Minggu, 20 Desember 2009

Suronan



Solo (Espos)–Belasan ribu warga pada Kamis (17/12) malam hingga Jumat (18/12) dini hari, tumpah ruah di Kompleks Keraton Kasunanan Surakarta guna memeriahkan datangnya Tahun Baru 1431 Hijriyah atau Malam 1 Sura Dal 1943.

Mereka tidak hanya berasal dari kabupaten/ kota di Soloraya, melainkan berbagai daerah di Pulau Jawa seperti Bandung dan Jakarta. Secara bergelombang, massa tiba di kompleks keraton dengan berjalan kaki sejak pukul 19.30 WIB. Bukan sekadar bermaksud menghabiskan waktu akhir tahun di keraton, ada acara akbar yang memang telah mereka tunggu, Kirab Malam 1 Sura Dal 1943.


Ribuan warga juga memadati sepanjang jalur kirab mulai dari kompleks keraton hingga Bundaran Gladak, lalu menuju simpang empat Bank Indonesia (BI), Loji Wetan, simpang empat Baturono, simpang empat Gemblegan dan simpang empat Nonongan Jl Slamet Riyadi. Dari titik tersebut, rombongan kirab kembali ke kompleks keraton. Mereka rela berdesakan dan menunggu sejak beberapa jam sebelum rombongan kirab melintas.

Satu alasannya, kirab ini bukan sembarang kirab. Rombongan kirab mengusung pusaka keraton dan sejumlah kerbau bule yang dipercaya merupakan keturunan penderek Keris Kiai Slamet, keris keramat zaman Kerajaan Mataram. Kesakralan Malam 1 Sura Keraton Kasunanan Surakarta konon lebih kental dibandingkan ritual magis keraton lain.

Seperti halnya Ridwan, 51, asal Padalarangan, Bandung, Jawa Barat (Jabar), yang memilih menghabiskan pergantian tahun di Solo. Jauh-jauh dari Bandung, Ridwan bersama dua kawannya, ingin merasakan sensasi magis keraton Solo.

Menurut dia, ritual Malam 1 Sura Keraton Solo sudah dikenal masyarakat Bandung. Bahkan teman dekat Ridwan berulangkali menyarankannya untuk merasakan nuansa magis ritual Malam 1 Sura di Solo. Alasannya, ritual 1 Sura keraton Solo lebih kental dengan nuansa magis dan sakral, dibandingkan ritual keraton lain. “Nuansa sakral terasa saat kerbau bule Kiai Slamet berjalan memasuki pelataran Kamandungan. Ada perasaan aneh, seperti perasaan tegang, saat saya melihat pemandangan itu,” katanya.

Di sisi lain, sudah menjadi perilaku dan pemandangan lazim, tatkala Kirab Malam 1 Sura, warga berebut kotoran kerbau bule. Dengan segenap tenaga dan cara, mereka saling berebut tahi kerbau yang dibuang sepanjang jalur kirab. Tak peduli saling sikut, injak dan tendang, yang penting mereka dapat membawa pulang kotoran keturunan sang “kiai”.

Bukan hanya kotoran kerbau, aneka atribut penyelenggaraan ritual Malam 1 Sura Keraton Kasunan Surakarta, seperti pengjore, juga menjadi rebutan. Perilaku tak lazim tersebut dilatarbelakangi keyakinan masyarakat bahwa kotoran dan segala atribut penyelenggaraan ritual Malam 1 Sura, bakal membawa berkah.

Perilaku menyimpang menurut perspektif keilmuan modern tersebut telah berlangsung sejak puluhan tahun silam. Menurut Pengageng III Pariwisata dan Museum Keraton Kasunanan Surakarta, KRMH Satryo Hadinagoro, perilaku itu hanya dilakukan oleh mereka yang benar-benar meyakininya.

Tentang benar atau tidaknya keyakinan tersebut, menurut dia, keraton tidak pernah mendapat laporan. Satryo hanya menegaskan, ritual Malam 1 Sura memiliki makna spiritual. Selain sebagai momentum instropeksi diri dan berjanji menjadi semakin baik dari waktu ke waktu, ritual Sura mempunyai histori magis.