Amargo zaman iku bakal sirno lan gantine joiku zaman
ratu adil, zaman kamulyan. Mula sing tatag, sing
tabah, sing kukuh, jo kepranan ombyak ing zaman
Entenana zamanne kamulyan zamaning ratu adil.
Sebab jaman itu bakal sirna dan diganti dengan jaman
Ratu adil, jaman kemuliaan, karena itu yang tegar,
yang tabah, yang kokoh, Jangan melakukan hal bodoh.
Tunggulah jaman kemuliaan jamannya Ratu adil
Senin, 17 Agustus 2009
Bedhaya Ketawang
Pada saat Tingalan Jumenengan Dalem atau hari penobatan raja di Keraton Kasunanan Surakarta, tari Bedhaya Ketawang selalu dipentaskan. Tari Bedaya yang dibawakan sembilan orang penari yang masih suci ini selalu dipertunjukkan bertepatan dengan hari peringatan penobatan raja.
Tari Bedhaya Ketawang juga dipentaskan saat Tingalan Jumenengan Dalem Sri Susuhunan Paku Buwana XIII Hangabehi, akhir Juli lalu.
Busana tari Bedhaya Ketawang yang menggunakan Dodot Ageng dengan motif Banguntulak aras-arasan menjadikan penarinya terasa anggun.
Demikian pula dengan gamelan yang mengiringinya yaitu gamelan Kiai Kaduk Manis dan Kiai Manis Renggo membawa daya mistis yang sukar untuk dilukiskan. Konon penciptaan tari Bedhaya Ketawang tersebut tidak lepas dari andil Kanjeng Ratu Kidul, penguasa Laut Selatan. Menurut GPH Puger, tari Bedaya Ketawang dibuat oleh Sultan Agung Anyakrakusuma (cucu Penembahan Senapati, raja pertama Mataram). “Tari Bedhaya Ketawang menggambarkan kisah pertemuan kakeknya (Panembahan Senopati) dengan Kanjeng Ratu Kidul saat bersemedi di laut selatan hingga melakukan perjanjian sakral antara Kanjeng Ratu Kidul dan raja pertama Tanah Jawa, yang tidak dapat dilanggar oleh penerusnya,” kata Puger.
Selain itu tari Bedhaya Ketawang juga menggambarkan pertemuan dirinya dengan Kanjeng Ratu Kidul saat bersemedi hingga terciptalah gending ketawang dan tari Bedhaya Ketawang, lanjut Puger.
“Hingga sekarang perjanjian sakral dengan Kanjeng Ratu Kidul tersebut masih berlaku. Jika pun ada anggapan perjanjian tersebut gugur karena ucapan spontan PB X saat terpeleset waktu pertemuan dengan Kanjeng Ratu Kidul di Sangga Buana, itu belum kuat karena belum jelas,” kata Puger. Yang pasti, Kanjeng Ratu Kidul punya kewajiban untuk ikut memberikan pengayoman pada keraton. “Yang jelas ada kekuatan lahiriah dan kekuatan di luar itu dan dalam realita itu bisa terjadi karena ada garis dari Panembahan Senopati, raja pertama yang membuat perjanjian sakral dengan Kanjeng Ratu Kidul,” lanjutnya.
Menurut Puger, jika Mataram ditopang oleh Kanjeng Ratu Kidul itu bukan hal yang menyimpang dari tuntunan tapi tetap bertolak dari titik yang paling hakiki. Apalagi, konon saat Penembahan Senopati melakukan semedi di laut selatan juga dikawal oleh Sunan Kalijaga.
GPH Puger juga menambahkan tari Bedhaya Ketawang sampai sekarang dasar gerakannya masih asli dan penarinya menggunakan aras-arasan berwarna hijau.Dia juga menjelaskan para penari Bedhaya Ketawang dipilih penari yang belum menikah dan masih suci sebagai bentuk penghormatan terhadap pertemuan pertemuan Kanjeng Ratu Kidul dengan Penembahan Senopati dalam persembahan suci.
Belajar Filsafat kepada Agen 007
Penggemar film pasti tahu sepak terjang dan petualangan James Bond, agen Inggris MI6 yang memiliki sandi 007. Adalah novel Casino Royale karya Ian Fleming (1953) yang kali pertama memasukkan James Bond ke dalam imajinasi manusia di planet ini. Bond kian jadi sosok idola setelah film layar pertamanya, Dr No, dirilis tahun 1962. Setelah itu film-film tentang Bond diproduksi rutin hingga mencapai 22 judul, termasuk yang teranyar, Quantum of Solace (2008).
Pemeran tokoh Bond berganti-ganti, mulai Sean Connery, George Lazenby, Roger Moore, Timothy Dalton, Pierce Brosnan, hingga Daniel Craig. Satu dari setiap empat orang di muka bumi ini ditaksir sudah menyaksikan aksi jagoan pria yang digambarkan perayu ulung wanita ini.
Di balik aksi heroiknya, Bond selalu jatuh --atau menjatuhkan diri?-- dalam pelukan wanita. Maka ada sebutan Bond Girls bagi wanita-wanita yang diselamatkan Bond, rekan kerja, maupun anggota organisasi musuh yang harus melawan Bond tapi biasanya lalu jadi jatuh cinta. Bahkan, sebagian dari mereka ada yang hanya tampil sebagai pemanis, tak ada hubungan langsung dengan James Bond. Mereka antara lain Ursula Andress, Eunice Gayson, dan Zena Marshall, tiga wanita cantik di film Dr No.
Selanjutnya Jane Seymour (Live and Let Die), Emily Bolton (Moonraker), Tina Hudson (Octopussy), Minnie Driver (Golden Eye), Teri Hatcher dan Michelle Yeoh (Tomorrow Never Dies), Sophie Marceau dan Denise Richards (The World is Not Enough), Halle Berry (Die Another Day), hingga Gemma Arterton, Olga Kurylenko (Quantum of Solace).
Objektivikasi merupakan penciri seri film agen 007. Ia menggunakan orang lain untuk memperoleh informasi, superioritas atau bahkan seks. Dalam filosofi Barat ''objek'' mendapatkan makna lewat kontrasnya dengan ''subjek'' --yang hidup, bernapas seperti yang dimiliki manusia, hingga yang memanipulasi benda-benda. Objektivikasi merujuk pada tindakan-tindakan di mana subjek diperlakukan sebagai objek dalam pikiran seseorang atau dalam perilaku mereka --suatu yang disebut Robert Arp & Kevin S. Decker (kontributor buku ini) sebagai bentuk dehumanisasi.
Ini juga berlaku saat Bond memperlakukan wanita. Saat bertemu Sylvia Trench (Dr No) dan Miss Caruso (Live and Let Die), tujuan tunggal Bond adalah lompat cepat dalam karung sebelum menyelesaikan misi penting berikutnya. Bond baru memandang wanita-wanita ini ada nilainya kalau mereka dapat memberikan kenikmatan seksual pada dirinya. Objektivikasi
seksual tak dipandang kedurjanaan. Demikian pula dalam kisah-kisah dan novel Fleming serta film-film populer MG/UA, objektivikasi seksual hanyalah refleksi kultur pop ''pandangan pria''. Sudut pandang yang melihat wanita sebagai yang inferior mental, fisik dan social -juga barangkali berpembawaan buruk (hlm. 293-294).
Buat Arp & Decker, objektivikasi seksual ala Bond ini menyisakan problem moral. Filosof seperti Immanuel Kant salah satu yang menentangnya. Di mata Kant, setiap orang dewasa, termasuk wanita memiliki arti penting personal dan martabat dan tidak boleh diperlakukan sebagai sarana untuk mencapai tujuan. Cara Bond memperalat wanita dan mengeksploitasinya untuk mendapat informasi, bagi Kant merupakan puncak ketidakbermoralan. Kalangan feminis malah menyebutnya aksi dominasi pria terhadap wanita merupakan ''invasi agresif terhadap mereka yang kurang kuat''.
Kontributor lainnya, Dean A. Kowalski, seorang pengajar filsafat di University of Wisconsin-Waukesha membedah sepak terjang Bond dan Bond Girls-nya dari spektrum kosmologi ''yin & yang''. Dinukilkan adegan ke-20 Tomorrow Never Dies. Di situ James Bond dan Wai Lin mengendarai sepeda motor dikejar-kejar anak buah sang musuh Elliot Carver --raja media Inggris yang meluncurkan jaringan berita global baru dengan sasaran menjadi pihak pertama yang meliput konflik yang terjadi antara Inggris dan Cina di Laut Cina.
Awalnya Bond (Pierce Brosnan) dan Wai Lin (Michelle Yeoh) agen Red Chinese, naik motor dalam posisi normal dengan Wai Lin duduk di belakang Bond. Satu belenggu mengikat tangan Bond dan satu belenggu lagi mengikat tangan Wai Lin. Hingga beberapa sekuen, posisi ini tak berubah. Dengan posisi itu sulit bagi keduanya melihat gerombolan pengejar mereka. Bahkan keduanya berselisih soal arah pelarian diri mereka guna menghindari kejaran mobil dan helikopter antek Carver bernama Mr Stamper.
Dalam kondisi terdesak Bond berteriak ''kopling'', dan Wai Lin menginjak tuasnya karena tak bisa dijangkau Bond yang satu tangannya yang tak terbelenggu harus menyetir motor. Wai Lin lalu menyarankan belok kiri karena lebih tahu daerah ini ketimbang Bond. Dengan kerja sama yang lebih mulus, Bond bertanya, ''Berapa banyak di belakang sana?'' Wai Lin menjawab dirinya tak bisa melihat, namun Wai Lin kemudian bangkit ke bagian depan motor sehingga posisinya berhadapan dengan Bond dan dapat melihat lewat kedua bahu Bond para pengejar mereka. Alhasil cara ini membantu Bond dan Wai Lin lolos dari maut meskipun dalam posisi dibelenggu oleh Stamper.
Penonton film yang dirilis tahun 1997 ini mungkin berpikir adegan di atas sekadar kiat dan taktik biasa ketika seseorang terdesak -mirip kiat-kiat brilian tokoh Macgyver dalam serial televisi bertajuk sama yang pertama kali diputar di Amerika Serikat tahun 1985. Namun bagi Dean A. Kowalski, aksi itu bagaikan dinamika jalinan dua kekuatan yang berlawanan seperti yang digambarkan dalam simbol ''yin & yang''.
Dan manuver final dua agen ini, yakni menghancurkan helikopter musuh makin membenarkan aliansi ''yin & yang''. Bond memacu sepeda motornya ke arah helikopter, dan kemudian menyelipkan motornya ke bawah helikopter, Wai Lin melemparkan kabel kawat dan pengait ke baling-baling. Berkat kesetimbangan dan harmoni keduanya, dua agen ini menamatkan misinya.
''Yang'' mengandung makna cahaya (matahari), mewakili soliditas, dominasi dan maskulinitas. Sedangkan ''yin'' berarti kegelapan (bulan),mewakili kondisi lembut, khidmat, dan kondisi feminin. Jika ''yang'' adalah seperti pria dan ''yin'' adalah seperti wanita, maka ''yang'' tak akan tumbuh dan berkembang tanpa ''yin''. Begitu pun ''yin'' tak akan melahirkan tanpa ''yang''. Tak urung kosmologi ''yin dan yang'' ini dipercaya menjelaskan segenap fenomena semesta. Karena alam dipahami sebagai dinamika ''yin dan yang'', maka ini juga dapat menjadi model untuk bagaimana semestinya manusia berperangai (hlm. 316).
Buku James Bond & Philosophy ini memuat analisis tujuhbelas pakar atas isu-isu filosofis tersembunyi dalam dunia dobel kosong tujuh yang glamor, memperdaya, dan mengandung potensi sangat berbahaya. Pembaca akan tahu apakah Bond seorang hero Nietzschean yang lulus ''di luar baik dan buruk''? Apakah Bond yang dengan cukup aneh melanggar hukum untuk bisa menjunjung tinggi hukum? Apakah lisensi untuk membunuh yang dikantonginya membantu kita memahami etika kontraterorisme?
Meskipun harus sedikit berkerut untuk bisa paham, pembaca akan tersadar bahwa aksi-aksi Bond adalah sebentuk cermin bagi kita merefleksikan diri. Bond barangkali hanya sosok imajiner, tapi apa yang dilakukannya ada di sekitar kita --bahkan mungkin mengepung manusia modern. Buku ini mengajak kita untuk peka dan mengambil sikap moral yang pas. (*)
Jumat, 14 Agustus 2009
Lisye L : Bingkai Hidupku
Aku tersenyum kala mataku menatap
potret mereka yang mengasihiku...
Tatapan mata kedua bocah itu, seakan berbicara untukku
BUNDA,...hanya ada kami yang selalu hadir dihatimu...
hanya ada kami yang selalu memelukmu...
saat BUNDA sedih dan menangis...
TUHAN....
mereka adalah HIDUPKU...merekalah KEBAHAGIAANKU
ijinkan aku memeluk mereka selama yang aku inginkan
Akan kuukir tepian bingkai potret itu dengan UNTAIAN DOA..
dan akan selalu kulumuri bingkai itu dengan KASIH SAYANGKU
akan ku jaga bingkai itu dengan KETABAHAN dan KETEGARAN...
agar senantiasa kokoh berdiri...
TUHAN... terima kasih untuk anugerah ini...
CINTA mereka membuat aku kuat menjalani hidup ini
mereka milikku.. dan akan selamanya milikku..
walaupun aku sadari bahwa mereka hanya dipinjam TUHAN
untuk kujaga dibuana ini...
Aku mengasihi mereka.... suci dari lubuk hatiku...
apapun akan kulakukan, asalkan mereka tetap tersenyum...
karena itulah kebahagiaanku yang sesungguhnya....
Aku merasa sangat sempurna menerima cinta mereka
Mereka lebih berarti dari apapun juga.....
karena merekalah BINGKAI HIDUPKU....
spesial utk ke2 buah hatiku...
Sabtu, 08 Agustus 2009
Sashie: Buat Kekasihku
Masih terasa getar hati
Saat engkau ungkapkan
Segala yang terpendam
Dan kau bisikkan
Nada cinta
Semakin indah dunia
Membuka mata hati
Getar-getar cinta
Semakin dalam kurasa
Bagai sebuah simponi dalam jiwa
Dulu ku ragu mengakui rasa cinta
Terpendam semua jadi nyata
Saat kau bisikkan
Nada cinta
Semakin indah dunia
Membuka mata hati
Getar-getar cinta
Semakin dalam kurasa
Bagai sebuah simponi yang ku damba
Aku bersyukur
Karena dirimu kekasih yang baik hati
Selalu menjaga kejujuranmu
Semoga abadi tali cinta kita
Nada-nada cinta
Semakin indah dunia
Membuka mata hati
Getar-getar cinta
Semakin dalam kurasa
Bagai sebuah simponi dalamm jiwa
Bagai sebuah simponi dalam jiwa
Yang kudamba
Dewi H : AL-JENAZAH AIRLINES, LAYANAN PENUH 24 JAM
Bila kita akan "berangkat" dari alam ini ia ibarat penerbangan ke sebuah negara. Dimana informasi tentangnya tidak terdapat dalam brosur penerbangan, tetapi melalui Al-Qur'an dan Al-Hadist.
Di mana penerbangan bukannya dengan Garuda Airlines, Singapore Airlines, atau US Airlines, tetapi Al-Jenazah Airlines.
Di mana bekal kita bukan lagi tas seberat 23Kg, tetapi amalan yang tak lebih dan tak kurang.
Di mana bajunya bukan lagi Pierre Cardin, atau setaraf dengannya, akan tetapi kain kafan putih.
Di mana pewanginya bukan Channel atau Polo, tetapi air biasa yang suci.
Di mana passport kita bukan Indonesia, British atau American, tetapi
Al-Islam.
Di mana visa kita bukan lagi sekedar 6 bulan, tetapi 'Laailaahaillallah'
Di mana pelayannya bukan pramugari jelita, tetapi Izrail dan lain-lain.
Di mana servisnya bukan lagi kelas business atau ekonomi, tetapi sekedar kain yang diwangikan.
Di mana tujuan mendarat bukannya Bandara Cengkareng, Heathrow Airport atau Jeddah International, tetapi tanah pekuburan.
Di mana ruang menunggunya bukan lagi ruangan ber AC dan permadani, tetapi ruang 2x1 meter, gelap gulita.
Di mana pegawai imigrasi adalah Munkar dan Nakir, mereka hanya memeriksa apakah kita layak ke tujuan yang diidamkan.
Di mana tidak perlu satpam dan alat detector.
Di mana lapangan terbang transitnya adalah Al Barzah
Di mana tujuan terakhir apakah Syurga yang mengalir sungai di bawahnya atau Neraka Jahannam.
Penerbangan ini tidak akan dibajak atau dibom, karena itu tak perlu bimbang.
Sajian tidak akan disediakan, oleh karena itu tidak perlu merisaukan masalah alergi atau halal haram makanan.
Jangan risaukan cancel pembatalan, penerbangan ini senantiasa tepat waktunya, ia berangkat dan tiba tepat pada masanya.
Jangan pikirkan tentang hiburan dalam penerbangan, anda telah hilang selera bersuka ria.
Jangan bimbang tentang pembelian tiket, ianya telah siap di booking sejak anda ditiupkan ruh di dalam rahim ibu.
YA! BERITA BAIK!! Jangan bimbangkan siapa yang duduk di sebelah anda. Anda adalah satu-satunya penumpang penerbangan ini.
Oleh karena itu bergembiralah selagi bisa! Dan sekiranya anda bisa!
Hanya ingat! Penerbangan ini datang tanpa 'Pemberitahuan'.
Cuma perlu ingat!! Nama anda telah tertulis dalam tiket untuk Penerbangan....
Saat penerbangan anda berangkat...tanpa doa Bismillahi Tawakkaltu 'Alallah, atau ungkapan selamat jalan.
Tetapi Inalillahi Wa Inna ilaihi Rajiuun....
Anda berangkat pulang ke Rahmatullah. Mati.
ADAKAH KITA TELAH SIAP UNTUK BERANGKAT?
'Orang yang cerdas adalah orang yang mengingat kematian. Karena dengan kecerdasannya dia akan mempersiapkan segala perbekalan untuk menghadapinya.'
ASTAGHFIRULLAH 3X, semoga ALLAH SWT mengampuni kita beserta keluarga... Amiin
WALLAHU A'LAM
Langganan:
Postingan (Atom)